Jakarta, 5/5(AntaraSulut) - Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 02/PRT/M/2015 tentang bangunan gedung hijau sebagai upaya pengaturan sektor bangunan sebagaimana tuntutan mitigasi akibat dampak perubahan iklim.
"Selain tuntutan mitigasi akibat dampak perubahan iklim, peraturan menteri ini secara konsisten berupaya mewujudkan bangunan gedung berkelanjutan sesuai dengan Undang-Undang No 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung," kata Kasubdit Pengaturan dan Pembinaan Kelembagaan Direktorat Cipta Karya, Erwin
Adhi Setyadhi
Hal ini sejalan dengan komitmen nasional pada tahun 2011, untuk menurunkan emisi GRK secara sukarela sebesar 26 persen pada tahun 2020 dari kondisi Business as Usual (BAU) dan mencapai 41 persen apabila dibantu dukungan pendanaan internasional.
Pengertian gedung hijau adalah “bangunan gedung yang memenuhi persyaratan bangunan gedung dan memiliki kinerja terukur secara signifikan dalam penghematan energi, air, dan sumber daya lainnya melalui penerapan prinsip bangunan gedung hijau sesuai dengan fungsi dan klasifikasi dalam setiap tahapan penyelenggaraannya.
Penerbitan aturan ini juga dalam rangka memberikan arahan dan panduan bagi para pelaku kepentingan terkait sektor bangunan gedung maka pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menyelenggarakan acara Sosialisasi Nasional Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 02/PRT/M/2015 tentang Bangunan Gedung Hijau yang bertempat di Gedung
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada tanggal 6 Mei 2015.
Tren menunjukkan arus pertumbuhan penduduk di perkotaan yang meningkat setiap tahun, hal ini tampak dari proyeksi pertumbuhan penduduk Indonesia dimana hingga akhir 2020 diperkirakan 60 persen penduduk Indonesia akan tinggal di wilayah Perkotaan (data BPS).
Dampak dari pertumbuhan penduduk di perkotaan akan berbanding lurus dengan meningkatnya tuntutan penyediaan fasilitas prasarana dan sarana hidup di ruang perkotaan, seperti bangunan gedung, infrastruktur jalan dan jembatan, utilitas umum hingga ruang terbuka yang memadai bagi aktivitas sosial masyarakat.
Seiring dengan pertumbuhan infrastruktur perkotaan, tidak dapat dihindari adalah ancaman terhadap keberlanjutan hidup masyarakat perkotaan akibat daya dukung lahan yang kian menurun, permasalahan meningkatnya emisi gas rumah kaca dan dampaknya terhadap pemanasan global, serta menurunnya produktivitas lahan dan alih fungsi lahan yang bersifat urban.
Berdasarkan data, hingga saat ini saja sektor bangunan gedung diperkirakan telah mengkonsumsi lebih dari 1/3 sumber daya yang ada di dunia, sekitar 12 persen dari total air bersih yang ada, dan menyumbang hampir 40 persen dari total emisi gas rumah kaca (GRK).
Pada tahun 2030, diproyeksikan sektor bangunan gedung akan memproduksi 1/3 dari seluruh emisi gas rumah kaca yang ada di dunia *(IPCC Fourth Assessment Report on Climate Change, 2007). *
Mengantisipasi tren peningkatan pembangunan yang cenderung ke arah perkotaan, maka pemerintah merasa penting untuk menuangkan kebutuhan tersebut dalam bentuk peraturan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
Hal ini sejalan dengan komitmen nasional pada tahun 2011, untuk menurunkan emisi GRK secara sukarela sebesar 26% pada tahun 2020 dari kondisi Business as Usual (BAU) dan mencapai 41% apabila dibantu dukungan pendanaan internasional.
Tindak lanjut komitmen Nasional tersebut adalah terbitnya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11 Tahun 2012 tentang Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Tahun 2012-2020 Kementerian Pekerjaan Umum.
Sejak itu, mulailah berbagai sektor bidang pekerjaan umum menuangkan strategi dan peraturan yang dibutuhkan untuk mewujudkan rencana aksi nasional mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menjadi leading sector pembinaan bangunan gedung dengan melibatkan penyedia jasa/lembaga penilaian bangunan gedung hijau seperti PusatPenelitian Pengembangan Permukiman dan Green Building Council Indonesia
(GBCI).
Pada tahun 2015, untuk mengawali milestone pertama strategi implementasi penyelenggaraan bangunan gedung hijau dalam skala nasional, maka pemerintah pusat menargetkan pendampingan penyusunan pengaturan di Kota Bandung, Kota Surabaya, dan Kota Makassar sebagai 3 Kota metropolitan pionir.
Selain itu, dilakukan pula pemantauan dan pembelajaran dari implementasi bangunan Gedung Hijau di Provinsi DKI Jakarta yang telah berlangsung sejak tahun 2012. Diharapkan pendampingan yang dilakukan kepada pemerintah daerah dan pelaku kepentingan terkait akan menjadi proses belajar dan mendorong
percepatan pemerintah daerah untuk menyusun peraturan yang sesuai dengan amanat peraturan perundangan serta menyiapkan kelembagaan dan kapasitas SDM yang memadai.
Erwin menambahkan "Di masa mendatang, kita berharap setelah seluruh Kabupaten/Kota menerapkan Peraturan Menteri PUPR PUPR No. 02/PRT/M/2015 tentang Bangunan Gedung Hijau, masyarakat luas akan mendapat manfaat dan maslahat dari pembangunan bangunan gedung yang tidak hanya mengutamakan aspek teknis keselamatan, kesehatan, kenyamanan sesuai kriteria teknis yang
berlaku, namun juga lebih efisien sumber daya serta selaras, serasi, dan harmonis dengan lingkungannya".