Manado (ANTARA) - Politik uang dan ancaman pidana, menjadi trending topik, yang hangat dibahas  Parpol, pengawas pemilu, aparat penegak hukum hingga akademisi, bahkan pekerja pers  karena sangat susah diberantas di Indonesia. 

"Politik uang itu, menempatkan Indonesia sebagai negara dengan peringkat politik uang nomor tiga terbesar di dunia," kata Pakar ilmu politik dari Unsrat, Dr. Burhan Niode, dalam sosialisasi pengawasan yang digelar Bawaslu Kota Manado, Jumat. 

Burhan Niode mengatakan, bahkan menurut penelitian LIPI, ada 47,4 persen masyarakat Indonesia yang mengakui terjadinya politik uang pada pemilu serentak 2019  dan 46,7 persen menganggap  itu  sebagai hal yang dapat dimaklumi. 

Karena itu Niode mengatakan, bahwa politik uang itu merendahkan martabat rakyat, menimbulkan ketergantungan dan ketidakmandirian masyarakat secara politik, menghilangkan siap kritis, memanipulasi hubungan masyarakat dari dasar kepercayaan menjadi transaksional serta menimbulkan  potensi korupsi. 

Sementara Jaksa dari Kejari Manado, Bryan Tambuwun, mengangkat contoh kasus Liempepas bersaudara sebagai sebuah bukti bahwa politik uang itu merupakan tindak pidana yang juga bisa dibuktikan   dan dihukum, meskipun hukumannya percobaan.  Sosialiasi Bawaslu Manado (antara/Joice) (1) Bryan Tambuwun mengatakan, bahwa memang untuk membuat sebuah kasus politik uang sampai ke pengadilan, harus memenuhi semua unsur, yang terutama jaksa  harus bisa meyakinkan dirinya bahwa semua alat bukti betul betul berkualitas, sehingga kasus itu bisa dibuktikan di pengadilan. 

Kalau tidak, Tambuwun mengatakan, bisa - bisa kasusnya hanya  sampai di kejaksaan dan susah atau tak bisa naik ke tingkat pengadilan. 

Sementara pimpinan Bawaslu Manado, Heard Runtuwene, mengingatkan bahwa dalam Pilkada, yang memberikan maupun yang menerima semua terancam dihukum. 

"Bahkan lebih berat hukumannya yang menerima uang, ketika terjadi kasus politik uang, maka kita jangan sampai melakukan hal itu," kata Heard.

Pewarta : Joyce Hestyawatie B
Editor : Jorie MR Darondo
Copyright © ANTARA 2025