Manado, (AntaraSulut) - Kalau menyimak situs-situs online tentang Provinsi Sulawesi Utara, salah satu problem utama yang disajikan adalah perang antar kelompok. Gesekan horizontal tersebut menyebabkan ketidaknyamanan masyarakat dalam aktivitas sehari-hari. 

Fakta miris ini berbanding terbalik dengan spirit Tou Minahasa yang sangat mengagung-agungkan kehidupan bersama yang ideal, di mana kehidupan bersama tersebut akan membawa kerukunan dalam pelbagai pluralitas hidup bermasyarakat. Harmoni tersebut telah pecah oleh genderang ‘perang’ antar kelompok, suku, bahkan mungkin ras dan agama. Keadaan yang semakin rusak ini disebabkan oleh pelbagai kepentingan untuk menguasai satu terhadap lain.  

Reproduksi Kekerasan

Sadar atau tidak sadar, di sini nampak semacam ada reproduksi kekerasan yang membuat, seolah-olah kekerasan itu adalah seni dalam persaingan untuk mencari siapa yang terhebat atau b bahkan siapa yang terkuat dalam satu kelompok masyarakat. 

Kekerasan yang terjadi itu bisa juga tampak sebagai produksi berulang para aktor pelaku kekerasan dengan sejumlah motif. Artinya ketika kekerasan dijadikan sebagai prosedur untuk menyelesaikan masalah, maka terjadi proses kulturisasi (pembiasaan) kekerasan dalam masyarakat. Alhasil, kekerasan yang terjadi bukan lagi dilihat sebagai sebuah penyimpangan, tetapi merupakan bagian alamiah (terberi) dalam menyelesaikan konflik. 
Dengan pemakaian kekerasan secara verbal atau fisik, konflik akan dilihat semata-mata dalam sudut pandang negatif. Orang akan melihat bahwa perbenturan pendapat gagasan dan keyakinan itu sebaggai bagian dari konflik yang harus dihindari. Produksi kekerasan yang terjadi tidak hanya membatasi dirinya pada ranahnya sendiri tetapi melakukan kekerasan terhadap alternative ideal yang biasa dipakai untuk menyelesaikan masalah yakni komunikasi atau diskursus yang rasional. 

Singkatnya, alih-alih melakukan kekerasan fisik, kekerasan tersebut justru melakukan kekerasan terhadap solusi ideal untuk menyelesaikan masalah. 


Dialog sebagai Jalan Damai
 
Kekerasan terjadi karena kecenderungan para aktor untuk melakukan prosedur monologal yakni tidak melakukan atau menyetujui prosedur dialog dalam tatanan bersama. Masalah diselesaikan secara monolog yakni menggunakan pendapat sendiri, keyakinan sendiri sebagai yang benar dan dipertahankan secara militan. 

Yang terjadi adalah orang bersibuk dengan kebenaran promordialnya dan memaksakan kebenarannya sebagai kebenaran publik dan ketika ditolak ia akan mencari keamanan dalam komunitasnya yang tertutup dan fundamentalis itu. Ini dapat memacu sikap agresif dan represif ketika berhadapan dengan kelompok lain. 

Merujuk pada prinsip solidaritas filsuf pragmatis Amerika, Richard Rorty, bahwa sesungguhnya solidaritas bukan terletak pada pengertian diperintahkan agama atau dipaksakan oleh lembaga tertentu tetapi dibiasakan melalui keyakinan batin internal bahwa tindakan saya tidak melukai orang lain dalam penderitaannya. Saya mengasihi, mencintai atau menolong orang lain bukan karena alkitab mengatakan demikian atau budaya mengatakan demikian, tetapi terutama melalui pembatinan internal pengalaman penderitaan adalah hal negatif yang harus saya kurangi terutama terhadap diri orang lain. 

Solusi yang mampu mengangkat kembali nilai-nilai perdamaian Nyiur Melambai adalah terletak pada prinsip rasionalitas. 

Bahwa dalam penyelesaian masalah, bukan menggunakan sisi emosional semata, perasaan semata, tetapi prinsip rasionalitas yang mampu memberi cahaya yang masuk di akal terhadap setiap kondisi real masyarakat. Prinsip rasionalitas mungkin dirasa sangat ideal, tetapi dengan jalan tersebut, menurut hemat penulis perdamaian sangat mungkin terwujud dengan baik.

Seorang budayawan dan tokoh filsafat, Prof. Mudji Sutrisno, menguraikan bagaimana seorang guru bangsa Gus Dur, bahwa pesan pokok yang penting untuk bisa mewujudkan perdamaian dalam kemajemukan adalah: Pertama, peran spiritualitas, dengan peran ini dimaksudkan agar warga yang punya keyakinan dan kepercayaannya sendiri, mampu hidup bertata negara selaras dengan agamanya dan agama saudara-saudarinya, termasuk pula orang yang berasal dari kelompok atau suku yang lain. 

Kedua, memberikan contoh sebagai masyarakat yang tahu budaya dalam arti menampakkan bagaimana “Orang Manado” yang paham dan menghayati nilai-nilai etika dalam budaya Minahasa pada umumnya. Peran tersebut diyakini mampu mengatasi perselisihan dan konflik yang sering terjadi, yang nampak seperti direproduksi itu. 

Ketiga, bersama-sama dengan masyarakat atau sesama menjadi social control satu dengan yang lain, termasuk juga melindungi hak-hak asasi manusia yang sudah utuh dan menyatu dengan setiap pribadi dalam hidup bermasyarakat. 

Dalam kerangka tersebut, satu sama lain diajak untuk memiliki rasa dan kesediaan untuk berdamai tanpa 
memandang sesama atau kelompok lain adalah saingan atau musuh yang harus dilenyapkan dengan ‘panah wayer’.  

Belajar dari Etika Keselarasan Sosial, bahwa dua prinsip dasar yang penting dalam menjaga keselarasan adalah prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Dua prinsip ini menuntut bahwa dalam segala bentuk interaksi konflik-konflik terbuka harus dicegah dan bahwa dalam setiap situasi, pangkat dan kedudukan semua pihak yang bersangkutan, harus diakui melalui sikap hormat yang tepat. Demikian juga kedua prinsip tersebut berhubungan erat satu sama lain. Karena dengan demikian pula akan terpenuhi segala syarat agar interaksi-interaksi dapat berjalan dengan teratur. Setiap pihak mempunyai tempatnya yang diakui dan mengetahui bagaimana ia harus bersikap. 

Kekerasan tidak dapat menyelesaikan masalah. Penggunaan kekerasan hanya dapat memperpanjang tali kekerasan. Dialog dapat menjadi solusi ideal penyelesaian masalah. Dalam dialog kita dapat menghidupi kekayaan kultural Minahasa: Torang Basudara. Marilah kita menggunakan panah perdamaian untuk mengalahkan panah pertikaian (panah wayer), untuk sebuah kerukunan dan perdamaian yang diidamkan setiap orang.

(Penulis : Mahasiswa Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Fisafat Driyarkara Jakarta,
Tim Filsafat Unika De La Salle Manado)



Pewarta : Ambrosius Loho
Editor : Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024