Manado, (ANTARA Sulut) - Penguatan komoditi ekspor dari sisi volume dan jenis, serta mempertahankan volume impor dapat menjadi upaya solutif mengatasi jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dolar.
     "Situasi seperti ini pasti akan menguntungkan provinsi atau daerah yang punya komoditi ekspor dan kurang kandungan impor. Sama seperti Sulawesi Utara yang menjadi daerah pengekspor berbagai komoditi keluar negeri," kata Asisten Bidang Pembangunan dan Ekonomi, Provinsi Sulawesi Utara, Sanny Parengkuan, di Manado.
     Penguatan nilai tukar dolar terhadap rupiah, katanya, tidak hanya dirasakan dalam skala nasional, tapi juga Sulawesi Utara meskipun dalam kadar yang berbeda.
     "Bukan tidak terpengaruh, tapi kecil dampaknya karena faktor daerah pengekspor serta kurang kandungan impor. Kalau impor berarti kira harus membeli dengan mata uang asing," katanya.
     Karena itu mantan kepala dinas perindustrian dan perdagangan ini mengatakan, penguatan volume dan jenis, serta membuka negara-negara baru tujuan ekspor akan menjadi modal bertahan di tengah krisis ini.
     Data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam perkembangan ekspor dan impor Sulawesi Utara pada Juli 2013 mempublikasikan bahwa nilai ekspor (nonmigas) mencapai US$ 97,5 juta atau mengalami peningkatan sekitar 216,4 persen dibanding ekspor Juni 2013 sebesar US$ 30,8 juta. Begitu juga bila dibandingkan Juli 2012 dengan nilai sebesar US$ 70,0 juta, ekspor juga mengalami peningkatan sebesar 39,3 persen.
     Secara kumulatif nilai ekspor (nonmigas) Sulawesi Utara pada Januari-Juli 2013 mencapai US$ 447,4 juta atau mengalami penurunan 32,3 persen dibanding Januari-Juli 2012 dengan nilai sebesar US$ 660,4 juta.
     Peningkatan terbesar ekspor Juli 2013 dibanding Juni 2013 terjadi pada komoditi lemak dan minyak hewan/nabati yang naik sebesar US$ 51,4 juta dan penurunan ekspor terbesar terjadi pada komoditi Bahan kimia organik, yang turun US$ 1,2 juta.
     Ekspor ke Jerman pada periode Januari-Juli 2013 mengalami peningkatan terbesar jika dibanding Januari-Juli 2012 yaitu naik US$ 8,7 juta, sedangkan penurunan ekspor terbesar adalah ke Belanda sebesar US$ 105,7 juta.
     Bila dibagi menurut sektornya, ekspor Sulawesi Utara pada periode Januari-Juli 2013 didominasi komoditi sektor industri dengan nilai US$ 438,7 juta atau 98,0 persendan sisanya merupakan komoditi pertainan dan hasil tambang sekitar US$ 8,7 juta atau 2,0 persen.
     Periode Januari-Juli 2013 dibanding Januari-Juli 2012, kenaikan terbesar ekspor terjadi pada komoditi daging dan ikan olahan yakni sebesar US$ 19,9 juta. Komoditi lain yang juga mengalami peningkatan ekspor adalah kopi, teh, rempah-rempah dan buahn-buahan yang masing-masing meningkat dengan nilai sekitar US$ 2,0 juta, dan US$ 1,6 juta, disusul kayu (barang dari kayu) sebesar US$ 1,4 juta.
     Penurunan terbesar ekspor terjadi pada komoditi lemak dan minyak hewan/nabati yakni turun sebesar US$ 196,9 juta. Disusul ikan dan udang serta ampas.sisa industri masing-masing US$ 21,6 dan US$ 11,2 juta.
     Ekspor ke Jerman dan Vietnam pada periode Januari-Juli 2013 dibanding periode yang sama tahun sebelumnya mengalami peningbkatan masing-masing sebesar US$ 8,7 juta dan US$ 8,6 juta disusul Inggris dan Saudi Arabia masing-masing sekitar US$ 7,8 juta dan US$ 2,2 juta.              Sedangkan ekspor ke Belanda mengalami penurunan signifikan yakni US$ 105,7 juta, disusul Cina dan Korea selatan masing-masing US$ 41,3 juta dan US$ 23,3 juta.
     Untuk komoditi impor, nilai impor Sulawesi Utara Juli 2013 mencapai US$ 14,3 juta atau mengalami penurunan yang signifikan sebesar 54,34 persen dibanding impor Juni 2013 sekitar US$ 31,3 juta.
     Namun bila dibandingkan dengan Juli 2012 dengan nilai sebesar US$ 5,1 juta, impor mengalami peningkatan signifikan sekitar 181,36 persen.
     Secara kumulatif nilai impor Sulawesi Utara Januari-Juli 2013 mencapai US$ 70,5 juta atau turun sekitar 2,8 persen dibanding Januari-Juli 2012 dengan nilai sebesar US$ 72,6 juta.
     Penurunan terbesar pada Juli 2013 dibanding bulan sebelumnya Juni 2013 terjadi pada komoditi mesin-mesin atau pesawat mekanik, yang turun US$ 27,8 juta. Dan peningkatan impor terbesarnya dari kapal laut yang naik sebesar US$ 4,9 juta.
     Impor dari Amerika Serikat pada Juli 2013 mengalami penurunan terbesar jika dibandingkan Juni 2013 yaitu sebesar US$ 28,0 juta. Dan peningkatan impor terbesar dari Cina yang naik sebesar US$ 4,3 juta.  
     Barang impor dari amerika serikat memberikan kontribusi terbesar terhadap total impor januari juli 2013 yaitu mencapai 39,9 persen diikuti Cina 16,2 persen dan Australia sebesar 10,4 persen.
     Dalam pandangan ekonom sekaligus "chief economist" BNI 46 Wilayah Manado, Agus Tony Poputra, dampak pelemahan nilai rupiah terhadap dolar terasa langsung pada sektor sekunder dan tertierf seperti pada impor bahan baku makanan serta bahan bangunan dan elektronik.
     Sementara sektor usaha mikro kecil dan menengah, kata dia, hanya akan berpengaruh apabila mengelola bahan baku impor.
     "Seperti kedelai untuk bahan makanan tahu dan tempe. Komoditi ini kita masih impor sehingga pasti akan terkena dampaknya. Harga beli naik akan diikuti harga jual," kata dia.
     Dia mengatakan, persoalan pelemahan nilai rupiah terhadap dolar ada kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat yang mulai membaik, sehingga uang yang biasanya ditanam di pasar-pasar modal, sekarang ini berbalik arah dikembalikan ke negara asal.
     "Menyelamatkan nilai rupiah terhadap dolar dapat dilakukan dengan memutus mata rantai impor sapi atau kedelai. Dua komoditi ini sebenarnya bisa terpenuhi Indonesia tanpa harus mengimpor. Di sini butuh kejelian," ungkapnya.
     Begitupun dengan ekspor bahan-bahan pertambangan ke negara luar yang semestinya Indonesia mendapatkan bagian lebih besar, karena negara-negara pengimpor hasil tambang sangat butuh Indonesia, sehingga harus diatur proporsi besaran nilai yang seharusnya ditinggalkan.     "Kita harus melakukan efisiensi untuk hal-hal yang tidak perlu. Ada bagian-bagian dari porsi anggaran yang harus dipangkas sehingga tidak semakin terpuruk," katanya.
     Dia mengharapkan, untuk peningkatan produksi ternak sapi dan kedelai harus diubah pola pikir dari pemberian bantuan secara gratis kepada pendampingan mulai pembiakan atau penanaman menuju ke pasar.
     "Kalau hanya diberikan bantuan, sekali kelak ketika bantuan tidak diberikan petani tidak lagi beternak sapi atau menanam kedelai. Ini bahaya. Peningkatan hasil produksi juga harus diikuti dengan pembaharuan teknologi," katanya.
     Bagi perajin tahu-tempe, perbaikan mutu kedelai produksi petani lokal sudah harus dilakukan pemerintah, di samping peningkatan produksi melalui perluasan areal tanam.
     Semakin banyak mendatangkan kedelai impor, harga semakin melonjak dan menekan nilai jual produksi lokal sehingga melemahkan semangat petani bercocok tanam.
     "Saatnya petani kedelai diberikan penguatan dengan proses pembimbingan. Kawal terus hasil produksi sampai ke pasar. Nah tugas pemerintah untuk mengatur tata niaga dan harga agar tidak jeblok," kata Sutrisno, perajin tahu-tempe Kota Tomohon.

Pewarta : Oleh Karel A Polakitan
Editor : Guntur Bilulu
Copyright © ANTARA 2024