Jakarta (ANTARA) - Asosiasi-asosiasi konsumen menyatakan bahwa tembakau alternatif sebaiknya memiliki regulasi yang berbeda dengan rokok konvensional sebab keduanya memiliki profil risiko yang tidak sama, kata Ketua Aliansi Vaper Indonesia (AVI) Johan Sumantri.
Johan bilang, produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik, produk tembakau yang dipanaskan, maupun kantong nikotin secara ilmiah memiliki profil risiko lebih rendah dibandingkan rokok konvensional, sehingga sebaiknya diatur melalui regulasi khusus yang berbeda dari rokok konvensional.
"Jika regulasinya sama, nanti akan sama juga terkait larangan-larangannya. Nanti ada gambar-gambar seperti di rokok, tenggorokan yang bolong sedangkan risiko itu tidak ditemui dalam penggunaan produk tembakau alternatif dan belum ada kajian yang membuktikan hal tersebut,” ujar Johan saat dihubungi wartawan, Rabu (27/4).
Baca juga: Masyarakat perlu informasi akurat soal manfaat tembakau alternatif
Dia berharap seluruh pemangku kepentingan dapat memahami perbedaan profil dari produk tembakau alternatif sebelum memutuskan kebijakan. Para regulator juga diharapkan lebih aktif dan terbuka dalam mengakui hasil penelitian dari dalam dan luar negeri terhadap produk tembakau alternatif.
Apabila penelitian yang ada dinilai belum cukup untuk dijadikan landasan dalam penyusunan regulasi, pemerintah bisa mendorong kajian ilmiah dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan di industri produk tembakau alternatif.
"Jadi tidak cuma asal bicara produk ini sama dengan rokok sedangkan pemerintah sendiri tidak memiliki hasil penelitiannya,” katanya.
Johan memastikan AVI siap memberikan data-data yang dibutuhkan apabila pemerintah berencana untuk melakukan riset terhadap produk tembakau alternatif.
Sejak AVI dibentuk, Johan mengungkapkan pihaknya memiliki komitmen untuk mendukung seluruh pemangku kepentingan yang ingin melakukan kajian ilmiah atas produk-produk tersebut.
"AVI sadar, kami sangat membutuhkan riset ini,” tegas Johan.
Ketua Asosiasi Konsumen Vape Indonesia (Akvindo), Paido Siahaan menyampaikan pendapat yang sejalan, yakni tidak setuju apabila regulasi produk tembakau alternatif disetarakan dengan aturan rokok.
Menurut Paido, kebijakan itu bertolak belakang dengan semangat pemerintah dalam menurunkan prevalensi perokok di Indonesia. Dia khawatir prevalensi merokok akan semakin meningkat karena regulasi yang keliru tersebut.
“Ini lebih kepada keseriusan pemerintah dalam menurunkan jumlah perokok di Indonesia. Komunitas produk tembakau alternatif juga sudah lama menyuarakan agar pemerintah segera melakukan kajian ilmiah,” ungkapnya.
Paido meneruskan, kajian ilmiah diperlukan untuk menetralkan opini-opini keliru terhadap produk tembakau alternatif. Warga negara juga memiliki hak untuk mengetahui bahwa informasi yang menjadi dasar pembuatan kebijakan pemerintah merupakan informasi yang akurat, sebagaimana dijamin dalam peraturan.
“Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, hak warga negara dijamin negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik,” ujarnya.
Baca juga: CISDI: Kenaikan cukai rokok tambah penerimaan negara Rp7,92 triliun meningkat
Johan bilang, produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik, produk tembakau yang dipanaskan, maupun kantong nikotin secara ilmiah memiliki profil risiko lebih rendah dibandingkan rokok konvensional, sehingga sebaiknya diatur melalui regulasi khusus yang berbeda dari rokok konvensional.
"Jika regulasinya sama, nanti akan sama juga terkait larangan-larangannya. Nanti ada gambar-gambar seperti di rokok, tenggorokan yang bolong sedangkan risiko itu tidak ditemui dalam penggunaan produk tembakau alternatif dan belum ada kajian yang membuktikan hal tersebut,” ujar Johan saat dihubungi wartawan, Rabu (27/4).
Baca juga: Masyarakat perlu informasi akurat soal manfaat tembakau alternatif
Dia berharap seluruh pemangku kepentingan dapat memahami perbedaan profil dari produk tembakau alternatif sebelum memutuskan kebijakan. Para regulator juga diharapkan lebih aktif dan terbuka dalam mengakui hasil penelitian dari dalam dan luar negeri terhadap produk tembakau alternatif.
Apabila penelitian yang ada dinilai belum cukup untuk dijadikan landasan dalam penyusunan regulasi, pemerintah bisa mendorong kajian ilmiah dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan di industri produk tembakau alternatif.
"Jadi tidak cuma asal bicara produk ini sama dengan rokok sedangkan pemerintah sendiri tidak memiliki hasil penelitiannya,” katanya.
Johan memastikan AVI siap memberikan data-data yang dibutuhkan apabila pemerintah berencana untuk melakukan riset terhadap produk tembakau alternatif.
Sejak AVI dibentuk, Johan mengungkapkan pihaknya memiliki komitmen untuk mendukung seluruh pemangku kepentingan yang ingin melakukan kajian ilmiah atas produk-produk tersebut.
"AVI sadar, kami sangat membutuhkan riset ini,” tegas Johan.
Ketua Asosiasi Konsumen Vape Indonesia (Akvindo), Paido Siahaan menyampaikan pendapat yang sejalan, yakni tidak setuju apabila regulasi produk tembakau alternatif disetarakan dengan aturan rokok.
Menurut Paido, kebijakan itu bertolak belakang dengan semangat pemerintah dalam menurunkan prevalensi perokok di Indonesia. Dia khawatir prevalensi merokok akan semakin meningkat karena regulasi yang keliru tersebut.
“Ini lebih kepada keseriusan pemerintah dalam menurunkan jumlah perokok di Indonesia. Komunitas produk tembakau alternatif juga sudah lama menyuarakan agar pemerintah segera melakukan kajian ilmiah,” ungkapnya.
Paido meneruskan, kajian ilmiah diperlukan untuk menetralkan opini-opini keliru terhadap produk tembakau alternatif. Warga negara juga memiliki hak untuk mengetahui bahwa informasi yang menjadi dasar pembuatan kebijakan pemerintah merupakan informasi yang akurat, sebagaimana dijamin dalam peraturan.
“Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, hak warga negara dijamin negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik,” ujarnya.
Baca juga: CISDI: Kenaikan cukai rokok tambah penerimaan negara Rp7,92 triliun meningkat