Jakarta (ANTARA) - Akhir-akhir ini muncul fenomena di kalangan muda terutama mereka yang baru lulus kuliah untuk memilih bekerja di perusahaan-perusahaan "startup" ketimbang memilih bekerja sebagai pegawai pemerintahan atau bekerja di perusahaan-perusahaan besar.
Anak-anak muda ini sadar betul perusahaan rintisan (startup) dengan jumlah pegawai hanya puluhan lebih mudah mengeksplorasi kemampuan yang mereka miliki. Berbeda dengan bekerja di pegawai pemerintahan maupun perusahaan besar yang terkadang sulit mengembangkan potensi yang mereka miliki.
Bahkan ada yang ramai-ramai dengan teman kuliah mendirikan perusahaan rintisan sendiri. Berbekal penguasaan di bidang teknologi digital, ditambah ide dan naluri bisnis mereka mendirikan perusahaan tersebut. Beberapa bahkan sukses dan berhasil meraup nilai penjualan sampai miliaran rupiah padahal di dalamnya mungkin hanya puluhan pelaku usahanya.
Technopreneur yang membidangi sejumlah proyek startup, Antony Reza Pahlevi mengatakan, untuk menjadi pemilik perusahaan rintisan ada dua syarat yang harus terpenuhi yakni pertama barang atau jasa yang dihasilkannya harus "repeatable" atau dapat digunakan berulang oleh para pengguna (user) dan yang kedua adalah produk atau jasa tersebut "expandable" atau bisa diekspansi ke manapun.
Antony saat ini tengah menangani enam perusahaan rintisan. Salah satunya, “Pantoera” yang digagas anak-anak muda yang bermukim di wilayah Pantai Utara Jawa.
Menurut Antony, ide dasar membangun "Pantoera" merupakan wadah bagi anak-anak muda dapat mempelajari keahlian digital dan sektor-sektor yang termasuk dalam bidang ekonomi kreatif.
Lulusan Fisipol Jurusan Hubungan Internasional UGM ini berargumentasi, mengapa dirinya memilih menggandeng anak-anak muda di sekitar wilayah domisilinya di Kabupaten Batang-Pekalongan, Jawa Tengah, adalah karena lebih mudah mengoptimalkan bakat anak-anak tersebut yang kebetulan lahir di dunia digital.
Nadia Hasnah Humaira dari Padusi.id (ANTARA Ganet)
Di daerah
Hal senada juga disampaikan Nadia Hasnah Humaira dari Padusi.id yang mengatakan peluang pengembangan perusahaan "startup" ke depan akan lebih banyak di dominasi daerah-daerah.
Penting bagi kalangan muda di daerah-daerah untuk saling bertukar gagasan dan pandangan serta menyerap ilmu dari sejumlah praktisi berbagai keahlian agar perusahaan rintisan bisa berkembang di daerah.
Putri Bupati Bogor Ade Yasin itu optimistis seperti di wilayah Kabupaten Bogor apabila kalangan mudanya mendapat sentuhan dan pelatihan mengenai potensi bisnis yang bisa dikembangkan di wilayahnya juga akan mampu berkembang.
Dengan menggandeng anak muda setempat di daerah asalnya maka tidak perlu mencari pembuktian (validasi) ke sejumlah kota besar di Indonesia. Dengan berkembangnya teknologi digital saat ini, para pemuda tidak perlu lagi merantau ke kota yang lebih besar untuk memperoleh tingkat penghidupan yang lebih memadai.
Bahkan mereka bisa menjadi diri sendiri secara lebih optimal di daerah asalnya, kata Nadia, yang juga pegiat "sociopreneur" itu.
Sedangkan Reza menambahkan ide untuk menjadikan kisah atau narasi di balik bisnis satu perusahaan rintisan, sejatinya selalu dimulai dengan keresahan yang terjadi pada diri sendiri.
Anak-anak muda itu seharusnya senantiasa merawat keresahan dirinya sendiri sehingga dari situ akan ada proses mengalami keresahan berpikir. Dari proses berpikir ini akan muncul berbagai ide sehingga dari berbagai ide tersebut, pada akhirnya akan muncul yang dinamakan validasi ide.
Sampai akhirnya perusahaan start-up tersebut akan mampu mengalahkan kekuatan perusahaan (enterprise). Bahkan yang besar mampu bertumbuh menjadi perusahaan kelas "unicorn".
Mereka secara telaten terus merawat keresahan itu sampai jadi penyemangat dalam menyelesaikan problem (masalah) yang lebih besar sambil mulai berbagi ilmu.
Salah satu metodologi yang menjadi acuan adalah "lean method". Metode ini mengajarkan untuk memulai bisnis awal tidak memerlukan sumber daya yang banyak sebagai modal dasar, melainkan perlu mencari di mana problemnya, lantas perlu mengadakan atau mencari solusi, baik dalam bentuk produk maupun jasa sebagai hasil akhir, atau apapun yang dapat menyelesaikan problemnya.
Begitu problem sudah terpecahkan, maka tinggal mengembangkan usaha tersebut, seraya melihat indikator berapa kasus yang dapat dipecahkan dalam satu bulan, misalnya. Jika pada bulan pertama hanya selesai satu kasus, maka bulan berikutnya ditingkatkan menjadi 10 sampai 100 kasus yang dapat diselesaikan, tuturnya.
Perbedaan
Konsep rintisan berbeda dengan eksistensi "enterprise" (perusahaan), walaupun tidak dimungkiri, rintisan yang memiliki sistem kerja yang sudah terstruktur, pada akhirnya juga akan berkembang menjadi "enterprise". Namun mereka juga tidak akan meninggalkan elemen utama rintisan, yaitu sifat bisnisnya berupa produk atau jasa yang dapat diulang.
Reza berpandangan bahwa perusahaan itu pasti sudah jelas proses bisnisnya. Artinya, jika suatu perusahaan menjual produk komputer ataupun laptop maupun telepon selular, misalnya, maka produk yang dijual adalah tetap jenis produk yang sama, hanya berbeda nomor serialnya. Karena itu pendapatan harus diperoleh dari produk yang dihasilkan perusahaan.
Bedanya dengan perusahaan "startup", maka pada perusahaan ada yang memiliki divisi riset dan pengembangan produk sehingga mereka harus terus berpikir dan berinovasi menciptakan produk-produk baru pada periode tertentu.
Sementara itu mereka yang bergerak sebagai perusahaan rintisan, harus selalu berpikir menciptakan jalur pendapatan baru. Mereka akan terus mencari dan menguji coba ide bisnisnya, sampai kemudian menjadi produk yang "established" (mapan).
Itu sebabnya kebanyakan pengusaha rintisan tidak takut gagal, namun akan terus berupaya supaya bisnisnya bertahan (survive). Sebaliknya, di sejumlah perusahaan, apabila produk yang dihasilkan pada akhirnya gagal atau tidak laku lagi sesuai perkembangan zaman dan selera pasar, maka produk tersebut harus dihentikan produksinya.
Harus diakui, bisnis yang “agile” adalah usaha bisnis yang tangkas. Ketangkasan merupakan satu jenis kerangka kerja ( yang juga digunakan di dalam proyek manajemen rintisan. Dengan "agile framework", maka pelaku bisnis rintisan akan terus mencari, karena mereka merasa belum sempurna sehingga usahanya akan terus-menerus disempurnakan.
Ibaratnya seperti pengkinian perangkat lunak di laptop, baik dengan perangkat iOS atau pun menggunakan aplikasi "playstore", adakalanya sistem meminta dilakukannya update data. Itu sebabnya bisnis "startup" secara terus-menerus meng-update dirinya, sambil secara berkala mencari update terbaru.
Sehingga benar apa yang disebut Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki yang akan menjadikan usaha mikro kecil dan menengah sebagai garda terdepan pemulihan ekonomi. Hal ini karena kemampuan sektor ini lebih cepat pulih dari keterpurukan.
Teten mencatat pada 2020, sebanyak empat juta pelaku UMKM sudah beralih menggunakan medium digital dalam melakukan aktivitas perdagangan, atau secara elektronik (daring). Banyak dari pelaku di atas, lebih memilih menjajakan produknya melalui pasar digital yang dimiliki oleh banyak aplikasi penjualan daring.
Menurut Teten kemampuan adaptasi itu yang luar biasa dengan mulai beradaptasi dengan market baru ke digital. Tahun lalu ada peningkatan empat juta kita yang tertinggi di platform digital di Indonesia, jadi total yang sudah beralih sekarang 12 juta UMKM.
Dengan demikian pelaku bisnis ke depan memang bakal di warnai para pelaku perusahaan rintisan dan UMKM. Mereka ini memiliki kemampuan mendorong ekonomi Indonesia bakal maju lebih pesat lagi
Anak-anak muda ini sadar betul perusahaan rintisan (startup) dengan jumlah pegawai hanya puluhan lebih mudah mengeksplorasi kemampuan yang mereka miliki. Berbeda dengan bekerja di pegawai pemerintahan maupun perusahaan besar yang terkadang sulit mengembangkan potensi yang mereka miliki.
Bahkan ada yang ramai-ramai dengan teman kuliah mendirikan perusahaan rintisan sendiri. Berbekal penguasaan di bidang teknologi digital, ditambah ide dan naluri bisnis mereka mendirikan perusahaan tersebut. Beberapa bahkan sukses dan berhasil meraup nilai penjualan sampai miliaran rupiah padahal di dalamnya mungkin hanya puluhan pelaku usahanya.
Technopreneur yang membidangi sejumlah proyek startup, Antony Reza Pahlevi mengatakan, untuk menjadi pemilik perusahaan rintisan ada dua syarat yang harus terpenuhi yakni pertama barang atau jasa yang dihasilkannya harus "repeatable" atau dapat digunakan berulang oleh para pengguna (user) dan yang kedua adalah produk atau jasa tersebut "expandable" atau bisa diekspansi ke manapun.
Antony saat ini tengah menangani enam perusahaan rintisan. Salah satunya, “Pantoera” yang digagas anak-anak muda yang bermukim di wilayah Pantai Utara Jawa.
Menurut Antony, ide dasar membangun "Pantoera" merupakan wadah bagi anak-anak muda dapat mempelajari keahlian digital dan sektor-sektor yang termasuk dalam bidang ekonomi kreatif.
Lulusan Fisipol Jurusan Hubungan Internasional UGM ini berargumentasi, mengapa dirinya memilih menggandeng anak-anak muda di sekitar wilayah domisilinya di Kabupaten Batang-Pekalongan, Jawa Tengah, adalah karena lebih mudah mengoptimalkan bakat anak-anak tersebut yang kebetulan lahir di dunia digital.
Di daerah
Hal senada juga disampaikan Nadia Hasnah Humaira dari Padusi.id yang mengatakan peluang pengembangan perusahaan "startup" ke depan akan lebih banyak di dominasi daerah-daerah.
Penting bagi kalangan muda di daerah-daerah untuk saling bertukar gagasan dan pandangan serta menyerap ilmu dari sejumlah praktisi berbagai keahlian agar perusahaan rintisan bisa berkembang di daerah.
Putri Bupati Bogor Ade Yasin itu optimistis seperti di wilayah Kabupaten Bogor apabila kalangan mudanya mendapat sentuhan dan pelatihan mengenai potensi bisnis yang bisa dikembangkan di wilayahnya juga akan mampu berkembang.
Dengan menggandeng anak muda setempat di daerah asalnya maka tidak perlu mencari pembuktian (validasi) ke sejumlah kota besar di Indonesia. Dengan berkembangnya teknologi digital saat ini, para pemuda tidak perlu lagi merantau ke kota yang lebih besar untuk memperoleh tingkat penghidupan yang lebih memadai.
Bahkan mereka bisa menjadi diri sendiri secara lebih optimal di daerah asalnya, kata Nadia, yang juga pegiat "sociopreneur" itu.
Sedangkan Reza menambahkan ide untuk menjadikan kisah atau narasi di balik bisnis satu perusahaan rintisan, sejatinya selalu dimulai dengan keresahan yang terjadi pada diri sendiri.
Anak-anak muda itu seharusnya senantiasa merawat keresahan dirinya sendiri sehingga dari situ akan ada proses mengalami keresahan berpikir. Dari proses berpikir ini akan muncul berbagai ide sehingga dari berbagai ide tersebut, pada akhirnya akan muncul yang dinamakan validasi ide.
Sampai akhirnya perusahaan start-up tersebut akan mampu mengalahkan kekuatan perusahaan (enterprise). Bahkan yang besar mampu bertumbuh menjadi perusahaan kelas "unicorn".
Mereka secara telaten terus merawat keresahan itu sampai jadi penyemangat dalam menyelesaikan problem (masalah) yang lebih besar sambil mulai berbagi ilmu.
Salah satu metodologi yang menjadi acuan adalah "lean method". Metode ini mengajarkan untuk memulai bisnis awal tidak memerlukan sumber daya yang banyak sebagai modal dasar, melainkan perlu mencari di mana problemnya, lantas perlu mengadakan atau mencari solusi, baik dalam bentuk produk maupun jasa sebagai hasil akhir, atau apapun yang dapat menyelesaikan problemnya.
Begitu problem sudah terpecahkan, maka tinggal mengembangkan usaha tersebut, seraya melihat indikator berapa kasus yang dapat dipecahkan dalam satu bulan, misalnya. Jika pada bulan pertama hanya selesai satu kasus, maka bulan berikutnya ditingkatkan menjadi 10 sampai 100 kasus yang dapat diselesaikan, tuturnya.
Perbedaan
Konsep rintisan berbeda dengan eksistensi "enterprise" (perusahaan), walaupun tidak dimungkiri, rintisan yang memiliki sistem kerja yang sudah terstruktur, pada akhirnya juga akan berkembang menjadi "enterprise". Namun mereka juga tidak akan meninggalkan elemen utama rintisan, yaitu sifat bisnisnya berupa produk atau jasa yang dapat diulang.
Reza berpandangan bahwa perusahaan itu pasti sudah jelas proses bisnisnya. Artinya, jika suatu perusahaan menjual produk komputer ataupun laptop maupun telepon selular, misalnya, maka produk yang dijual adalah tetap jenis produk yang sama, hanya berbeda nomor serialnya. Karena itu pendapatan harus diperoleh dari produk yang dihasilkan perusahaan.
Bedanya dengan perusahaan "startup", maka pada perusahaan ada yang memiliki divisi riset dan pengembangan produk sehingga mereka harus terus berpikir dan berinovasi menciptakan produk-produk baru pada periode tertentu.
Sementara itu mereka yang bergerak sebagai perusahaan rintisan, harus selalu berpikir menciptakan jalur pendapatan baru. Mereka akan terus mencari dan menguji coba ide bisnisnya, sampai kemudian menjadi produk yang "established" (mapan).
Itu sebabnya kebanyakan pengusaha rintisan tidak takut gagal, namun akan terus berupaya supaya bisnisnya bertahan (survive). Sebaliknya, di sejumlah perusahaan, apabila produk yang dihasilkan pada akhirnya gagal atau tidak laku lagi sesuai perkembangan zaman dan selera pasar, maka produk tersebut harus dihentikan produksinya.
Harus diakui, bisnis yang “agile” adalah usaha bisnis yang tangkas. Ketangkasan merupakan satu jenis kerangka kerja ( yang juga digunakan di dalam proyek manajemen rintisan. Dengan "agile framework", maka pelaku bisnis rintisan akan terus mencari, karena mereka merasa belum sempurna sehingga usahanya akan terus-menerus disempurnakan.
Ibaratnya seperti pengkinian perangkat lunak di laptop, baik dengan perangkat iOS atau pun menggunakan aplikasi "playstore", adakalanya sistem meminta dilakukannya update data. Itu sebabnya bisnis "startup" secara terus-menerus meng-update dirinya, sambil secara berkala mencari update terbaru.
Sehingga benar apa yang disebut Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki yang akan menjadikan usaha mikro kecil dan menengah sebagai garda terdepan pemulihan ekonomi. Hal ini karena kemampuan sektor ini lebih cepat pulih dari keterpurukan.
Teten mencatat pada 2020, sebanyak empat juta pelaku UMKM sudah beralih menggunakan medium digital dalam melakukan aktivitas perdagangan, atau secara elektronik (daring). Banyak dari pelaku di atas, lebih memilih menjajakan produknya melalui pasar digital yang dimiliki oleh banyak aplikasi penjualan daring.
Menurut Teten kemampuan adaptasi itu yang luar biasa dengan mulai beradaptasi dengan market baru ke digital. Tahun lalu ada peningkatan empat juta kita yang tertinggi di platform digital di Indonesia, jadi total yang sudah beralih sekarang 12 juta UMKM.
Dengan demikian pelaku bisnis ke depan memang bakal di warnai para pelaku perusahaan rintisan dan UMKM. Mereka ini memiliki kemampuan mendorong ekonomi Indonesia bakal maju lebih pesat lagi