Manado (ANTARA) - Tulisan ini mencoba mendudukan posisi hermeneutika sehingga tidak salah tafsir terhadap apa itu hermeneutika atau penafsiran itu sendiri. Dalam aliran filsafat, hermeneutika sudah sangat umum karena aliran filsafat ini selalu relevan dan aktual hingga saat ini. Sejarah mencatat bahwa di masa itu, Hermes bertugas untuk menyampaikan pesan dari dewa di Gunung Olympus. Hermes adalah seorang dewa yang bertugas menerjemahkan dan menyampaikan pesan kepada manusia agar dapat dimengerti. Hermeneutika sendiri telah mengalami perjalanan tradisi yang panjang. Itu kemudian tidak sekali jadi, tapi paling tidak dewa Hermes sebagai cikal bakal kata hermeneutika itu muncul, telah memberi pemahaman kepada kita bahwa hal tersebut berarti menerjemahkan dan atau menyampaikan pesan.

Sebagaimana umum dikenal, hermeneutika adalah metode filsafat yang mengusahakan penafsiran dan pemahaman antar subjek, generasi bahkan budaya. Artinya dalam proses pemahaman subjek tidak hanya berhadapan dengan realitas tetapi juga makna dan ralitas itu berdialog serta ikut memperngaruhi dirinya. Hermeneutika adalah seni memahami. Subjek pemahaman adalah manusia dan objek yang ditafsirkan adalah teks dalam arti luas, karena teks yang dimaksud dan ditafsirkan itu termasuk didalamnya pemikiran, bahasa, tulisan bahkan budaya dan pengalaman manusia dalam dunia. (Palmer 1969). Mengenai pemahaman teks yang sangat luas itu, fungsi bahasa sebagai penyimpan pengalaman dan pemikiran seseorang dan pengalaman seseorang menjadi penting dalam hermeneutika. Dengan demikian, di dalam pemahaman teks itu, fungsi bahasa tampak dan terartikulasikan.

Salah satu Filosof yang terkenal dengan konsep hermeneutika adalah Schleiermacher. Nama ini, yang juga dikenal sebagai bapak Teologi Protestan, adalah yang pertama menggagas hermeneutika. Adapun latar belakang Schleiermacher dalam hermeneutika adalah bagaimana memahami teks-teks dalam masa silam. Namun demikian, proses memahami yang menjadi latar belakang Schleiermacher itu, tampak mementaskan sebuah kesenjangan antara memahami apa yang dikatakan dalam konteks bahasa (tulisan) dan memahami apa yang ditulis sebagai fakta (pikiran). Apakah ungkapan tulisan itu merepresentasikan atau mendistorsi isi pikiran. Inilah latar belakang yang memantik ide dan pemikiran Schleiermacher.

Dengan dasar kesenjangan itu, Schleiermacher menekankan bahwa seni memahami sangat penting untuk bisa masuk dalam konteks menafsirkan dengan benar. Maka dari itu, Schleiermacher menekankan mengapa seni memahami penting untuk menghindari kesalahpahaman. Bagi dia, terdapat tiga macam seni: Pertama, seni bicara (retorika), kedua, seni menulis, dan ketiga, seni memahami.

Terkait ketiga poin yang dia tekankan ini, hermeneutika tumbuh dalam retorika. Dalam hal ini, Schleiermacher membebaskan hermeneutika dari konteks penafsiran agama menjadi konteks penafsiran filsafat. Seni memahami adalah gerak dari luar ke dalam. Dunia realitas yang menjadi objek yang akan ditafsirkan, menjadi hal yang paling utama untuk ditafsirkan. Dengan ini perlu pembedaan dua proses berikut: Pertama, proses menulis yakni bergerak dari pikiran ke tulisan, kedua, proses memahami, memasuki maksud pengarang. Demikian juga, proses memahami ada dua cara: Interpretasi gramatis: ada kalimat, gaya bahasa dan kata-kata (sisi objektif pada teks) dan interpretasi psikologis penulis. Penafsir mentransposisi pada pengarang.

Terobosan besarnya adalah membebaskan seni tafsir dari dogmatisme keagamaan, termasuk juga mengutamakan kalimat dan isi pikiran. Lingkaran hermeneutis: memahami bagian-bagian kata berarti harus memahami keseluruhan. Bagaimana memahami keseluruhan itu? Kadang kita melompat ke dalam lingkaran dengan melakukan pemahaman secara bersama-sama. Kemampuan yang memampukan kita untuk menangkap isi keseluruhan adalah intuisi.

Jadi, memahami teks, berarti mengambil alih posisi penulis. Memahami teks berarti pula mengetahui kepribadian penulis, melebihi pengetahuan penulis terhadap dirinya sendiri. Memahami pengarang lebih baik dari pada dirinya, kita dapat memahami obyektivitas. Inilah Kontribusi Scheiermacher yang terbesar yakni melampaui literarisme.

Praksis kita sekarang, seolah tidak memahami kondisi dan situasi yang melatarbelakangi sebuah hermeneutika. Kita juga hanya berpikir bahwa sebuah penafsiran/hermeneutika, adalah sebagaimana kita menafsirkan sebuah teks (kitab suci) misalnya. Padahal justru dengan menafsirkan, kita juga memahami pengarang, memahami objektivitas. Selain itu, menafsir bukan juga semata-mata kerja dari kebudayaan. Mengapa, karena menafsir adalah kerja semua ilmu pengetahuan. Menafsir kebudayaan adalah salah satu peran dari hemeneutika. Hermeneutika dan jika digunakna dalam menafsirkan kebudayaan Minahasa pun, tidak lalu dianggap sebagai nalar modernitas untuk mendekati sesuatu yang tradisional. Hermeneutika justru merupakan model menafsirkan sebuah kebudayaan, termasuk kebudayaan Minahasa. Hermeneutika adalah seni memahami, juga karena dia adalah sebuah cara berpikir filsafat.

Menempatkan hermeneutika pada tempatnya, adalah salah satu upaya pewarasan pemahaman hermeneutika itu. jika tidak ditempatkan sebagaimana mestinya, tidak lebih dari salah memahami, salah menafsirkan apa itu hermeneutika, apa pula peran besarnya dalam ilmu pengetahuan.

(Ambrosius M. Loho, M. Fil. (Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado- Pegiat Filsafat-Estetika)


Pewarta : Ambrosius M. Loho
Editor : Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024