Manado (ANTARA) - Anggota Komisi II DPR RI Firman Subagyo menilai ketidakhadiran Menko Perekonomian Darmin Nasution sebagai Ketua Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam hingga tiga kali dalam rapat dengar pendapat dengan DPR RI soal Batam, telah melecehkan parlemen.
"Padahal, pembentukan Pansus DPR RI untuk penyelesaian masalah Batam sangat urgen untuk mengatasi persoalan dualisme penataan Kota Batam," kata Firman Subagyo pada rapat dengar pendapat (RPD) antara Komisi II dengan sejumlah lembaga terkait persoalan Batam, di Gedung MPR/DPR/DPD RI, di Jakarta, Senin.
Lembaga-lembaga yang hadir pada RPD pembentukan Pansus Penyelesaian Masalah Batam, yakni Ombudsman, Kadin Batam, Kadin Kepri, Kemenkum HAM, dan Lembaga Kajian Universitas Gadjah Mada (UGM), tapi Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam tidak hadir.
Pada RDP tersebut, terungkap bahwa dualisme penataan kawasan Kota Batam di Provinsi Kepulauan Riau antara Pemerintah Kota Batam dan Badan Pengelola Pengusahaan Batam, menimbulkan tumpang tindih regulasi dan kewenangan. Adanya dualisme tersebut dinilai setelah Dewan Kawasan Batam menunjuk wali kota Batam sebagai ex-officio kepala BP Batam.
Menurut Wakil Ketua Komisi II DPR RI Herman Khaeron, Komisi II memandang penunjukkan wali kota Batam sebagai ex-officio Kepala BP Batam tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. "Karena itu, Komisi II mendesak Pemerintah untuk mengkaji ulang perubahan free trade zone (FTZ) menjadi kawasan ekonomi khusus (KEK) selama tidak memberi dampak khusus pada UMKM dan masyarakat Batam," katanya.
Menurut Herman, wali kota Batam adalah wilayah pemerintahan, sedangkan BP Batam adalah wilayah ekonomi dan bisnis, sehingga terjadi rumpang tindih.
"Padahal, pembentukan Pansus DPR RI untuk penyelesaian masalah Batam sangat urgen untuk mengatasi persoalan dualisme penataan Kota Batam," kata Firman Subagyo pada rapat dengar pendapat (RPD) antara Komisi II dengan sejumlah lembaga terkait persoalan Batam, di Gedung MPR/DPR/DPD RI, di Jakarta, Senin.
Lembaga-lembaga yang hadir pada RPD pembentukan Pansus Penyelesaian Masalah Batam, yakni Ombudsman, Kadin Batam, Kadin Kepri, Kemenkum HAM, dan Lembaga Kajian Universitas Gadjah Mada (UGM), tapi Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam tidak hadir.
Pada RDP tersebut, terungkap bahwa dualisme penataan kawasan Kota Batam di Provinsi Kepulauan Riau antara Pemerintah Kota Batam dan Badan Pengelola Pengusahaan Batam, menimbulkan tumpang tindih regulasi dan kewenangan. Adanya dualisme tersebut dinilai setelah Dewan Kawasan Batam menunjuk wali kota Batam sebagai ex-officio kepala BP Batam.
Menurut Wakil Ketua Komisi II DPR RI Herman Khaeron, Komisi II memandang penunjukkan wali kota Batam sebagai ex-officio Kepala BP Batam tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. "Karena itu, Komisi II mendesak Pemerintah untuk mengkaji ulang perubahan free trade zone (FTZ) menjadi kawasan ekonomi khusus (KEK) selama tidak memberi dampak khusus pada UMKM dan masyarakat Batam," katanya.
Menurut Herman, wali kota Batam adalah wilayah pemerintahan, sedangkan BP Batam adalah wilayah ekonomi dan bisnis, sehingga terjadi rumpang tindih.