Manado, (Antaranews Sulut) - Anggota Komisi VII DPR RI, Dr. Bara Krishna Hasibuan Walewangko, mengatakan, para elit politik harus berhenti menggunakan retorika ngeri dalam Pemilu dan Pilpres 2019.
Hal tersebut disampaikan legislator yang juga Wakil Ketua Umum PAN, itu saat berada di Manado, karena banyaknya retorika politik kekerasan dan mengerikan yang selalu disampaikan ke masyarakat.
"Retorika yang mempromosikan kekerasan seperti potong leher, kuping serta armageddon harus dihentikan, karena itu tidak punya tempat di Indonesia, terutama dalam konteks pemilu, karena masyarakat Indonesia itu masih rentan dengan kekerasan," katanya.
Sebab itu, dia menilai bahwa demokrasi di Indonesia belum matang sehingga hal-hal seperti itu harus dihentikan, sebab menurutnya, proses pemilu esensinya adalah battle of ideas atau pertarungan ide-ide, bukan pertarungan fisik hidup mati seperti dalam konteks armageddon.
Menurutnya, dalam perjalanan ke Dapil-nya di Sulawesi Utara, banyak pertanyaan terkait retorika elit yg memunculkan kebingungan, kesedihan dan kemarahan itu.
Sehingga dia katanya, harus menjawab semua pertanyaan tersebut dan meluruskan kondisi, serta memberikan penjelasan yang menenangkan masyarakat agar tidak terprovoksi dengan retorika yang berbau kekerasan itu.
Dia mengingatkan, para elite punya tanggung jawab dan peran penting, dalam hidup berbangsa dan bernegara, karena harus menginspirasi rakyat untuk memandang proses pemilu dengan cara-cara damai dan bukan kekerasan.
"Mari kita bangun kultur politik yg beradab berdasarkan kedewasaan dan kedamaian, tugas elit adalah bukan mempromosikan kekerasan, tetapi perdamaian," katanya. ***
Hal tersebut disampaikan legislator yang juga Wakil Ketua Umum PAN, itu saat berada di Manado, karena banyaknya retorika politik kekerasan dan mengerikan yang selalu disampaikan ke masyarakat.
"Retorika yang mempromosikan kekerasan seperti potong leher, kuping serta armageddon harus dihentikan, karena itu tidak punya tempat di Indonesia, terutama dalam konteks pemilu, karena masyarakat Indonesia itu masih rentan dengan kekerasan," katanya.
Sebab itu, dia menilai bahwa demokrasi di Indonesia belum matang sehingga hal-hal seperti itu harus dihentikan, sebab menurutnya, proses pemilu esensinya adalah battle of ideas atau pertarungan ide-ide, bukan pertarungan fisik hidup mati seperti dalam konteks armageddon.
Menurutnya, dalam perjalanan ke Dapil-nya di Sulawesi Utara, banyak pertanyaan terkait retorika elit yg memunculkan kebingungan, kesedihan dan kemarahan itu.
Sehingga dia katanya, harus menjawab semua pertanyaan tersebut dan meluruskan kondisi, serta memberikan penjelasan yang menenangkan masyarakat agar tidak terprovoksi dengan retorika yang berbau kekerasan itu.
Dia mengingatkan, para elite punya tanggung jawab dan peran penting, dalam hidup berbangsa dan bernegara, karena harus menginspirasi rakyat untuk memandang proses pemilu dengan cara-cara damai dan bukan kekerasan.
"Mari kita bangun kultur politik yg beradab berdasarkan kedewasaan dan kedamaian, tugas elit adalah bukan mempromosikan kekerasan, tetapi perdamaian," katanya. ***