Manado (ANTARA) - Maraknya modus penipuan menggunakan kode USSD 21, untuk meneruskan panggilan ke nomor lain seharusnya bisa menjadi dasar bagi pemerintah atau penyedia layanan telekomunikasi memberikan edukasi yang tepat bagi para penggunanya. 

Hal tersebut dikatakan pakar keamanan siber Pratama D. Persadha, dan berharap agar edukasi tentang keamanan siber bisa digalakkan.

"Atas kejadian ini, harapannya ke depan edukasi oleh semua pihak bisa digalakkan," ujar Pratama.

Dia mengatakan, USSD yang merupakan singkatan dari Unstructured Supplementary Service Data merupakan salah satu teknologi pesan singkat yang dimiliki oleh jaringan GSM, dan umumnya, digunakan untuk pertukaran teks antara ponsel dengan aplikasi yang terdapat di jaringan milik operator. Jadi, tidak heran jika kebanyakan info dan layanan yang dapat diakses menggunakan USSD merupakan info dan layanan yang terkait dengan operator seluler.

Viralnya kasus social engineering dengan modus penerusan panggilan dengan kode USSD, kata Pratama, juga menjadi tanda bagi pemerintah untuk segera memasukkan kurikulum keamanan siber dan berinternet yang sehat sejak dini.

"Sehingga hal-hal penggunaan teknologi yang standar bisa diketahui secara luas, dan apa yang boleh serta tidak boleh dilakukan di wilayah siber juga diterima masyarakat secara luas," ungkap pendiri Lembaga Riset Keamanan Cyber dan Komunikasi (CISSReC) itu.

Menurut Pratama, operator seluler telah memberikan sebagian keuntungannya kepada pemerintah, salah satunya untuk proses edukasi. Karena itu sudah seharusnya pemerintah menggalakan sosialisasi keamanan siber lebih masif.

"Tetapi secara default, operator seluler  juga pasti sudah melakukan edukasi ke masyarakat juga. Masalahnya kurang masif dan merata saja," ujar mantan ketua Tim Lemsaneg Pengamanan IT Presiden itu. 

Pratama menjelaskan, call forwarding atau pengalihan panggilan ke nomor lain sebenarnya hanya mengalihkan panggilan saja, tanpa mengalihkan SMS.

Dalam kasus terakhir yang dialami Maia, pelaku yang meminta korban melakukan pengalihan panggilan (tanpa korban tahu bahwa itu pengalihan panggilan), menjadikan pelaku hanya menerima panggilan ke nomor milik Maia.

"Yang dilakukan pelaku adalah meminta SMS OTP aplikasi GoJek sebanyak dua kali, sehingga muncul permintaan OTP lewat telepon, inilah momentum pelaku mengambil alih akun GoJek korban," jelasnya.

Menurut Pratama, memang terkait fitur pengalihan panggilan banyak sekali, bahkan sebagian besar masyarakat kita tidak tahu.

"Kebetulan Maia juga bukan artis kemarin sore dan termasuk dari kalangan yang berpendidikan tinggi, momentum ini memang seharusnya dijadikan oleh operator seluler dan pemerintah untuk melakukan edukasi ke tengah masyarakat," pungkasnya. 

 

Pewarta : Joyce Hestyawatie B
Editor : Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024