Jakarta (ANTARA) - Kepala Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta menilai pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan seputar harga beras untuk melindungi petani dan konsumen.
Saat ini, menurut dia, di Jakarta, Senin, pemerintah memberlakukan kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen (GKP) dan gabah kering giling (GKG).
Kebijakan yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2002 ini melarang pembelian beras dari petani di bawah harga yang ditetapkan.
HPP bertujuan untuk melindungi petani, terutama ketika pasokan melimpah saat masa panen. Harga yang ditetapkan telah disesuaikan secara berkala mengikuti peraturan yang ada.
"Harga jual di tingkat konsumen tidak dinikmati oleh petani. Di saat yang bersamaan, konsumen juga rentan terhadap kenaikan harga beras yang bisa terjadi sewaktu-waktu," kata Felippa.
Selain HPP, kebijakan lainnya yakni harga eceran tertinggi (HET) untuk beras yang sudah digiling. Kebijakan yang dituangkan dalam Peraturan Kementerian Perdagangan (Permendag) Nomor 27 Tahun 2017 ini bertujuan untuk menghindari kenaikan harga beras yang tidak diduga.
Peraturan tersebut kemudian direvisi dalam Permendag Nomor 57 Tahun 2017 untuk mengakomodir keragaman pasar beras di Indonesia dengan memasukkan berbagai tipe, kualitas, dan perbedaan harga beras antar wilayah.
Menurut Felippa, penetapan harga untuk GKP dan GKP tidak efektif karena harga pasar selalu lebih tinggi daripada harga yang diatur oleh pemerintah.
Adanya kesenjangan harga ini pada akhirnya membuat petani lebih memilih untuk menjual beras kepada pembeli swasta yang mau membayar lebih mahal daripada ke Bulog, sesuai harga yang sudah ditetapkan.
"Penetapan HET di tingkat penjual juga tidak efektif karena harga jual sudah lebih tinggi dari HET," tambah Felippa.
Dampak dari petani yang lebih memilih menjual berasnya kepada pembeli swasta antara lain adalah menurunnya serapan beras Bulog.
Berdasarkan data Bulog 2020, jumlah serapan beras Bulog dari petani menurun dari 2,96 juta ton GKG pada 2016 menjadi 1,48 juta ton pada 2018. Hal ini karena Bulog tidak mampu bersaing dengan adanya keterbatasan anggaran.
Sementara itu, harga beras di pasar ritel Indonesia secara konsisten selalu di atas HET. Sementara HET beras medium ditetapkan sekitar Rp9.450-Rp10.250 per kilogram dalam Permendag Nomor 57 Tahun 2017, harga beras domestik rata-rata antara selama 2020 adalah Rp11.800 per kilogram menurut Pusat Informasi Harga Pasar Strategis Nasional (PIHPS).
Saat ini, menurut dia, di Jakarta, Senin, pemerintah memberlakukan kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen (GKP) dan gabah kering giling (GKG).
Kebijakan yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2002 ini melarang pembelian beras dari petani di bawah harga yang ditetapkan.
HPP bertujuan untuk melindungi petani, terutama ketika pasokan melimpah saat masa panen. Harga yang ditetapkan telah disesuaikan secara berkala mengikuti peraturan yang ada.
"Harga jual di tingkat konsumen tidak dinikmati oleh petani. Di saat yang bersamaan, konsumen juga rentan terhadap kenaikan harga beras yang bisa terjadi sewaktu-waktu," kata Felippa.
Selain HPP, kebijakan lainnya yakni harga eceran tertinggi (HET) untuk beras yang sudah digiling. Kebijakan yang dituangkan dalam Peraturan Kementerian Perdagangan (Permendag) Nomor 27 Tahun 2017 ini bertujuan untuk menghindari kenaikan harga beras yang tidak diduga.
Peraturan tersebut kemudian direvisi dalam Permendag Nomor 57 Tahun 2017 untuk mengakomodir keragaman pasar beras di Indonesia dengan memasukkan berbagai tipe, kualitas, dan perbedaan harga beras antar wilayah.
Menurut Felippa, penetapan harga untuk GKP dan GKP tidak efektif karena harga pasar selalu lebih tinggi daripada harga yang diatur oleh pemerintah.
Adanya kesenjangan harga ini pada akhirnya membuat petani lebih memilih untuk menjual beras kepada pembeli swasta yang mau membayar lebih mahal daripada ke Bulog, sesuai harga yang sudah ditetapkan.
"Penetapan HET di tingkat penjual juga tidak efektif karena harga jual sudah lebih tinggi dari HET," tambah Felippa.
Dampak dari petani yang lebih memilih menjual berasnya kepada pembeli swasta antara lain adalah menurunnya serapan beras Bulog.
Berdasarkan data Bulog 2020, jumlah serapan beras Bulog dari petani menurun dari 2,96 juta ton GKG pada 2016 menjadi 1,48 juta ton pada 2018. Hal ini karena Bulog tidak mampu bersaing dengan adanya keterbatasan anggaran.
Sementara itu, harga beras di pasar ritel Indonesia secara konsisten selalu di atas HET. Sementara HET beras medium ditetapkan sekitar Rp9.450-Rp10.250 per kilogram dalam Permendag Nomor 57 Tahun 2017, harga beras domestik rata-rata antara selama 2020 adalah Rp11.800 per kilogram menurut Pusat Informasi Harga Pasar Strategis Nasional (PIHPS).