Jakarta (ANTARA) - Pelabuhan Calaca di Manado, Sulawesi Utara (Sulut), masih lengang tatkala fajar terakhir November 2025 turun di teluk. Di antara deru mesin kapal dan teriakan buruh yang saling bersahutan, sebuah operasi senyap digelar.
Petugas Bea Cukai Sulawesi Bagian Utara, personel TNI Angkatan Laut, dan aparat Kesyahbandaran bergerak tanpa banyak bicara menuju satu truk yang tampak biasa saja. Di balik terpal dan kardus polos itulah, negara hampir menelan kerugian besar hanya dalam sekali pengiriman.
Ketika segel dibuka dan satu per satu jerigen dikeluarkan, bau tajam alkohol langsung menyergap udara lembap pelabuhan. Cap tikus, minuman keras tradisional yang akrab di telinga warga Sulawesi Utara itu kali ini muncul dalam wajah berbeda yang tanpa izin edar, tanpa pita cukai, tanpa tanggung jawab atas dampaknya.
Total ada 1.003,5 liter minuman mengandung etil alkohol golongan C, dengan kadar alkohol di atas 20 persen, siap meluncur ke pasar gelap. Satu ton barang ilegal, satu ton risiko bagi kesehatan publik, persaingan usaha, dan keuangan negara.
Di atas kertas, kerugian negara yang berhasil dicegah dari satu kasus ini ditaksir sekitar Rp104,38 juta. Angka yang tampak kecil dibandingkan APBN, tetapi di dalamnya ada fasilitas kesehatan yang bisa diperbaiki, beasiswa yang bisa ditambah, dan infrastruktur pelayanan publik yang bisa dibiayai.
Dalam rentang Januari sampai November 2025, data Bea Cukai menunjukkan nilai penyitaan minuman mengandung etil alkohol ilegal di seluruh Indonesia sudah mencapai puluhan miliar rupiah, dengan potensi kerugian negara yang diselamatkan mencapai puluhan miliar lainnya. Penangkapan di Pelabuhan Calaca hanya sepotong dari mozaik besar itu.
Wakil Gubernur Sulawesi Utara Victor Mailangkay, saat diwawancara soal ini, Kamis (11/12), menyambut tegas langkah aparat gabungan. Ia mengingatkan bahwa perkara ini bukan sekadar soal ribuan liter minuman keras yang tertangkap.
Bagi pemerintah daerah, minuman beralkohol ilegal adalah hantaman ganda di satu sisi mematikan industri resmi yang patuh aturan dan di sisi lain menggerus pendapatan negara dari cukai yang seharusnya kembali ke masyarakat dalam bentuk layanan publik.
Pernyataan itu menyingkap wajah lain cap tikus. Di satu sisi merupakan bagian dari tradisi panjang masyarakat Minahasa, sementara di sisi lain menjadi kanal empuk bagi jaringan yang memanfaatkan pasar murah tanpa standar produksi dan pengawasan.
Di banyak desa, cap tikus hadir di pesta adat dan perayaan keluarga. Namun ketika produksi dan peredarannya lepas dari pengawasan, minuman yang sama bisa berubah menjadi ancaman tak hanya bagi kesehatan, tetapi juga bagi generasi muda yang tumbuh dalam akses mudah terhadap barang ilegal.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara menyatakan tak tinggal diam. Operasi gabungan melibatkan TNI, Polri, Satpol PP, dan Bea Cukai rutin digelar untuk menyita minuman keras ilegal, dari cap tikus tanpa izin hingga produk impor tanpa cukai.
Di sudut-sudut kota, razia malam hari bukan lagi hal asing ketika botol-botol disita, sebagian pemilik dibawa untuk pemeriksaan, dan berita penertiban lalu menyebar melalui media lokal.
Namun, investigasi di lapangan menunjukkan persoalan yang dihadapi jauh lebih rumit. Di balik setiap jerigen cap tikus yang disita, ada rantai panjang yang berawal dari rumah produksi sederhana di kampung, melewati oknum pengumpul, hingga sopir truk dan perantara di pelabuhan.
Sebagian adalah petani yang mencari tambahan penghasilan, sebagian lain oknum pedagang oportunis yang menjadikan ketiadaan pengawasan sebagai celah bisnis.
Konsistensi penindakan
Di sepanjang mata rantai itu, selalu terbuka ruang bagi kemungkinan keterlibatan oknum. Inilah mengapa transparansi data dan konsistensi penindakan menjadi ujian sesungguhnya bagi keberanian negara memberantas perdagangan gelap.
Harga yang lebih murah dibanding produk legal membuat minuman ini laku keras, terutama di kalangan konsumen berdaya beli rendah yang jarang memikirkan legalitas, apalagi standar higienitas.
Di titik inilah penegakan hukum bertemu dengan dilema pembangunan. Menghentikan barang di pelabuhan dan menindak pelaku jelas penting, tetapi tak cukup. Tanpa alternatif ekonomi yang realistis, larangan demi larangan hanya akan melahirkan jalur baru penyelundupan.
Setiap pintu yang ditutup di pelabuhan resmi bisa memunculkan pintu lain di dermaga kecil, kebun kelapa, atau rumah-rumah yang tersembunyi di balik bukit. Menekan di hilir tanpa menyentuh akar di hulu hanya memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya.
Victor Mailangkay menekankan bahwa pemerintah memandang serius dampak sosial peredaran minuman beralkohol ilegal, dari kerusuhan yang bermula dari mabuk hingga kecelakaan lalu lintas, dari kekerasan dalam rumah tangga hingga gangguan ketertiban umum.
Penindakan, menurut dia, berjalan berdampingan dengan edukasi berkelanjutan kepada masyarakat, terutama generasi muda.
Namun di lapangan, para pendidik, tokoh agama, dan aktivis komunitas kerap berjibaku dengan keterbatasan sumber daya dalam mengimbangi laju distribusi minuman ilegal yang bergerak cepat dan adaptif.
Sementara itu, pelaku usaha resmi di sektor minuman beralkohol menanggung beban ganda. Mereka diikat biaya produksi yang mengikuti standar mutu, kewajiban cukai, serta aturan distribusi yang ketat.
Di hadapan mereka berdiri pesaing tak kasatmata, jaringan produsen ilegal yang tak membayar cukai, tak mematuhi standar kesehatan, dan tak punya alamat jelas untuk dimintai tanggung jawa ketika terjadi keracunan atau kematian.
Jika pasar legal terus digerus oleh produk ilegal, produsen resmi akan ragu menanam modal atau memperluas usaha. Risiko bisnis terlampau besar, imbal hasil tak lagi sepadan, dan dalam jangka panjang iklim usaha yang sehat ikut terancam.
Kisah satu ton cap tikus di Pelabuhan Calaca juga mengingatkan bahwa pengawasan perbatasan laut Indonesia bukan hanya soal barang mewah atau narkotika bernilai miliaran.
Di banyak titik, ancaman nyata justru datang dari barang-barang yang tampak biasa tetapi masif, murah, dan akrab di mata masyarakat.
Minuman beralkohol ilegal, rokok tanpa cukai, hingga produk konsumsi harian tanpa izin edar sama-sama mengikis sedikit demi sedikit fondasi penerimaan negara dan rasa percaya publik terhadap kehadiran negara di garis depan pengawasan.
Persoalan klasik
Maka ke depan sudah saatnya bangsa ini harus gagah berani menggali akar persoalan, bukan cuma merayakan keberhasilan razia.
Rantai suplai minuman ilegal bersentuhan dengan persoalan klasik yakni kemiskinan, ketimpangan akses pendidikan, dan lemahnya pengawasan di tingkat hulu.
Di banyak desa, produksi minuman tradisional adalah warisan turun-temurun yang tak pernah benar-benar dibimbing untuk naik kelas dan masuk ke jalur legal. Sertifikasi, standardisasi, hingga perizinan sering kali terdengar seperti beban, bukan peluang.
Padahal, jika negara hadir bukan hanya sebagai pemungut cukai dan pemutus rantai ilegal, tetapi juga sebagai mitra yang membantu produsen kecil bertransformasi, cerita cap tikus bisa berbelok arah.
Minuman tradisional bisa diangkat menjadi produk berstandar dengan identitas geografis yang jelas, rantai distribusinya transparan, dan kontribusinya terhadap penerimaan negara tercatat.
Di saat yang sama, ruang gerak mafia minuman ilegal menyempit karena bahan baku dan jaringan produksinya sudah terserap ke sektor formal yang diawasi.
Di Sulawesi Utara, kerja sama lintas lembaga yang berhasil mengamankan satu ton barang ilegal di Pelabuhan Calaca patut diapresiasi. Namun apresiasi itu seharusnya menjadi titik awal, bukan garis finish.
Setiap jerigen yang disita mestinya dibaca sebagai pesan bahwa masih ada celah yang harus ditutup, masih ada keluarga yang menggantungkan penghidupan pada produksi tanpa izin karena tak melihat pilihan lain, dan masih ada generasi muda yang menganggap minuman keras murah sebagai pelarian dari himpitan hidup.
Investigasi atas peredaran minuman beralkohol ilegal di Sulut, pada akhirnya, bukan semata soal mengungkap angka dan kronologi penangkapan.
Ini adalah cermin yang memaksa kita menatap kembali bagaimana negara mengelola ruang antara tradisi, kebutuhan ekonomi, dan kewajiban melindungi warganya. Di pelabuhan, di desa-desa penghasil, di rapat perumusan Perda, hingga di ruang keluarga tempat anak-anak menyaksikan pilihan orang dewasa di sekelilingnya.
Satu ton cap tikus yang digagalkan peredarannya di Pelabuhan Calaca adalah kemenangan kecil yang penting. Tetapi kemenangan yang lebih besar adalah ketika jalur distribusi ilegal tak lagi menarik, ketika produsen kecil merasa lebih aman berada di jalur resmi, dan ketika generasi muda Sulawesi Utara tumbuh dengan lebih banyak pilihan sehat untuk merayakan hidup selain menenggak minuman murah tanpa izin.
Di sana, penindakan dan edukasi bertemu, hukum dan harapan saling menguatkan, dan komitmen memberantas barang ilegal benar-benar berubah menjadi perlindungan yang terasa hingga ke lapisan masyarakat paling bawah.

