"Kepada tersangka OCK (Otto Cornelis Kaligis) diduga melanggar Pasal 6 Ayat (1) Huruf a dan Pasal 5 Ayat (1) Huruf a atau Huruf b dan/atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU 20/2001 juncto Pasal 64 Ayat (1) jo. Pasal 55 Ayat (1) KUHP," kata Pelaksana Tugas (Plt.) Wakil Ketua KPK Johan Budi dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa.
Pasal tersebut mengatur tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling kecil Rp150 juta dan paling banyak Rp750 juta.
"Tadi seyogianya yang bersangkutan dipanggil sebagai tersangka untuk dilakukan pemeriksaan di Gedung KPK. Tadi suratnya diantar langsung kepada yang bersangkutan dan kemudian yang bersangkutan dibawa ke KPK untuk dilakukan pemeriksaan sebagai tersangka," kata Johan.
Ketua Mahkamah Partai Nasional Demokrat itu dijemput di suatu hotel di kawasan Lapangan Banteng Jakarta Pusat.
"Jadi, tadi Pak OCK ini dijemput di sebuah hotel. Dia dibawa ke kantor KPK untuk dilakukan pemeriksaan sekitar pukul 15.30 WIB di sebuah lobi hotel. Hotelnya itu terletak di dekat Lapangan Banteng," ungkap Johan.
Namun, Johan tidak mengungkapkan apa urgensi Kaligis langsung dijemput paksa oleh penyidik KPK.
"(Dibawa) dalam rangka untuk diperiksa sebagai tersangka. Ada keperluan mendesak untuk memeriksa OCK sebagai tersangka. Tidak ada salahnya kita bawa surat panggilan, kemudian kami ikutkan dia ke mobil KPK," tambah Johan.
Penetapan Kaligis sebagai tersangka berdasarkan gelar perkara (ekspose) yang dilakukan oleh penyidik kemarin.
"Ada gelar kemarin itu ada pemeriksaan terhadap saksi dan tersangka, jadi ada tersangka yang diperiksa sebagai saksi (untuk tersangka lain), kemudian disimpulkan bahwa OCK diduga melakukan tindak pidana korupsi. Lalu, dipanggilah sebagai tersangka karena ini memerlukan keterangan yang bersangkutan sangat mendesak karena itu surat panggilan dibawa kemudian dijemput," ungkap Johan.
Menurut Johan, Kaligis pun bersikap kooperatif.
"Tadi Pak OCK koperatif saat dijemput dan sampai saat ini OCK masih menjalani pemeriksaan di KPK," jelas Johan.
Sebelumnya, KPK juga sudah mengirim surat permintaan cegah untuk O.C. Kaligis sejak Senin (13/7) untuk enam bulan ke depan sekaligus menggeledah Kantor Advokat O.C. Kaligis di Jalan Majapahit Jakarta Pusat pada hari yang sama.
Komisi Pemberantasan Korupsi sudah menetapkan lima orang tersangka dalam kasus tersebut, yaitu sebagai penerima suap terdiri atas Ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro (TIP), anggota majelis hakim Amir Fauzi (AF) dan Dermawan Ginting (DG) serta panitera/Sekretaris PTUN Medan Syamsir Yusfan (SY), sedangkan tersangka pemberi suap adalah pengacara dari Kantor Advokat O.C. Kaligis bernama M. Yagari Bhastara Guntur (MYB) alias Gerry.
Kelimanya ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) di PTUN Medan pada tanggal 9 Juli 2015 dan mengamankan uang 15.000 dolar AS (sekitar Rp195 juta) dan 5.000 dolar Singapura (sekitar Rp45 juta) di kantor Tripeni.
Tindak pidana korupsi itu terkait dengan pengajuan PTUN di Medan yang dilakukan oleh mantan Kepala Biro Keuangan Pemerintah Provinsi Sumut Ahmad Fuad Lubis atas penerbitan sprinlidik (surat perintah penyelidikan) dalam perkara penyalahgunaan dana bantuan sosial Pemerintah Provinsi Sumatera Utara tahun 2012, 2013, dan 2014.
Atas sprinlidik tersebut, pemerintah provinsi Sumatera Utara pun mengajukan gugatan ke PTUN Medan dengan pemerintah provinsi menunjuk Gerry sebagai pengacara untuk melakukan pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara terkait dengan UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Berdasarkan UU No. 30/2014, PTUN yang berhak menilai apakah aparat sipil negara melakukan penyalahgunaan wewenang.
Dalam putusannya, hakim Tripeni dan rekan menyatakan permintaan keterangan oleh jaksa kepada Fuad Lubis ada unsur penyalahgunaan kewewenangan.