Tondano (AntaraSulut) - Miris yang dialami dua warga Desa Palamba Kecamatan Langowan Selatan, Greys Komalig (41) dan Jefny Komalig (43). Pasalnya, setelah orang tua mereka meninggal, kedua penyandang disabilitas (keterbelakangan diri) ini tidak dirawat atau mendapatkan perlakuan semestinya.

Mulai dari biaya hidup dari sisa gaji dua bulan dan dana duka sepeninggalan mendiang ayah mereka yang merupakan mantan Kepala Sekolah di SD Inpres Temboan Karel Komalig, tidak pernah mereka terima. Padahal, kedua yatim piatu ini memiliki keterbelakangan diri.

Tidak terima atas perlakuan tersebut, Syeni Maliangkay selaku keluarga dari pihak ibu kedua anak yatim piatu ini mengeluh.

Menurut Syeni, awal masalah bermula dari setelah ayah mereka meninggal. Mulai dari pengurusan surat-surat penerimaan sisa gaji dua bulan September-Oktober di BTPN sebesar Rp1,6 juta dan dana duka dari Taspen senilai Rp10,3 juta, tidak pernah diserahkan kepada dua anak tersebut.

"Kami hanya ingin meminta keadilan, karena itu merupakan hak mereka," keluh Syeni ketika diwawancarai sejumlah wartawan.

Bahkan, menurut Syeni, dalam pengurusan gaji bulan September-Oktober yang diterima Desember 2016 yang diurus keponakan dari dua anak yatim ini (Denny Tulenan) merupakan warga Desa Atep, diduga bersekongkol dengan Hukum Tua Desa Palamba Bonny Kelung.

Menurut penuturan Syeni, yang bersangkutan (Denny) sempat memberikan uang sebesar Rp500 ribu.

"Untuk pengurusan berkas kan butuh persetujuan Kumtua, nah waktu akan mengurus itulah dia (Denny) memberikan uang itu kepada Kumtua, supaya mempercepat pengurusan berkas-berkas pengurusan sisa gaji dua bulan itu," terangnya.

Kemudian, lanjut Syeni, setelah gaji itu cair, uang Rp1,6 juta pun dibagi dua dengan Kumtua.

"Jadi waktu pembagian, Kumtua mendapatkan Rp500 ribu dan Rp1 juta diambil Denny, untuk Rp100 ribu sebagai ucapan terima kasih ke oknum petugas bank yang mengurus berkas. Jadi sudah Rp1 juta yang diserahkan ke Kumtua. Anehnya, dalam pengurusan uang ini tidak ada sepeser pun diserahkan kepada kedua anak yatim ini," keluhnya.

Tak hanya itu, menurut Syeni, pada waktu menerima uang dana duka sebesar Rp10,3 juta dari Taspen, pihak keluarga Syeni hanya meminjam Rp3,2 juta dipakai untuk melaksanakan mingguan atas meninggalnya ayah mereka.

"Selebihnya dibawa oleh Denny dan sekali lagi tidak ada yang disisakan untuk dua anak yatim ini," katanya.

"Tidak apa-apa siapapun yang akan menerima dana itu, tapi harusnya sampai di tangan mereka berdua. Meskipun tetap akan diserahkan ke keluarga yang mengurus atau mengasuh. Kami hanya ingin supaya dua anak ini dapat dana itu untuk dipakai biaya sehari-hari, tapi malah tidak dapat apa-apa, padahal itu hak mereka berdua. Kami hanya ingin meminta keadilan dari Denny Tulenan maupun Kumtua yang mungkin lebih memihak kepadanya. Keluhan kami tidak pernah didengar. Padahal kami hanya ingin supaya ada keadilan dalam hal ini," jelasnya.

Dirinya pun membantah keterangan dari Kumtua mengenai masih ada dua kakak beradik di Desa Atep yang merupakan saudara kandung dengan ayah kedua anak tersebut.

"Itu salah. Karena hanya tertinggal satu saudara dari ayah mereka di Atep, sedangkan Denny ini hanya keponakan. Saudara ayah dari kedua anak ini sudah berumur 80an tahun dan tidak mungkin mengurus mereka berdua yang disabilitas," ungkapnya.

"Mengenai penjelasan Kumtua atas tindakan saya dengan sengaja membawa kedua anak ini dan mengurus serta bertujuan untuk mengambil harta kekayaan dari peninggalan kedua orang tua mereka, itu juga tidak benar. Dia (Kumtua) berbohong dalam hal ini, harusnya beliau jangan seperti itu, karena tidak elok," sampainya.

"Bukan cuma itu, saya pun sempat diancam. Tapi langsung melapor ke Polsek, akan tetapi belum ada kejelasan pula atas laporan itu," ujarnya.

Untuk mengasuh kedua anak ini, kata Syeni, dirinya bersama suami dan keluarga sudah mendapat persetujuan melalui kesepakatan maupun keputusan bersama dari kedua belah pihak keluarga.

"Jadi karena suami saya adalah adik dari ibu mereka berdua, maka diberikan tugas untuk merawat, dan itupun atas keputusan bersama dengan saudara mereka di Atep. Tetapi kenyataannya cerita ini diputar balikan seperti ini. Maka dari itu saya tidak menerima pernyataan Kumtua seperti itu, karena saya tidak pernah dengan sengaja membawa mereka," urainya.

"Saya berani bersumpah, hal-hal yang dilontarkan Kumtua itu sangat tidak benar. Karena selama ini memang kami yang diberikan tanggungjawab untuk mengurusi kedua anak ini, bukan karena punya motivasi untuk mengambil harta peninggalan orang tua anak ini," tegasnya.

Hal inipun dibatah Kumtua Desa Palamba Bonny Kelung. Ketika dihubungi via telepon, Kelung menerangkan, bahwa uang Rp1 juta yang diberikan oleh Denny adalah atas persetujuan dari semua pihak keluarga dan tidak pernah diminta olehnya.

Dijelaskan Kelung, awal pengurusan berkas memang pihak keluarga sempat memberikan uang itu, tapi dirinya sempat mengatakan bahwa jangan sampai pemberian ini membuat mereka susah, tapi pihak keluarga hanya mengatakan tidak apa-apa ini pemberian iklas.

Bahkan, kata Kelung, keluarga Syeni pun ada bersama-sama dengan mereka waktu itu dan setuju untuk pemberian uang tersebut.

"Kalau saya yang minta itu tidak demikian, waktu itu mereka ada di rumah saya dan uang itu diserahkan dengan iklas, dia pun (Syeni) ada di lokasi dan mengiyakan hal tersebut. Saya pun sempat bertanya ke mereka apakah ini tidak menyusahkan, mereka pun menjawab tidak apa-apa, karena merupakan ucapan terima kasih atas bantuan selama ini," kata Kelung.

Kemudian, dalam hal pengambilan keputusan kepada siapa kedua anak ini diasuh, Kelung menjawab, memang diserahkan ke keluarga di Desa Atep, karena mereka di sana masih ada dua kakak-beradik.

"Kan tidak mungkin saya mengiyakan keputusan ke satu orang sedangkan dua saudaranya di Atep tidak setuju. Makanya saya sempat memanggil mereka untuk mengadakan pertemuan, namun ibu Syeni tidak datang," jelasnya.

"Hak asuh dua anak ini sebenarnya tidak diberikan ke dia (Syeni), malah sudah dibawa tanpa sepengetahuan keluarga yang di Atep. Jadi keluarga mereka di Atep sudah sempat meminta kedua anak ini dikembalikan ke sana, tapi tidak pernah dibawa," urainya.

Bahkan, lanjut Kumtua, menurut penjelasan keluarga di Desa Atep, untuk surat-surat penting seperti sertifikat tanah di Palamba dan harta peninggalan orang tua mereka memang diserahkan ke keluarga di Atep. Itupun atas dasar keputusan mendiang ayah mereka sebelum meninggal dan diserahkanlah ke saudara di Atep.

"Jadi bukan dibawa lari oleh Denny, melainkan diberikan ke dia supaya menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Malah, ibu Syeni sengaja membawa dua anak ini untuk mengurus mereka, namun surat-surat tanah harus diserahkan ke mereka. Jadi makanya surat itu tidak pernah diserahkan ke mereka karena punya motivasi lain," sebutnya.

"Jangankan itu, dia pun (Syeni) menyebarkan fitnah dan merusak nama baik saya di desa, dia mengatakan kalau saya bersalah karena melakukan pembohongan dalam hal ini," terangnya.

Jadi, kata Kumtua, karena dia sudah menyebarkan dan merusak nama baiknya, maka akan melaporkannya ke polisi.

Peristiwa ini pun akan dilaporkan keluarga Syeni ke bupati Minahasa maupun pihak berwajib. Sekaligus meminta bantuan pemerintah daerah guna menyelesaikannya.

Pewarta : Martsindy Rasuh
Editor : Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024