Bahasa merupakan alat komunikasi yang amat penting dalam kehidupan manusia. Semua hal akan lancar jika bahasa diterima, dipahami dan dimengerti dengan baik. Sebaliknya, bahasa bisa mengacaukan, membahayakan dan mencelakakan bahkan bisa menceraiberaikan persatuan jika tidak dipahami dan diterima dengan baik.

Menurut cerita, pada awalnya dunia ini hanya memiliki satu bahasa, tapi kemudian Tuhan turun ke bumi dan mengacaukan bahasa orang-orang yang hendak membangun Menara Babel. Menara babel gagal dibangun karena antara pekerja yang satu dengan yang lainnya tidak saling memahami bahasa. 

Kisah kekacauan bahasa saat pembangunan Menara Babel, kini sepertinya terulang dan menerpa bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia kini terkesan tidak lagi satu bahasa. Di era yang hampir semuanya serba segera dan tanpa batas ini, setiap individu, kelompok dan golongan memiliki bahasa sendiri-sendiri, yang sulit dipahami dan dimengerti oleh orang lain. 

Komnas HAM misalnya memiliki bahasa sendiri untuk mendefinisikan pelanggaran HAM. Menurut Komnas HAM kalau aparat kepolisian, TNI dan aparat sipil menjadi korban tindak kekerasan, itu bukan pelanggaran HAM; tapi kalau rakyat jadi korbannya, itu namanya baru pelanggaran HAM. 

Kekacauan bahasa saat ini sering terjadi antara rakyat dan aparat penegak hukum. Ada rakyat yang tidak menghargai aparat, demikian pun sebaliknya, karena masing-masing memiliki bahasa sendiri-sendiri yang sulit dipahami. Keinginan rakyat di era reformasi ini sangat luar biasa besarnya. Sebagiannya terkomunikasi dengan baik. Namun sebagiannya sulit dimengerti. 
Ketidakmengertian ini terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke. Di Papua, bahasa keinginan diwujudkan dalam bentuk bendera bintang kejora; di Aceh bahasa keinginan disimbolkan dalam bendera bulan bintang; Maluku juga tak ketinggalan, mereka memiliki bendera RMS yang sewaktu-waktu dapat dikibarkan sebagai tanda tidak lagi satu bahasa dengan NKRI. 

Hampir semua sendi kehidupan manusia dikuasai dan diatur oleh bahasa. Di bidang agama misalnya ada yang disebut agama langit dan agama bumi. Yahudi, Kristen dan Islam disebut agama langit. Ternyata bahasa adalah sebuah sarana yang tidak netral. Pelarangan ibadah, penutupan dan penyegelan tempat ibadah, bahkan meningkat sampai pengusiran dan penghilangan nyawa banyak dialami umat Kristen, Ahmadyah dan Syiah, semuanya terjadi akibat ketidakmengertian bahasa. 

Bisakah bangsa Indonesia jika berbeda bahasa akan aman, kaya dan maju? Bisa saja, tapi kemungkinan bukan bangsa Indonesia lagi namanya. Kisah kejayaan Sriwijaya dan Majapahit tinggal jadi kenangan akibat tidak adanya satu bahasa. Entah apa yang ada di dalam pikiran orang-orang yang mempersoalkan bahasa. 

Mungkinkah mereka adalah orang-orang yang telah kehabisan bahasa? Para pakar dan pengamat pun ikut memperuncing kekacauan bahasa. Mereka memunculkan teori dan bahasa baru yang menuding bahwa liberalisme telah memunculkan ketimpangan yang melahirkan terorisme dan tindakan intoleransi. Bahasa para pakar dan pengamat aji mumpung ini hanya dipercaya oleh sebagian kecil orang, sebagian besar orang lebih percaya dengan bahasa baru yang mengatakan bahwa primordialisme dan agama bukan satu-satunya penyebab konflik, tapi masih ada hal lain, yaitu konstruksi sosial yang terbangun tidak kuat, karena dibangun dari sistem sosial ekonomi yang timpang. 

Benarkan demikian? Ternyata tidak! Bahasa lainnya mengatakan bahwa berbagai permasalahan yang muncul adalah akibat tidak tegaknya hukum. Bahkan di era reformasi ini, terkesan kekuatan pemerintah menegakan hukum “diminimalkan”, sedangkan kekuatan LSM dan masyarakat untuk “tidak taat pada hukum” semakin menguat. 

Impliksasinya, perbedaan bahasa antara rakyat dan pemerintah pada era reformasi ini kian tajam. Rakyat mengartikulasikan bahasa kepentingannya dalam bentuk keinginan dan kebutuhan yang cenderung bersifat hedonisme dan dipaksakan. Keinginan dan kebutuhan tidak logis kadang menjadi senjata bagi sebagian masyarakat untuk menekan pemerintah yang disertai ancaman,
“Pokoknya.”

Bila dicermati lebih mendalam, ternyata berbagai kasus yang muncul umumnya bukan karena kebutuhan, tapi akibat keinginan yang dipaksakan dan yang lainnya nampak mengada-ada (sound glib). Pengrusakan kantor pemerintah dan fasilitasnya, pembakaran rumah dan kendaraan, tawuran antarkampung dan perkelahian massal di arena hiburan dan di lapangan sepak bola, swiping oleh FPI di tempat hiburan yang seharusnya hanya bisa dilakukan oleh aparat kepolisian; semua itu bukan kebutuhan, tapi keinginan yang memicu bertumbuh suburnya kejahatan dan vandalisme di era reformasi ini; semuanya karena ketidaktaatan terhadap peraturan dan lemahnya penegakan hukum.
Ketidaktaatan dan rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap penegakan hukum mengakibatkan sebagian masyarakat melakukan peradilan jalanan (street justice) atau main hakim sendiri.

Pewarta : Oleh: Soleman Montori
Editor : Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024