Manado (ANTARA) - Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia, Senin malam, mengeluarkan pernyataan pers telah melakukan penyelidikan di lapangan dan menemui para pihak termasuk Gubernur Sulawesi Utara, Olly Dondokambey, terkait masalah PT TMS di Pulau Sangihe. 

Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, bersama anggota Sandrayati Moniaga, dalam pertemuan tersebut mengatakan, Komnas HAM sudah menindaklanjuti laporan masyarakat Sangihe secara tertulis, terkait masalah PT Tambang Mas Sangihe, yang disampaikan oleh komunitas masyarakat yang tergabung dalam Save Sangihe Island. 

"Kami sudah menerima pengaduan tertulis dan menindaklanjuti kasus penolakan tambang emas di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara oleh PT Tambang Mas Sangihe," tegas Damanik. 

Dia menjelaskan, masyarakat menolak di penambangan emas tersebut didasarkan pada kekhawatiran atas ancaman kerusakan dan pencemaran lingkungan di Pulau, yang merupakan salah satu gugus Kepulauan terdepan Indonesia. 

"Pulau Sangihe masuk dalam kategori pulau kecil dengan luas 73.680 HA/736,8 km persegi. Sesuai ketentuan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulan-Pulau Kecil salah satu kriteria pulau kecil memiliki luas lebih kecil dari 200.000 Ha/ 2000 km persegi.

PT TMS memiliki kontrak karya Izin Usaha Pertambangan (IUP) Nomor: 163.K/MB.04/DJB/2021 dari Kementerian ESDM RI. Luas wilayah konsesi tambang seluas 42.000 ha /420 km persegi, setara 56,98 persen dari total luas wilayah Pulau Sangihe 737 km persegi," katanya. 

Dia menambahkan, sistem penambangan PT TMS akan dilakukan penambangan terbuka (open PIT) menggunakan alat Beat (excavator dan dump truck) dan dilakukan peledakan. 

"Karena PT TMS menggunakan esktraksi emas dengan menggunakan Sianida. 

Izin Usaha Pertambangan (IUP) OP PT TMS juga menimbulkan gejolak sosial berupa penolakan oleh masyarakat, terutama masyarakat adat dan kalangan agamawan yakni GMIST," katanya. 

Penambangan tersebut, katanya, berpotensi besar merusak Iingkungan yang selama ini merupakan ruang hidup masyarakat. IUP OP PT TMS diduga juga telah melanggar UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dan Petambak Garam serta UU Nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. 



"Rencana penambangan PT TMS berpotensi menimbulkan perusakan dan pencemaran secara ekologis yang memiliki dampak lanjutan terhadap keberlangsungan hidup masyarakat yang mayoritas menggantungkan hidupnya dari hasil perkebunan dan perikanan,ancaman akan hilangnya lahan pertanian dan perkebunan masyarakat," katanya. 

Termasuk juga, kata Damanik, adalah ancaman terhadap ekosistem hutan lindung dan ekosistem pesisir beserta Populasi flora dan fauna endemik Sangihe, serta ancaman ekologis lainnya seperti tercemarnya sumber mata air yang mengaliri 70-an sangai dengan hampir 200 anak sungai serta bencana alam. 

Penambangan PT TMS jaga berpotensi terhadap dampak sosial dalam jangka panjang seperti menurunnya kualitas dan kesejahteraan hidup, menurunnya akses layanan sosial dasar, potensi konflik sosial, bahkan ancaman terjadinya pengusiran paksa secara sistematis terhadap permukiman penduduk. 

Pengadu menolak rencana penyusutan izin konsesi PT Sangihe dari 42 ribu ha, menjadi 25 ha, karena dianggap bukan solusi dan tetap akan berdampak terhadap keberlangsungan hidup masyarakat Sangihe yang terdiri dari 80 kampung di 7 kecamatan yang masuk dalam Kawasan konsesi. 

Saat ini PT TMS sedang bekerja melakukan pembebasan lahan dan fase kontruksi selama 3 tahun (2023) sebelum dilakukan proses penambangan dengan izin konsesi selama 30 tahun.

Masyarakat Sangihe telah berulangkali melakukan aksi demonstrasi menolak wilayah Kep. Sangihe dijadikan konsesi tambang emas PT TMS. Warga telah menggugat Menteri (ESDM) Arifin Tasrif ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta berkaitan dengan kontrak karya (KK) PT Tambang Mas Sangihe (TMS) di Pulau Sangihe. 

Masyarakat Sangihe sedang mengajukan gugatan hukum terhadap Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara terkait proses perizinan PT TMS ke Pengadilan Tata Usaha Negara Manado. 

Dalam penanganan kasus ini, Komnas HAM RI telah melakukan langkah-langkah tindak lanjut, Pertama melakukan pendalaman keterangan kepada Pengadu (SSI) secara daring pada tanggal 8 September 2021.Melakukan monitoring media terkait perkembangan kasus di lapangan /pemantauan situasi HAM. 

2. Pemanggilan Kementerian ESDM RI dalam rangka permintaan keterangan terkait penolakan tambang emas PT TMS di Kabupaten Kepulauan Sangihe pada Oktober 2021. 
a.  Permintaan Keterangan terkait proses perijinan PT TMS
b. Permintaan Keterangan terkait mekanisme penambangan 
c. Permintaan Keterangan terkait potensi dampak lingkungan 

3. Komnas HAM RI telah melakukan sejumlah pemantauan lapangan dengan meminta keterangan, pendalaman informasi dan dengar pendapat dari warga yang berada di area konsesi tambang PT TMS Sangihe. 
a Pendalaman keterangan pengadu SSI.
b. Permintaan keterangan tokoh agama yang tergabung dalam GMIST (Gereja Masehi Injili di Sangihe Talaud). 
c. Permintaan keterangan tokoh-tokoh adat Sangihe.
 d. Permintaan Keterangan warga desa Bowone, Lenganeng, dan Salurang. 
e. Meninjau lokasi area Site Plan PT TMS.
 f. Meninjau sumber mata air, potensi perkebunan dan perikanan, serta usaha produktif masyarakat di Bowone dan pesisir Salurang. 
g. Dengar pendapat bersama masyarakat dan tokoh agama di Desa Pananaru.

4. Permintaan keterangan Pemerintah Kabupaten Sangihe. 
a. Keterangan terkait dengan proses rekomendasi perizinan PT TMS ke Bupati Sangihe 
b. Keterangan terkait dengan sikap Pemkab Sangihe terhadap adanya penolakan masyarakat 
c. Pemkab Kep. Sangihe menolak rencana penambangan PT TMS dengan dasar bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dan tidak sesuai dengan prioritas RPJMD Kabupaten Kepulauan Sangihe 2017-2022 yang menetapkan perikanan, perkebunan dan pariwisata sebagai prioritas pembangunan serta adanya penolakan oleh Sebagian besar masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat 

5. Permintaan keterangan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara. Izin IUP PT TMS kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemprov Sulawesi Utara tidak dapat menghentikan izin tersebut karena didasarkan pada Kontrak Karya. 

Rencana Tindak Lanjut
Menindaklanjuti penanganan kasus tersebut Komnas HAM akan:
1. Permintaan keterangan Kepolisian Daerah Sulawesi Utara terkait situasi keamanan dan ketertiban masyarakat dan mencegah potensi kekerasan serta penegakan hukum terhadap pelanggaran izin pertambangan.
2. Pemanggilan lanjutan terhadap Kementerian dan Lembaga terkait, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta kementerian/lembaga terkait lainnya. Selain itu akan dilaksanakan pula pemanggilan terhadap PT TMS selaku pihak yang diadukan. 










 

Pewarta : Joyce Hestyawatie B

Copyright © ANTARA 2024