Manado (ANTARA) - Pagi itu saya menyusuri lorong sempit Pasar 45 Manado. Suara pedagang memanggil pelanggan bercampur dengan aroma ikan segar, cengkih, dan kopi hitam yang baru dituangkan dari teko aluminium tua.
Tak ada tabel statistik di sana, tapi ada cerita yaitu tentang harga, tentang permintaan, tentang harapan. Seorang penjual ikan tersenyum kecil ketika saya bertanya bagaimana penjualan tahun ini.
“Lebih bagus, torang pe kiriman ke Bitung, Gorontalo, sampe Papua lumayan jalan,” katanya. Tak jauh dari situ, seorang ibu penjual sayur mengeluhkan ongkos transportasi yang masih tinggi, tetapi mengaku omzetnya meningkat karena pembeli lebih ramai dibanding tahun lalu.
Di sudut pasar, kios UMKM menjual abon tuna dalam kemasan modern, minyak kelapa murni, dan kopi lokal toraja–manado blend. Kios seperti ini tidak ada lima tahun lalu. Ia muncul sebagai tanda bahwa ekonomi berubah pelan-pelan: ada hilirisasi kecil-kecilan, ada digitalisasi transaksi, ada harapan baru bagi pelaku usaha kecil.
Di tempat seperti Pasar 45 inilah saya kembali ingat satu hal sederhana: ekonomi bukan hanya angka di laporan tetapi juga ekonomi adalah kehidupan yang bergerak.
Sulawesi Utara mencatat pertumbuhan ekonomi 5,39% year-on-year pada triwulan III 2025, melampaui rata-rata nasional. Angka ini tampil impresif dan memberi sinyal bahwa perekonomian daerah terus bergerak ke arah yang positif. Ini bukan pencapaian yang hadir dalam ruang hampa.
Ia merupakan kelanjutan dari proses pemulihan bertahap setelah pandemi COVID-19 yang menghentikan banyak aktivitas ekonomi pada 2020. Sejak 2021, derajat pemulihan terlihat semakin matang Dimana permintaan domestik meningkat, ekspor mulai pulih, pariwisata bangkit kembali, dan subsektor industri pengolahan perlahan memperluas kapasitasnya. Dengan kata lain, angka 5,39% adalah bagian dari narasi yang lebih panjang tentang resiliensi. Namun, meski angka ini menggembirakan, ia tidak boleh dibaca dengan euforia.
Pertumbuhan ekonomi pada dasarnya adalah indikator agregat ia merangkum seluruh transaksi ekonomi tetapi tidak menunjukkan bagaimana distribusinya. Dua orang bisa makan di restoran mewah, tetapi seribu orang lainnya mungkin masih berpikir dua kali untuk membeli lauk tambahan di pasar. Karena itu, indikator pertumbuhan tidak otomatis menggambarkan perbaikan taraf hidup seluruh masyarakat.
Ada dimensi lain yang perlu dianalisis, apa sumber pertumbuhan itu, seberapa luas dampaknya, dan apakah pertumbuhan itu berkelanjutan. Pertumbuhan yang tinggi tapi bertumpu pada satu atau dua sektor saja mungkin rapuh. Sebaliknya, pertumbuhan yang moderat namun merata dan berbasis diversifikasi akan jauh lebih stabil dalam jangka panjang. Di sinilah konteks menjadi penting.
Pertumbuhan ekonomi bukan sekadar angka, tetapi refleksi dari dinamika struktural di bawahnya: konsumsi rumah tangga, investasi, ekspor, belanja pemerintah, dan transformasi sektor produktif. Setiap komponen memiliki cerita, dinamika, dan risiko yang berbeda.
Analogi paling sederhana adalah pemeriksaan kesehatan. Melihat angka pertumbuhan ekonomi hanya melalui headline statistik tanpa memahami penyebabnya sama seperti membaca hasil kadar kolesterol, gula darah, dan tekanan darah tanpa konsultasi dokter. Angka bisa terlihat baik, tetapi tanpa pemahaman situasional seperti gaya hidup, risiko bawaan, struktur tubuh, dan tren historis maka kita tidak tahu apakah kondisi itu sehat, sementara, atau justru mengandung risiko laten.
Karena itu, 5,39% bukan hanya angka. Ia adalah pintu masuk untuk bertanya beberapa perteanyaan seperti, Apakah pertumbuhan ini inklusif? Apakah ia menciptakan lapangan kerja berkualitas? Apakah ia memperkuat fondasi ekonomi lokal? Apakah ia membuat masyarakat lebih tahan terhadap guncangan eksternal?
Pertumbuhan yang baik bukan yang sekadar cepat akan tetapi yang memberi ruang bagi masyarakat untuk hidup lebih layak, pelaku usaha untuk berkembang, dan pemerintah untuk membangun fondasi ekonomi yang kokoh. Menilai pertumbuhan ekonomi tanpa memahami sumber kekuatannya sama seperti mengendarai kendaraan hanya dengan melihat speedometer, kita tahu seberapa cepat bergerak, tetapi tidak tahu apakah bahan bakarnya cukup, mesinnya sehat, dan jalannya aman. Maka, 5,39% ini patut diapresiasi, tetapi ia tetap harus dibaca dengan ketenangan, kehati-hatian, dan pandangan jangka panjang.
Kontributor terbesar pertumbuhan kali ini adalah ekspor luar negeri dengan peningkatan 5,02%. Ini menunjukkan bahwa Sulawesi Utara mulai mengambil posisi dalam rantai perdagangan global. Produk yang keluar bukan hanya mentah, tetapi juga mulai berbentuk olahan: fillet tuna, minyak kelapa, briket arang, hingga produk turunan pala. Namun, ada kenyataan yang harus diakui bahwa struktur ekspor daerah masih berorientasi komoditas. Harga tuna sangat dipengaruhi permintaan Jepang.
Harga kopra mengikuti pasar India dan Sri Lanka. Bahkan permintaan logam ikut fluktuasi industri China. Artinya, ketika harga di pasar global membaik, pedagang di Bitung dapat untung dan aktivitas di Pasar 45 hidup. Tapi ketika harga global jatuh, kontraksi tak terhindarkan. Ekonomi yang bertumpu pada ekspor komoditas ibarat perahu layer, bergerak cepat jika angin bersahabat, tetapi rapuh ketika badai datang.
Berbeda dengan ekspor yang sensitif terhadap dinamika global, konsumsi rumah tangga tumbuh 1,72% dan menjadi penyeimbang penting bagi struktur ekonomi. Di Indonesia dan khususnya di daerah tingkat provinsi, konsumsi rumah tangga sering kali menjadi jangkar yang menjaga stabilitas ekonomi.
Pertumbuhan konsumsi yang masih positif menunjukkan bahwa daya beli masyarakat belum melemah. Digitalisasi pembayaran, meningkatnya transaksi non-tunai, serta perbaikan arus barang antarwilayah membantu proses ini. Di banyak daerah, UMKM tidak hidup karena ekspor, tetapi karena ada rumah tangga yang membeli barang sehari-hari seperti beras, ikan, jasa transportasi, hingga kopi lokal di kedai kecil. Selama konsumsi rumah tangga tetap stabil, roda ekonomi tidak berhenti.
Jika melihat data sektoral, ada perubahan menarik seperti Pengadaan air dan daur ulang tumbuh 13,97%, Industri pengolahan tumbuh 12,41% serta Jasa pendidikan tumbuh 9,55%. Ini bukan sekadar angka tetapi ini sinyal perubahan. Jika pertumbuhan pengolahan terus meningkat, ini berarti Sulawesi Utara mulai bergerak dari ekonomi yang mengekspor bahan mentah menuju ekonomi nilai tambah. Pertumbuhan sektor pendidikan juga penting, karena transformasi ekonomi tidak akan berhasil tanpa transformasi SDM. Di balik setiap angka pertumbuhan industri, selalu ada peningkatan keterampilan tenaga kerja.
Sementara peningkatan sektor pengelolaan limbah menunjukkan mulai bergeraknya agenda sustainability yaitu isu yang semakin penting dalam rantai pasok global. Dengan kata lain, struktur ekonomi Sulawesi Utara mulai bergerak, meski masih bertahap.
Meski banyak indikator bergerak positif, ada satu data yang perlu mendapat perhatian serius, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) justru minus -2,13%. Investasi yang lemah membuat pertumbuhan sulit berlanjut dalam jangka panjang. Ekonomi bisa tumbuh hari ini karena kapasitas produksi masa lalu. Tetapi untuk tumbuh besok, kapasitas itu harus diperbarui. Jika tidak, ekonomi akan menghadapi Batasan, kapasitas pelabuhan terbatas, cold storage tidak cukup, pabrik tidak bertambah, dan peluang ekspor hilang. Pendeknya, tanpa investasi, pertumbuhan akan kehilangan tenaga.
Optimisme yang Rasional
Sulawesi Utara punya momentum. Ekspor kuat, konsumsi stabil, sektor industri mulai menunjukkan taring, dan pariwisata tetap menjadi kekuatan penarik permintaan.
Namun sebagaimana pelaut berpengalaman yang selalu melihat langit sebelum berlayar, pemerintah daerah dan pelaku usaha harus tetap waspada. Yang dibutuhkan saat ini bukan euforia, tetapi konsolidasi strategi:
1. memperkuat rantai nilai industri lokal,
2. menurunkan biaya logistik,
3. menghubungkan UMKM ke pasar digital dan ekspor,
4. meningkatkan kualitas tenaga kerja,
5. dan mempercepat investasi.
Jika langkah ini ditempuh dengan disiplin, pertumbuhan ekonomi tidak hanya menjadi angka di laporan, tetapi juga hadir dalam bentuk kehidupan yang lebih baik, mulai dari pedagang ikan di Pasar 45 hingga pelaku industri ekspor di Bitung. Karena pada akhirnya, ekonomi yang baik bukan yang hanya tumbuh, tetapi yang mampu menghadirkan kesejahteraan yang merata dan berkelanjutan.
Penulis:
Ketua ISEI Cab. Manado SULUT
Koorpordi Magister Manajemen Program Pascasarjana UNSRAT