Kupang (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) berencana mengusulkan Larantuka, Ibu Kota Kabupaten Flores Timur menjadi kota suci bagi umat Katolik di Indonesia.
Usulan tersebut dengan pertimbangan bahwa, Larantuka merupakan kota yang menjadi bagian dari sejarah masuknya umat Katolik di Indonesia dan merupakan kerajaan Katolik pertama di negeri ini.
"Pertimbangan lainnya adalah perayaan keagamaan Samana Santa yang usianya sudah mencapai ratusan tahun di Flores Timur, dan masih tetap terlaksana dari dahulu hingga sekarang," kata Kepala Bidang Destinasi Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Nusa Tenggara Timur Eden Klakik.
Larantuka secara historis-religius juga terkenal dengan sebutan Kota Reinha. Kota tua dengan wilayah kecil yang terletak di kaki Ile Mandiri itu, telah menyerahkan seluruh kehidupannya kepada perlindungan Bunda Maria.
Sejarah mencatat, semenjak kedatangan Portugis pada abad XV-XVI, sejak itu pula pengaruh Portugis mulai tertanam dalam proses kehidupan masyarakat Larantuka.
Kala itu, konon, orang Portugis membawa Resiona (menurut legenda adalah penemu patung Mater Dolorosa atau Bunda Yang Bersedih ketika terdampar di Pantai Larantuka) ke Malaka untuk belajar agama.
Ketika kembali dari Malaka, Resiona membawa sebuah patung Bunda Maria, alat-alat upacara liturgis dan sebuah badan organisasi yang disebut Conferia, mengadakan politik kawin mawin antara kaum awam Portugis dengan penduduk setempat.
Sekitar 1665, Raja Ola Adobala dibaptis atau dipermandikan dengan nama Don Fransisco Ola Adobala Diaz Vieira de Godinho yang merupakan tokoh pemrakarsa upacara penyerahan tongkat kerajaan berkepala emas kepada Bunda Maria Reinha Rosari.
Setelah tongkat kerajaan itu diserahkan kepada Bunda Maria, Larantuka sepenuhnya menjadi kota Reinha dan para raja adalah wakil dan abdi Bunda Maria.
Pada 8 September 1886, Raja Don Lorenzo Usineno II DVG, raja ke-10 Larantuka, menobatkan Bunda Maria sebagai Ratu Kerajaan Larantuka. Sejak itulah, Larantuka disebut dengan sapaan Reinha Rosari.
Pada 1954, Uskup Larantuka yang pertama, Mgr Gabriel Manek SVD, mengadakan upacara penyerahan Diosis Larantuka kepada Hati Maria Yang Tak Bernoda.
Dan selama lebih dari lima abad , tradisi keagamaan Samana Santa tetap melekat dalam sanubari umat Katolik di wilayah paling timur Pulau Flores itu.
Pengembangan agama Katolik di wilayah itu, tidak lepas dari peranan para Raja Larantuka, para misionaris, peranan perkumpulan persaudaraan rasul awam (conferia), dan peranan semua Suku Semana serta perananan para Kakang (Kakang Lewo Pulo) dan para Pou (Suku Lema).
Contoh ritual yang terus dilakukan tiap tahun hingga saat ini adalah penghayatan agama popular seputar Semana Santa dan Prosesi Jumat Agung atau Sesta Vera.
Kedua ritual ini dikenal sebagai "anak sejarah nagi" juga sebagai gembala tradisi di tanah nagi-Larantuka.
Tuan Ma
Kepercayaan terhadap Tuan Ma berawal sejak lima abad silam. Berdasarkan penelitian dan sejumlah sumber tertulis dalam bahasa Belanda dan Portugis, patung Tuan Ma ditemukan sekitar tahun 1510 di Pantai Larantuka.
Diduga, patung itu terdampar saat kapal Portugis atau Spanyol karam di Larantuka. Konon, saat itu seorang anak laki-laki bernama Resiona menemukan patung berwujud perempuan saat mencari siput di Pantai Larantuka.
Resiona mengaku kala itu dia melihat perempuan cantik dan ketika ditanya nama serta dari mana datangnya, perempuan tersebut hanya menunduk lalu menulis tiga kata yang tak dipahami Resiona di pasir pantai setempat.
Setelah menunduk dan menulis tiga kata tersebut, perempuan itu mengangkat mukanya. Namun, ketika itu, rupa perempuan berubah menjadi sebuah patung kayu.
Ketiga kata yang ditulis itu lalu dibuatkan pagar batu agar tidak terhapus air laut, sedangkan patung setinggi tiga meter tersebut langsung diarak keliling kampung, memasuki korke, rumah-rumah pemujaan milik setiap suku di sana.
Ketika itu, agama Katolik belum masuk Flores, khususnya ke Larantuka. Namun kepala kampung Lewonama, Larantuka memerintahkan agar patung disimpan di korke rumah adat suku. Patung tersebut pun dihormati sebagai benda keramat.
Masyarakat sekitar Larantuka menyebut patung itu sebagai Tuan Ma. Secara harfiah, Tuan Ma berarti tuan dan mama.
Sementara itu, masyarakat Lamaholot menyebutnya Rera Wulan Tanah Ekan, Dewa Langit, dan Dewi Bumi.
Padri dari Ordo Dominikan yang datang ke kampung itu diminta masyarakat untuk membaca tiga kata yang telah ditulis Tuan Ma.
Tulisan tersebut artinya Reinha Rosario Maria. Ketika melihat patungnya, padri itu terharu dan berkata kalau itulah Reinha Rosari yang dikenal juga sebagai patung Mater Dolorosa atau Bunda Kedukaan atau Mater Misericordia.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Flores Timur Ahmad Bethan menyambut baik rencana pemerintah menjadikan Larantuka sebagai kota suci bagi umat Katolik di Indonesia.
"Syukur pada Tuhan, karena dengan menjadikan Larantuka sebagai kota suci, maka perilaku penduduk ikut termotivasi menjadi suci, baik sikap perilaku terhadap sesama, terhadap religiusitas termasuk sensivitas terhadap sikap iman dan takwa orang pribadi," kata dia.
Menurut Ahmad Bethan, usulan tersebut tentunya sudah melalui survei kelayakan terhadap Kota Larantuka, dan boleh jadi telah memenuhi sejumlah kriteria kesucian kota.
"Maka keinginan untuk menjadikan Larantuka sebagai kota suci seperti demikian cukup beralasan," kata mantan Kepala Inspektorat Pemerintah Kabupaten Flores Timur itu.
Dia menambahkan sebuah kota suci yang padanya terdapat pluralitas penganut keyakinan agama, maka boleh jadi sudah menjadi pembahasan yang mendalam dari penggagas.
Pembahasan ini tentunya berkaitan dengan tingkat kepantasan, tingkat kelayakan, maupun tingkat prioritasnya sebelum diusulkan menjadi sebuah kota suci.
"Tentu target penggagas menjadikan Kota Larantuka sebagai kota suci seperti apa, perlu transparan dalam rangka informasi publik," kata dia.
Dia mengharapkan semua umat dapat mendoakan, kiranya niat menjadikan Larantuka sebagai kota suci sejalan dengan niat menjadikan seluruh umat beragama secara orang pribadi yang suci sesuai kehendak ilahi.
Mungkinkan Larantuka layak menjadi kota suci di tengah pluralisme agama? Biarlah waktu yang akan menentukan.
Usulan tersebut dengan pertimbangan bahwa, Larantuka merupakan kota yang menjadi bagian dari sejarah masuknya umat Katolik di Indonesia dan merupakan kerajaan Katolik pertama di negeri ini.
"Pertimbangan lainnya adalah perayaan keagamaan Samana Santa yang usianya sudah mencapai ratusan tahun di Flores Timur, dan masih tetap terlaksana dari dahulu hingga sekarang," kata Kepala Bidang Destinasi Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Nusa Tenggara Timur Eden Klakik.
Larantuka secara historis-religius juga terkenal dengan sebutan Kota Reinha. Kota tua dengan wilayah kecil yang terletak di kaki Ile Mandiri itu, telah menyerahkan seluruh kehidupannya kepada perlindungan Bunda Maria.
Sejarah mencatat, semenjak kedatangan Portugis pada abad XV-XVI, sejak itu pula pengaruh Portugis mulai tertanam dalam proses kehidupan masyarakat Larantuka.
Kala itu, konon, orang Portugis membawa Resiona (menurut legenda adalah penemu patung Mater Dolorosa atau Bunda Yang Bersedih ketika terdampar di Pantai Larantuka) ke Malaka untuk belajar agama.
Ketika kembali dari Malaka, Resiona membawa sebuah patung Bunda Maria, alat-alat upacara liturgis dan sebuah badan organisasi yang disebut Conferia, mengadakan politik kawin mawin antara kaum awam Portugis dengan penduduk setempat.
Sekitar 1665, Raja Ola Adobala dibaptis atau dipermandikan dengan nama Don Fransisco Ola Adobala Diaz Vieira de Godinho yang merupakan tokoh pemrakarsa upacara penyerahan tongkat kerajaan berkepala emas kepada Bunda Maria Reinha Rosari.
Setelah tongkat kerajaan itu diserahkan kepada Bunda Maria, Larantuka sepenuhnya menjadi kota Reinha dan para raja adalah wakil dan abdi Bunda Maria.
Pada 8 September 1886, Raja Don Lorenzo Usineno II DVG, raja ke-10 Larantuka, menobatkan Bunda Maria sebagai Ratu Kerajaan Larantuka. Sejak itulah, Larantuka disebut dengan sapaan Reinha Rosari.
Pada 1954, Uskup Larantuka yang pertama, Mgr Gabriel Manek SVD, mengadakan upacara penyerahan Diosis Larantuka kepada Hati Maria Yang Tak Bernoda.
Dan selama lebih dari lima abad , tradisi keagamaan Samana Santa tetap melekat dalam sanubari umat Katolik di wilayah paling timur Pulau Flores itu.
Pengembangan agama Katolik di wilayah itu, tidak lepas dari peranan para Raja Larantuka, para misionaris, peranan perkumpulan persaudaraan rasul awam (conferia), dan peranan semua Suku Semana serta perananan para Kakang (Kakang Lewo Pulo) dan para Pou (Suku Lema).
Contoh ritual yang terus dilakukan tiap tahun hingga saat ini adalah penghayatan agama popular seputar Semana Santa dan Prosesi Jumat Agung atau Sesta Vera.
Kedua ritual ini dikenal sebagai "anak sejarah nagi" juga sebagai gembala tradisi di tanah nagi-Larantuka.
Tuan Ma
Kepercayaan terhadap Tuan Ma berawal sejak lima abad silam. Berdasarkan penelitian dan sejumlah sumber tertulis dalam bahasa Belanda dan Portugis, patung Tuan Ma ditemukan sekitar tahun 1510 di Pantai Larantuka.
Diduga, patung itu terdampar saat kapal Portugis atau Spanyol karam di Larantuka. Konon, saat itu seorang anak laki-laki bernama Resiona menemukan patung berwujud perempuan saat mencari siput di Pantai Larantuka.
Resiona mengaku kala itu dia melihat perempuan cantik dan ketika ditanya nama serta dari mana datangnya, perempuan tersebut hanya menunduk lalu menulis tiga kata yang tak dipahami Resiona di pasir pantai setempat.
Setelah menunduk dan menulis tiga kata tersebut, perempuan itu mengangkat mukanya. Namun, ketika itu, rupa perempuan berubah menjadi sebuah patung kayu.
Ketiga kata yang ditulis itu lalu dibuatkan pagar batu agar tidak terhapus air laut, sedangkan patung setinggi tiga meter tersebut langsung diarak keliling kampung, memasuki korke, rumah-rumah pemujaan milik setiap suku di sana.
Ketika itu, agama Katolik belum masuk Flores, khususnya ke Larantuka. Namun kepala kampung Lewonama, Larantuka memerintahkan agar patung disimpan di korke rumah adat suku. Patung tersebut pun dihormati sebagai benda keramat.
Masyarakat sekitar Larantuka menyebut patung itu sebagai Tuan Ma. Secara harfiah, Tuan Ma berarti tuan dan mama.
Sementara itu, masyarakat Lamaholot menyebutnya Rera Wulan Tanah Ekan, Dewa Langit, dan Dewi Bumi.
Padri dari Ordo Dominikan yang datang ke kampung itu diminta masyarakat untuk membaca tiga kata yang telah ditulis Tuan Ma.
Tulisan tersebut artinya Reinha Rosario Maria. Ketika melihat patungnya, padri itu terharu dan berkata kalau itulah Reinha Rosari yang dikenal juga sebagai patung Mater Dolorosa atau Bunda Kedukaan atau Mater Misericordia.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Flores Timur Ahmad Bethan menyambut baik rencana pemerintah menjadikan Larantuka sebagai kota suci bagi umat Katolik di Indonesia.
"Syukur pada Tuhan, karena dengan menjadikan Larantuka sebagai kota suci, maka perilaku penduduk ikut termotivasi menjadi suci, baik sikap perilaku terhadap sesama, terhadap religiusitas termasuk sensivitas terhadap sikap iman dan takwa orang pribadi," kata dia.
Menurut Ahmad Bethan, usulan tersebut tentunya sudah melalui survei kelayakan terhadap Kota Larantuka, dan boleh jadi telah memenuhi sejumlah kriteria kesucian kota.
"Maka keinginan untuk menjadikan Larantuka sebagai kota suci seperti demikian cukup beralasan," kata mantan Kepala Inspektorat Pemerintah Kabupaten Flores Timur itu.
Dia menambahkan sebuah kota suci yang padanya terdapat pluralitas penganut keyakinan agama, maka boleh jadi sudah menjadi pembahasan yang mendalam dari penggagas.
Pembahasan ini tentunya berkaitan dengan tingkat kepantasan, tingkat kelayakan, maupun tingkat prioritasnya sebelum diusulkan menjadi sebuah kota suci.
"Tentu target penggagas menjadikan Kota Larantuka sebagai kota suci seperti apa, perlu transparan dalam rangka informasi publik," kata dia.
Dia mengharapkan semua umat dapat mendoakan, kiranya niat menjadikan Larantuka sebagai kota suci sejalan dengan niat menjadikan seluruh umat beragama secara orang pribadi yang suci sesuai kehendak ilahi.
Mungkinkan Larantuka layak menjadi kota suci di tengah pluralisme agama? Biarlah waktu yang akan menentukan.