Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendorong kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk mengidentifikasi area rentan korupsi dan mengukur keberhasilan kegiatan antikorupsi di instansi masing-masing dengan menerapkan survei penilaian integritas (SPI).

Pada hari Selasa dan Kamis (2/5) di Gedung KPK RI, Jakarta, KPK melakukan kegiatan memberikan pengarahan teknis terkait dengan pelaksanaan kegiatan SPI 2019 terhadap 34 peserta dari kementerian/lembaga dan 103 orang dari pemerintah daerah.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Rabu, menjelaskan bahwa SPI merupakan bentuk penilaian yang dilakukan oleh KPK dengan mengombinasikan pendekatan persepsi dan pengalaman baik dilakukan secara langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan praktik transparansi, akuntabilitas, dan antikorupsi suatu institusi dalam rangka pelaksanaan tugas pokok.

"Tujuan dari SPI adalah untuk meningkatkan kesadaran risiko korupsi dan perbaikan sistem antikorupsi suatu instansi," kata Febri.

Hasil SPI, kata dia, akan menjadi dasar kebijakan antikorupsi di masing-masing instansi.

Ia menyebutkan bahwa SPI menilai empat hal, yaitu pertama budaya antikorupsi. Aspek yang dinilai, di antaranya mengenai keberadaan calo, kejadian nepotisme, kejadian suap, kejadian gratifikasi, dan indikasi adanya abuse of power.

Kedua, kata dia, soal pengelolaan anggaran, di antaranya mengenai korupsi pada pengadaan barang/jasa, potensi penyelewengan perjalanan dinas, dan potensi penyelewengan keuangan.

Selanjutnya, pengelolaan sumber daya manusia (SDM), di antaranya mengenai praktik jual beli jabatan dan nepotisme dalam rekrutmen.

"Terakhir sistem antikorupsi, di antaranya mengenai sosialiasasi antikorupsi, penegakan hukum bagi pelaku korupsi di instansi, dan perlindungan pelapor antikorupsi," kata Febri.

Dalam pelaksanaan SPI, KPK bermitra dengan APIP/unit pengawas internal di setiap instansi dan dibantu oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

"Pihak-pihak yang berpartipasi untuk memberikan penilaian SPI dalam suatu institusi terdiri atas pegawai, pengguna layanan, dan narasumber ahli," tuturnya.

SPI diperkenalkan pertama kali pada tahun 2007 dengan nama survei integritas (SI) KPK. Pada tahun 2014 s.d. 2015 berubah nama menjadi SPI disertai dengan perbaikan konsep, metode, dan instrumen penilaian.

"Pada tahun 2016 s.d. 2018 KPK melakukan pilot project dan penyempurnaan metode. Indeks integritas pada tahun 2017 adalah 66 dan pada tahun 2018 adalah 68, dari skala penilaian 0 s.d. 100," ungkap Febri.

Menurut dia, makin tinggi nilai indeks yang dihasilkan, menunjukkan risiko korupsi rendah dan adanya kemampuan sistem untuk merespons kejadian korupsi dan pencegahannya secara lebih baik.

"Nilai tinggi tidak berarti kejadian korupsi tidak akan terjadi karena korupsi sebagaimana tindak pidana lain dapat terjadi meski dalam sistem yang sudah mapan sekalipun," ungkapnya.

Dari beberapa kali pelaksanaan SPI, KPK optimistis implementasi SPI mampu mendorong perbaikan dalam suatu institusi, salah satu yang ditunjukkan oleh Kementerian Keuangan.

"SPI telah menjadi perhatian utama indikator keberhasilan peningkatan integritas di Kementerian Keuangan," katanya.

Beberapa bentuk keseriusan dari Kementerian Keuangan, yakni pertama Menteri Keuangan telah menginstruksikan adanya tindak lanjut oleh masing-masing eselon 1 dari hasil SPI. Salah satu tindak lanjut akan dikomunikasikan dan dikoordinasikan oleh tim saber pungli.

"Inspektorat Jenderal menetapkan inisiatif strategis 2019 adalah program penguatan unit kepatuhan internal dalam memperkuat integritas. Salah satu yang diambil referensi datanya adalah hasil SPI," kata Febri.

Selanjutnya, SPI dijadikan referensi bagi pengembangan fraud risk scenarios, integrity framework Kemenkeu, dan profiling pegawai berisiko tinggi.

"KPK berharap praktik baik yang telah diterapkan oleh instansi dapat dicontoh dan diimplementasikan di instansi lainnya," ucap Febri. ***2***

Pewarta : Benardy Ferdiansyah
Editor : Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024