Manado (ANTARA) - Komisi VII DPR RI mendukung PT PLN (Persero) untuk melanjutkan transisi energi sesuai peta jalan yang telah disusun guna mencapai target 'Net Zero Emission' (NZE) di tahun 2060. Legislatif menilai, inisiatif PLN ini perlu mendapatkan dukungan penuh lewat pengawalan program hingga target tercapai.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno mengapresiasi langkah PLN dalam menjalankan rencana transisi energi. Menurutnya, PLN telah berjalan lebih maju dalam upaya transisi energi mencapai target NZE.
"Komisi VII DPR RI mengapresiasi inovasi dan langkah-langkah yang dilakukan Dirut PT PLN (Persero) dalam pelaksanaan transisi energi menuju NZE pada tahun 2060 serta pencapaian kinerja terbaik," kata Eddy dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI, belum lama ini.
Anggota Komisi VII DPR RI Hendrik Halomoan Sitompul turut mengapresiasi langkah PLN dalam transisi energi. Menurutnya, PLN telah melakukan lompatan luar biasa dalam proses transisi energi menuju target NZE.
"PLN telah melakukan upaya heroik melalui RUPTL paling hijau menekankan upaya dekarbonisasi, pembangkit berbasis dan pengembangan energi baru terbarukan," ujar Hendrik.
Meski upaya transisi energi terdapat berbagai tantangan, Hendrik mendorong PLN tetap komitmen melakukan berbagai langkah demi mencapai target NZE di tahun 2060.
"Ada pesan tadi disampaikan Pak Dirut harus selalu kita ingat. Yaitu _tagline_ _'because PLN do really care'._ Jadi transisi memang harus dilakukan karena memang kita peduli, bukan hanya karena komitmen PLN. Untuk itu, semangat PLN untuk _zero emission_ ini luar biasa. Hanya tinggal dijaga _timelinenya,"_ ujar Hendrik.
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo menjelaskan bahwa PLN berinisiatif secara _voluntary_ untuk melakukan transisi energi melalui berbagai upaya heroik, antara lain dengan menekankan upaya dekarbonisasi pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil, meningkatkan kapasitas pembangkit EBT dan infrastruktur pendukung seperti _smart grid_ dan _control system_, serta mengembangkan _green ecosystem._
“Kami telah memiliki peta jalan transisi energi yang komprehensif. Kami komitmen menjalankan peta jalan tersebut untuk mencapai _Net Zero Emission_ pada 2060 atau lebih cepat,” ucap Darmawan.
PLN telah membatalkan 13,3 gigawatt (GW) pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang sebelumnya direncanakan dalam RUPTL 2019-2028. Upaya ini bisa menghindari sekitar 1,8 miliar ton emisi CO2 dalam 25 tahun ke depan. PLN juga melakukan pembatalan terhadap 1,3 GW PLTU yang sudah menandatangani _Power Purchase Agreement_ (PPA). Inisiatif ini akan menghindari emisi karbon sekitar 200 juta ton CO2.
Selain itu, PLN mengganti 1,1 GW PLTU dengan pembangkit EBT dan 800 MW PLTU dengan pembangkit gas. Upaya ini akan mampu menurunkan emisi sebesar 300 juta ton CO2.
“Apa yang kita lakukan ini baru awal, jalan transisi energi masih panjang dan terus diakselerasi,” tutur Darmawan.
PLN juga melakukan dedieselisasi atau konversi 1 GW pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) ke pembangkit yang lebih ramah lingkungan. Upaya ini mampu menurunkan emisi sebesar 100 juta ton CO2.
Dalam masa transisi energi, PLN menggunakan teknologi 'co-firing' di PLTU sebagai upaya menekan penggunaan batu bara Co-firing adalah substitusi batu bara pada rasio tertentu dengan bahan biomassa seperti pellet kayu, cangkang sawit dan sawdust (serbuk gergaji). Teknik ini biasa dilakukan dengan membakar secara bersamaan kedua bahan tersebut. Hingga saat ini, PLN telah berhasil melakukan co-firing di 37 PLTU dan akan terus meningkat menjadi 52 PLTU pada 2025. Upaya ini telah mampu menurunkan emisi sebesar 100 juta ton CO2.
Darmawan menegaskan bahwa co-firing ini dilakukan tak sekedar mengurangi emisi, tetapi juga memberdayakan masyarakat dan membangun ekonomi kerakyatan. PLN mengajak masyarakat untuk terlibat aktif membuat bahan baku co-firing, mulai dari penanaman tanaman biomassa hingga pengelolaan sampah rumah tangga wilayahnya untuk dijadikan _pellet_.
“Kehadiran program ekonomi kerakyatan co-firing ini juga merupakan langkah nyata PLN menjawab persoalan global. Mewujudkan Indonesia yang bersih dan mandiri energi. Meningkatkan kapasitas nasional dengan prinsip Environmental, Social and Governance (ESG),” ucapnya
Sejalan dengan peluncuran perdagangan karbon di subsektor Pembangkit Tenaga Listrik oleh Kementerian ESDM pada tahun ini, PLN memastikan keikutsertaannya dengan melibatkan 21 PLTU (55 unit/mesin) yang tersebar di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Perdagangan karbon yang dilakukan melalui perdagangan emisi antar PLTU dan offset emisi dari pembangkit rendah karbon, merupakan bagian dari strategi PLN untuk mendukung dekarbonisasi dan mengembangkan bisnis hijau baru.
Selain menurunkan emisi dengan mengurangi pembangkit listrik fosil, PLN juga terus mengembangkan penggunaan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan.
PLN bersama Pemerintah telah menyusun Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 menjadi RUPTL paling hijau sepanjang sejarah Indonesia. Sebesar 51,6 persen dari total tambahan kapasitas pembangkit atau 20,9 GW akan berasal dari pembangkit EBT. Upaya ini akan menghindari dan menurunkan 1,2 miliar ton emisi CO2. Tidak hanya pembangkit, di saat bersamaan, PLN juga melakukan transformasi digitalisasi pada sisi pembangkit, transmisi dan distribusi agar bisa mendukung penggunaan pembangkit EBT.
"Dulu intermitensi hanya ada di sisi demand. Namun dengan masuknya pembangkit EBT, membuat fluktuasi juga terjadi di sisi suplai. Untuk itu kita perlu siapkan sistem kelistrikannya agar lebih optimal dalam menghadapi dinamika dari pembangkit EBT,” tambah Darmawan.
Di sisi hilir, PLN juga menjadikan energi hijau menjadi sebuah layanan. PLN memiliki produk listrik hijau dengan green tarif bagi pelanggan yang membutuhkan listrik yang berasal dari listrik EBT. PLN juga mampu menghadirkan produk hijau Renewable Energy Certificate (REC) yang diakui secara internasional. Sampai tahun 2023 sudah lebih dari 2,8 juta MWh EBT disalurkan bagi 363 pelanggan melalui REC.
“Dulu banyak perusahaan yang beroperasi di negara kita membeli REC di negara lain, hari ini kami telah menyediakannya dan banyak perusahaan yang telah menggunakannya,” imbuh Darmawan.
PLN juga menjadi pionir dalam pengembangan ekosistem kendaraan listrik. PLN menghadirkan berbagai insiatif, mulai dari pemberian diskon tarif pengisian daya bagi kendaraan listrik, hingga membuka skema kerja sama franchise untuk penyediaan Stasiun Penyediaan Kendaraan Listrik Umum (SPKLU). Tercatat hingga saat ini PLN telah membangun lebih dari 600 unit SPKLU yang tersebar di seluruh tanah air dan telah terintegrasi ke dalam Electric Vehicle Digital System (EVDS) milik PLN.
Beralih dari kendaraan BBM ke kendaraan listrik menjadi pilihan strategis untuk menurunkan emisi, mengingat sektor transportasi menjadi salah satu penyumbang utama emisi karbon di Indonesia. Tidak hanya itu, penggunaan kendaraan listrik akan bermanfaat terhadap kedaulatan energi nasional, di mana akan mengurangi impor BBM. Sehingga kedaulatan energi nasional akan semakin kokoh.
Dengan upaya-upaya yang dilakukan tersebut, total kumulatif emisi yang sudah dihindari dan diturunkan mencapai 3,7 miliar ton CO2.
“Transisi energi ini memiliki banyak tantangan, tetapi juga menjadi peluang bagi bangsa kita untuk menjadi berdikari, terutama dalam penyediaan energi,” ujar Darmawan.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno mengapresiasi langkah PLN dalam menjalankan rencana transisi energi. Menurutnya, PLN telah berjalan lebih maju dalam upaya transisi energi mencapai target NZE.
"Komisi VII DPR RI mengapresiasi inovasi dan langkah-langkah yang dilakukan Dirut PT PLN (Persero) dalam pelaksanaan transisi energi menuju NZE pada tahun 2060 serta pencapaian kinerja terbaik," kata Eddy dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI, belum lama ini.
Anggota Komisi VII DPR RI Hendrik Halomoan Sitompul turut mengapresiasi langkah PLN dalam transisi energi. Menurutnya, PLN telah melakukan lompatan luar biasa dalam proses transisi energi menuju target NZE.
"PLN telah melakukan upaya heroik melalui RUPTL paling hijau menekankan upaya dekarbonisasi, pembangkit berbasis dan pengembangan energi baru terbarukan," ujar Hendrik.
Meski upaya transisi energi terdapat berbagai tantangan, Hendrik mendorong PLN tetap komitmen melakukan berbagai langkah demi mencapai target NZE di tahun 2060.
"Ada pesan tadi disampaikan Pak Dirut harus selalu kita ingat. Yaitu _tagline_ _'because PLN do really care'._ Jadi transisi memang harus dilakukan karena memang kita peduli, bukan hanya karena komitmen PLN. Untuk itu, semangat PLN untuk _zero emission_ ini luar biasa. Hanya tinggal dijaga _timelinenya,"_ ujar Hendrik.
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo menjelaskan bahwa PLN berinisiatif secara _voluntary_ untuk melakukan transisi energi melalui berbagai upaya heroik, antara lain dengan menekankan upaya dekarbonisasi pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil, meningkatkan kapasitas pembangkit EBT dan infrastruktur pendukung seperti _smart grid_ dan _control system_, serta mengembangkan _green ecosystem._
“Kami telah memiliki peta jalan transisi energi yang komprehensif. Kami komitmen menjalankan peta jalan tersebut untuk mencapai _Net Zero Emission_ pada 2060 atau lebih cepat,” ucap Darmawan.
PLN telah membatalkan 13,3 gigawatt (GW) pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang sebelumnya direncanakan dalam RUPTL 2019-2028. Upaya ini bisa menghindari sekitar 1,8 miliar ton emisi CO2 dalam 25 tahun ke depan. PLN juga melakukan pembatalan terhadap 1,3 GW PLTU yang sudah menandatangani _Power Purchase Agreement_ (PPA). Inisiatif ini akan menghindari emisi karbon sekitar 200 juta ton CO2.
Selain itu, PLN mengganti 1,1 GW PLTU dengan pembangkit EBT dan 800 MW PLTU dengan pembangkit gas. Upaya ini akan mampu menurunkan emisi sebesar 300 juta ton CO2.
“Apa yang kita lakukan ini baru awal, jalan transisi energi masih panjang dan terus diakselerasi,” tutur Darmawan.
PLN juga melakukan dedieselisasi atau konversi 1 GW pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) ke pembangkit yang lebih ramah lingkungan. Upaya ini mampu menurunkan emisi sebesar 100 juta ton CO2.
Dalam masa transisi energi, PLN menggunakan teknologi 'co-firing' di PLTU sebagai upaya menekan penggunaan batu bara Co-firing adalah substitusi batu bara pada rasio tertentu dengan bahan biomassa seperti pellet kayu, cangkang sawit dan sawdust (serbuk gergaji). Teknik ini biasa dilakukan dengan membakar secara bersamaan kedua bahan tersebut. Hingga saat ini, PLN telah berhasil melakukan co-firing di 37 PLTU dan akan terus meningkat menjadi 52 PLTU pada 2025. Upaya ini telah mampu menurunkan emisi sebesar 100 juta ton CO2.
Darmawan menegaskan bahwa co-firing ini dilakukan tak sekedar mengurangi emisi, tetapi juga memberdayakan masyarakat dan membangun ekonomi kerakyatan. PLN mengajak masyarakat untuk terlibat aktif membuat bahan baku co-firing, mulai dari penanaman tanaman biomassa hingga pengelolaan sampah rumah tangga wilayahnya untuk dijadikan _pellet_.
“Kehadiran program ekonomi kerakyatan co-firing ini juga merupakan langkah nyata PLN menjawab persoalan global. Mewujudkan Indonesia yang bersih dan mandiri energi. Meningkatkan kapasitas nasional dengan prinsip Environmental, Social and Governance (ESG),” ucapnya
Sejalan dengan peluncuran perdagangan karbon di subsektor Pembangkit Tenaga Listrik oleh Kementerian ESDM pada tahun ini, PLN memastikan keikutsertaannya dengan melibatkan 21 PLTU (55 unit/mesin) yang tersebar di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Perdagangan karbon yang dilakukan melalui perdagangan emisi antar PLTU dan offset emisi dari pembangkit rendah karbon, merupakan bagian dari strategi PLN untuk mendukung dekarbonisasi dan mengembangkan bisnis hijau baru.
Selain menurunkan emisi dengan mengurangi pembangkit listrik fosil, PLN juga terus mengembangkan penggunaan pembangkit energi baru terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan.
PLN bersama Pemerintah telah menyusun Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 menjadi RUPTL paling hijau sepanjang sejarah Indonesia. Sebesar 51,6 persen dari total tambahan kapasitas pembangkit atau 20,9 GW akan berasal dari pembangkit EBT. Upaya ini akan menghindari dan menurunkan 1,2 miliar ton emisi CO2. Tidak hanya pembangkit, di saat bersamaan, PLN juga melakukan transformasi digitalisasi pada sisi pembangkit, transmisi dan distribusi agar bisa mendukung penggunaan pembangkit EBT.
"Dulu intermitensi hanya ada di sisi demand. Namun dengan masuknya pembangkit EBT, membuat fluktuasi juga terjadi di sisi suplai. Untuk itu kita perlu siapkan sistem kelistrikannya agar lebih optimal dalam menghadapi dinamika dari pembangkit EBT,” tambah Darmawan.
Di sisi hilir, PLN juga menjadikan energi hijau menjadi sebuah layanan. PLN memiliki produk listrik hijau dengan green tarif bagi pelanggan yang membutuhkan listrik yang berasal dari listrik EBT. PLN juga mampu menghadirkan produk hijau Renewable Energy Certificate (REC) yang diakui secara internasional. Sampai tahun 2023 sudah lebih dari 2,8 juta MWh EBT disalurkan bagi 363 pelanggan melalui REC.
“Dulu banyak perusahaan yang beroperasi di negara kita membeli REC di negara lain, hari ini kami telah menyediakannya dan banyak perusahaan yang telah menggunakannya,” imbuh Darmawan.
PLN juga menjadi pionir dalam pengembangan ekosistem kendaraan listrik. PLN menghadirkan berbagai insiatif, mulai dari pemberian diskon tarif pengisian daya bagi kendaraan listrik, hingga membuka skema kerja sama franchise untuk penyediaan Stasiun Penyediaan Kendaraan Listrik Umum (SPKLU). Tercatat hingga saat ini PLN telah membangun lebih dari 600 unit SPKLU yang tersebar di seluruh tanah air dan telah terintegrasi ke dalam Electric Vehicle Digital System (EVDS) milik PLN.
Beralih dari kendaraan BBM ke kendaraan listrik menjadi pilihan strategis untuk menurunkan emisi, mengingat sektor transportasi menjadi salah satu penyumbang utama emisi karbon di Indonesia. Tidak hanya itu, penggunaan kendaraan listrik akan bermanfaat terhadap kedaulatan energi nasional, di mana akan mengurangi impor BBM. Sehingga kedaulatan energi nasional akan semakin kokoh.
Dengan upaya-upaya yang dilakukan tersebut, total kumulatif emisi yang sudah dihindari dan diturunkan mencapai 3,7 miliar ton CO2.
“Transisi energi ini memiliki banyak tantangan, tetapi juga menjadi peluang bagi bangsa kita untuk menjadi berdikari, terutama dalam penyediaan energi,” ujar Darmawan.