Manado (ANTARA) - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Utara menyelesaikan sebuah perkara tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang ditangani Kejaksaan Negeri (Kejari) Sangihe melalui keadilan restoratif.

Kepala Kejati Sulut Dr Andi Muhammad Taufik SH, MH melalui Kasi Penkum Januarius Lega Bolitobi SH, di Manado, Selasa, mengatakan Wakil Kepala Kejati Dr Transiswara Adhi SH, M.Hum, telah melaksanakan ekspose perkara restorative justice dipimpin Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Prof Dr Asep Nanang Mulyana, SH, MHum, dan Direktur Orang dan Harta Benda (Oharda) Nanang Ibrahim Soleh SH, MH.

"Pada saat ekspose perkara dari Kejari Sangihe yang dilakukan secara virtual itu, Wakil Kepala Kejati Sulut didampingi Asisten Bidang Tindak Pidana Umum Mohamad Faid Rumdana SH, MH beserta jajaran pada bidang tindak pidana umum," katanya.

Ia mengatakan ekspose perkara restorative justice dengan tersangka JFM yang disangka melanggar Pasal 49 Huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam lingkup Rumah Tangga.

Bahwa berawal pada sekitar Maret Tahun 2017, bertempat Kelurahan Paniki Bawah, Kota Manado di rumah saksi MM, telah terjadi adu mulut antara pasangan suami dan isteri atas nama saksi korban ML dengan suaminya tersangka JFM dimana akhirnya mereka harus berpisah dan tersangka meninggalkan istri dan anaknya serta tinggal di kos-kosan.

Sedangkan istri dan anak tersangka masih tetap tinggal di rumah saksi MM.

Selanjutnya Januari 2018 tersangka kembali ke Tahuna, Sangihe dan meninggalkan serta menelantarkan saksi korban ML yang adalah istri tersangka bersama juga dengan anak dari hasil pernikahan tersangka dan saksi korban.

Dimana tersangka tidak pernah lagi memberikan nafkah lahir maupun batin terhadap saksi korban beserta anaknya.

Semenjak saat itu saksi korban lah yang membiayai kehidupannya sendiri bersama anaknya sehari-hari serta menanggung semua biaya kebutuhan sekolah dari anaknya.

Akibat dari perbuatan tersangka yang menelantarkan mereka, saksi korban merasa keberatan karena kebutuhan hidup dan kebutuhan pendidikan dari anak saksi korban tidak bisa terpenuhi dengan baik.

Bahwa telah dilakukan upaya perdamaian oleh Kejari Sangihe dan telah mencapai kesepakatan damai antara pihak korban dan orang tua korban dengan pelaku dan dihadiri oleh saksi-saksi dan perwakilan masyarakat di Sangihe.

Atas kesepakatan tersebut, Kepala Kejari Sangihe mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ke Kejati Sulut.

Setelah mempelajari kasus tersebut, Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Sulut Transiswara Adhi, sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada Direktur Oharda untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.

Permohonan pun disetujui pada tanggal 15 Oktober 2024, dengan pertimbangan, tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana.

Tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka, ancaman pidana penjaranya tidak lebih dari lima tahun, korban telah memaafkan tersangka yang adalah suami sah dari korban.

"Kemudian tersangka menyesali perbuatannya dan berjanji tidak mengulanginya lagi baik terhadap korban maupun kepada orang lain.
Bahwa tersangka dan korban telah melakukan perdamaian di hadapan penuntut umum yang dihadiri oleh para saksi dan perwakilan masyarakat," katanya.

Ia mengatakan selain dari Kejari Sangihe, juga telah dilakukan ekspose lima perkara restorative justice lainnya.

Perkara tersebut berasal dari Kejari Minahasa yakni perkara Kekerasan terhadap anak dengan tersangka atas nama CM yang disangka melanggar pasal 80 ayat (1) UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak atau pasal 351 ayat (1) KUHPidana.

Kemudian perkara penganiayaan dengan tersangka atas nama HL alias Hendra yang disangka melanggar pasal 351 ayat (1) KUHPidana,

Perkara KDRT dengan tersangka atas RR yang disangka melanggar Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam lingkup Rumah Tangga

Kemudian perkara berasal dari Kejari Minahasa Selatan yakni perkara penganiayaan dengan tersangka atas nama FW alias Feri yang disangka melanggar pasal 351 ayat (1) KUHPidana, serta perkara penganiayaan dengan tersangka atas nama VL yang disangka melanggar pasal 351 ayat (1) KUHPidana.

Setelah mendengar pemaparan dari masing-masing Kepala Kejaksaan Negeri baik Kejari Minahasa dan Kejari Minahasa Selatan, Wakil Kepala Kejati Sulut Transiswara Adhi, juga sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.

Karena pihak korban dan pelaku telah bersepakat untuk berdamai di hadapan Jaksa Penuntut Umum dan dihadiri oleh saksi-saksi dan perwakilan masyarakat.

Keenam perkara tersebut pun mendapat persetujuan dari Direktur Oharda untuk dihentikan perkaranya berdasarkan keadilan restoratif atau dengan kata lain perkara tersebut tidak lagi dilimpahkan ke pengadilan karena telah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Peraturan Jaksa Agung RI Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.

Ekspose perkara ini dihadiri oleh Kepala Kejari Sangihe, Kepala Kejari Minahasa, Kepala Kejari Minahasa Selatan, serta jajaran bidang Pidum pada masing-masing kejari tersebut.
 

Pewarta : Jorie MR Darondo
Editor : Jorie MR Darondo
Copyright © ANTARA 2024