Manado,(AntaraSulut) - Jika kita bertanya apa arti keutamaan, barangkali tidak ada yang bisa menjawab dengan mudah, karena keutamaan seringkali kurang dimengerti secara benar. Ketika memahami kata 'keutamaan', yang paling mudah dimengerti justru kata 'utama'. 

Sejarah telah mencatat bahwa sejak jaman Yunani kuno, keutamaan dimengerti sebagai arête yang berarti kemampuan manusia untuk melakukan perannya sebagai manusia, untuk mencapai tujuan internalnya/terdalamnya. (Aristotle, 2009: 20-21). 

Di sini keutamaan dimengerti sebagai satu kekuatan atau kemampuan, yang menunjuk pada kemampuan seseorang untuk menjadi manusia utuh. Jadi secara sederhana dapat dikatakan bahwa, keutamaan berkaitan erat dengan manusia, dan manusia yang utama adalah manusia yang luhur, untuk menjalankan apa yang baik dan tepat dalam melakukan tanggung jawabnya. Demikian, seorang manusia yang ‘utama’ atau yang memiliki ‘keutamaan’, yang harus mempunyai tanggung jawab terhadap diri, tanggung jawab terhadap orang lain dan tanggung jawab terhadap dunia.

Era globalisasi yang semakin mencuat, mementaskan kehidupan yang serba instant, serba ‘buru-buru’ dan bahkan mungkin, serba ‘memilih jalan pintas’. Namun tak bisa dipungkiri, mungkin saja keadaan demikian, adalah konsekuensi hidup di era globalisasi, era di mana bertemunya manusia (individu yang masih ‘tertutup’) dengan budaya global/budaya maju. Perjumpaan itu berlangsung lewat interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari, termasuk lewat macam-macam media. Sebut saja media cetak, majalah, surat kabar, maupun media elektronik seperti radio, televisi, internet. Jadi, manusia mengalami suatu pergaulan sosial yang terbuka secara global dan plural.

Fakta di atas, menuntut manusia untuk terbuka terhadap relitas yang terus berkembang. Jika biasanya manusia bersikap ‘tertutup’ terhadap dunia luar termasuk tertutup dengan orang lain, kini berbanding terbalik, manusia mau tidak mau harus melihat dirinya sebagai bagian dari dunia luar itu. Keterbukaan ini, pada akhirnya menuntut pengorbanan dari masing-masing pihak, yakni keberanian dan kesediaan untuk mengorbankan pandangannya yang mungkin tertutup, untuk membuka diri terhadap dunia luar termasuk sesama. Seyogyanya, manusia harus semakin meningkatkan kesadarannya bahwa ia hidup dalam dunia yang semakin hari semakin maju dan majemuk. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa dalam perkembangan arus globalisasi ini, terjadi perjumpaan antar manusia, antar kelompok, bahkan antar budaya. Selanjutnya, dalam arus globalisasi ini, terjadilah pergeseran model hidup bermasyarakat dari lokal ke global. 

Selain itu, dengan fakta ini manusia didesak untuk mengubah sikap mental dan cara berpikirnya. Ia dituntut untuk mengubah mentalitas yang lebih terbuka dan seakan tanpa sekat dengan majunya arus globalisasi itu. Namun, fakta lain yang berbanding terbalik, adalah kurangnya kemampuan manusia dalam ‘menyeleksi’, menganalisa dan mempraktekkan kehidupan yang lebih baik yang mampu menyesuaikan dengan perkembangan arus globalisasi tersebut. Hemat penulis, sepertinya manusia kurang memiliki pemahaman tentang bagaimana cara yang tepat menyikapi arus deras globalisasi. Maka dari itu, seyogyanya pula-lah manusia harus memiliki pemahaman tentang keutamaan yang sebenarnya yakni kekuatan dan kemampuan, yang mumpuni untuk hidup ditengah era globalisasi sebagai manusia utuh. Diyakini cara hidup yang berkeutamaan, akan mampu menyikapi dengan baik, situasi globalisasi yang berkembang pesat itu.

Berangkat dari realitas di atas, demi pencarian keutamaan yang sesungguhnya, terdapat dua pertanyaan pokok yang bisa diutarakan. Pertama, apa sesunggguhnya keutamaan yang dimaksudkan itu? Berkaitan dengan hal ini, Prof. Magnis-Suseno, seorang Guru Besar Filsafat, membedakan keutamaan dalam dua: Keutamaan intelektual menunjuk pada sikap dan akal budi yakni sikap kehendak. (Magnis-Suseno, 1997: 37-39). Keutamaan menjadi keutamaan, jika tingkah laku khasnya dipikirkan sebagai sesuatu yang mendukung ke arah cita-cita tertentu, yakni mengenai kehidupan yang baik, bagi individu tapi juga masyarakat tempat dia berada.

Pertanyaan kedua, bagaimana cara menumbuhkan keutamaan dalam diri manusia? Seorang Filsuf Irlandia, Alasdair MacIntyre mengatakan bahwa, menjadi manusia utuh adalah tujuan dari semua pergumulan hidup manusia, yang tidak bisa dilepaskan dengan kegiatan bermakna. Mengapa demikian? Karena dengan kegiatan bermakna, keutamaan seseorang akan tumbuh bahkan kegiatan bermakna ini menunjang tumbuhnya keutamaan dalam diri manusia. Tujuan keutamaan menjadi penting demi menunjukkan bahwa seseorang menjadi manusia utuh. (MacIntyre 1981). Selain itu, kegiatan bermakna mengungkapkan kemampuan-kemampuan manusiawi yang penting. Melalui kegiatan bermakna ini, nilai-nilai terdalam kegiatan bahkan praktek hidup manusia menjadi nyata. 

Kegiatan bermakna memang harus menjadi pokok bagi setiap orang, karena menjadi sarana dalam menumbuhkan keutamaan. Makin banyak kegiatan bermakna yang dilakukan, makin bernilailah hidup manusia tersebut. Dengan demikian, sebuah kegiatan bermakna harus merupakan standar-standar yang bermutu dan suatu sikap taat terhadap aturan untuk mencapai sesuatu yang bernilai dan bermutu. Mutu dan nilai itulah yang dimaksud dengan keutamaan. Keutamaan dalam arti yang sebenarnya adalah mutu (excellency), atau kemampuan-kekuatan seseorang dalam berpartisipasi pada sebuah kegiatan bermakna. (Magnis-Suseno, 1997: 201).
Selanjutnya, ketika melakukan sebuah kegiatan bermakna sesungguhnya masih belumlah lengkap. Kegiatan bermakna tidak pernah bisa dilepaskan dari tradisi, karena kegiatan bermakna merupakan sesuatu yang hanya dapat dimengerti dalam rangka sebuah tradisi yang lebih luas. Hal ini berarti, bahwa seseorang yang terlibat dalam sebuah kegiatan bermakna akan bertindak berdasarkan patokan norma-norma yang dihasilkan oleh tradisi. Dalam arti ini, sebuah kegiatan bermakna tidak pernah bisa lepas dari tradisi tertentu, praktisnya kegiatan bermakna Tou Minahasa, tidak pernah bisa dilepaskkan dari tradisi Minahasa pada umumnya, seperti kegiatan untuk pengembangan kerja sama dalam mapalus, dan tak menutup kemungkinan, mendasarkan setiap tindakan bermakna dan cara hidupnya lewat ajakan DR. Sam Ratulangi, Si Tou Timou Timou Tumou Tou.

Dapat disimpulkan bahwa keutamaan yang berdasar pada Si Tou Timou Tumou Tou, membuat seseorang memiliki ciri-ciri keluhuran watak yang secara moral pantas dikejar. Pada saat yang sama, seseorang yang memiliki keutamaan, akan mempraktekkan kehidupannya secara lebih bermakna, sehingga tujuan utama, yakni menjadi manusia utuh bisa dicapai. Keutamaan pada dasarnya membuat kita menjadi manusia yang baik, yang berarti membuat kita menjadi manusia yang utuh untuk mencapai kebahagiaan sebagai tujuan hidup. Jadi, keutamaan adalah kebiasaan yang terwujud dalam tindakan praktis, yang juga didasarkan pada tradisi yang baik yang sudah dihidupi sekian tahun.

Era globalisasi adalah era yang sangat terbuka dalam kemajemukan dalam banyak hal. Hidup dalam masyarakat yang semakin terbuka, butuh orientasi budaya, yang mampu memberi kontribusi yang berwawasan bagi dunia yang semakin modern dan terbuka itu. Melihat budaya Minahasa yang memiliki orientasi nilai kultural dalam kegiatan bermakna seperti etos kerja, spirit kebersamaan, keterbukaan dan toleransi, diyakini akan turut memperkaya manusia untuk menjadi manusia yang utama dan manusia yang utuh, sehingga dengan demikian, hal itu memperkaya kebudayaan yang menjunjung tinggi kemanusiaan yang beradab dalam kehidupan bermasyarkat. Berhadapan dengan dunia global ini, diharapkan manusia menjadi ‘tuan’ atas peradaban, dengan tentu tidak meninggalkan nilai-nilai tradisi yang sudah lama tumbuh dan bertahan seiring perubahan waktu itu. Menjadi ‘tuan’ atas perkembangan global, juga merupakan sebuah kegiatan bermakna demi manusia yang utama dan utuh. Dengan demikian, niscaya jalan menuju keutamaan sungguh-sungguh bisa terwujud. Salam Takzim.(Penulis,Mahasiswa Magister Filsafat Sekolah Tinggi Fisafat Driyarkara Jakarta, Anggota Tim Filsafat Unika De La Salle Manado)


Pewarta : Ambrosius Loho
Editor :
Copyright © ANTARA 2024