Sangihe, (Antara Sulut) - "Sudah sekitar 28 tahun lebih saya pergi mengajar dengan berperahu sendiri," kata Dorkas Kaengke, warga Kampung Lapepahe Kecamatan Manganitu Selatan, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.

Dorkas Kaengke adalah seorang ibu guru di Sekolah Dasar (SD) Negeri Inpres Mahumu, Pulau Mahumu Kecamatan Tamako, Sangihe.

Dorkas Kaengke mengatakan, untuk pergi mengajar harus menggunakan perahu, sebagi jenis alat trasportasi satu-satunya menuju Mahumu.

Bepergian dengan "berpanggayong" atau mendayung sendiri telah dilakoninya selama 28 tahun lebih, sejak ditempatkan pemerintah di sekolah tersebut.     

Ketika lulus tes penerimaan guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) tahun 1984, langsung ditempatkan di SD Inpres Mahumu.

"Sejak penempatan tersebut sampat saat ini, tetap mengajar di tempat itu, tidak pernah berpindah sekolah," kata encik Dorkas tersebut.

Menurut dia, kendatipun harus melewati laut dan mendayung sendiri dari rumah menuju tempat mengajar, tetapi tetap merasa senang.

Sering dalam perjalanan menghadapi hujan, angin, badai ataupun ombak, namun tetap semangat pergi ke sekolah untuk melaksanakan tugas mengajar dalam memajukan pendidikan di wilayah perbatasan itu.

Baju basah akibat hujan, dan melawan badai serta angin dan ombak, tidak menjadi halangan baginya.      

Kerinduan dan tekadnya yang kuat untuk tetap mengajar di tempat tersebut adalah ingin melihat anak-anak pulau maju.

"Kerinduan saya supaya anak-anak di pulau itu sebagai penerus bangsa maju dalam pendidikan," kata Dorkas yang lahir pada 20 April 1958.

Kerinduan untuk memajukan anak-anak telah tertanam sejak masih belajar di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Tahuna, Sangihe.

Usai lulus tahun 1980, ilmu yang diperolehnya selama pendidikan langsung diterapkan kepada anak-anak  pulau.

"Sebelum diangkat sebagai guru PNS, setelah lulus SPG saya menjadi tenaga  honor mengajar di SD Yayasan Pendikan Kristen (YPK) Lawang, Pulau Mahumu," tutur Dorkas yang juga lulusan dari SD tersebut.

"Saya tamatan dari SD YPK tersebut, membuat saya terbeban untuk memajukan pendidikan di pulau itu," kata Dorkas.      

Selain itu, kata Dorkas, keinginannya yang kuat untuk tetap mengajar di SD Inpres Mahumu, juga didukung dengan semangat masyarakat atau orang tua di pulau itu.

Kendati pun, kehidupan orang tua anak-anak yang umumnya ekonomi lemah, tetapi memiliki kemauan, berusaha  serta tekad supaya anak-anak harus bersekolah dan  maju dalam pendidikan.

"Mereka ingin supaya anak-anak dapat terus belajar atau bersekolah untuk masa depan," katanya.  

Sehingga banyak bekas muridnya yang saat ini sudah berhasil, ada yang menjadi PNS, anggota TNI, Polri, perawat maupun lannya.

"Ada suatu kebanggaan tersendiri melihat anak-anak itu berhasil," kata Dorkas yang saat ini mengajar di kelas VI tersebut.        

Dalam mengajar juga, kata Dorkas, para murid dianggap sama seperti sebagai anak kandung sendiri.

Jika ada anak yang tidak ke sekolah, berusaha mencari tahu penyebabnya.

"Kalau ada anak tidak datang ke sekolah, saya datang ke rumah anak tersebut atau menyuruh teman-temannya mengunjungi di rumah untuk melihat kondisinya," kata ibu dua anak tersebut.        

Kerinduannya untuk anak-anak Mahumu berhasil diikuti pula dengan ketekunan guru Dorkas dalam mendidik para murid.

Apalagi dalam mempersiapkan anak-anak memasuki ujian. Dorkas harus  pulang jam 17.00 -18.00 Wita, karena memberikan tambahan belajar kepada para siswa  usai sekolah.

"Saat-saat seperti itu tidak pulang lagi ke rumah usai mengajar. Tetapi sudah menyiapkan bekal makanan untuk melanjutkan memberikan pelajaran tambahkan kepada murid," katanya.

Dorkas melanjutkan, masyarakat Mahumu dianggap sama seperti keluarga sendiri.

Warga juga di pulau itu sangat baik kepada dirinya.

"Saya akan tetap mengajar di pulau itu selama masih kuat mendayung  perahu," kata  Dorkas walaupun dia menyadari  usianya semakin tua.

Dia menambahkan, ketika  masih muda, waktu tempuh dari Lapepahe menuju Mahumu sekitar 15-20 menit.

"Namun saat ini waktu tempuh mencapai sekitar 25-30 menit," katanya sambil menambahkan maklum usia sudah semakin tua.

Dorkas juga tetap beryukur karena Tuhan terus memberikan kekuatan dalam melaksanakan pekerjaanya itu diusianya yang sudah melebihi setengah abad tersebut.       

"Bersyukur sampai saat ini Tuhan selalu berikan kekuatan, sehingga dapat melaksanakan aktivitas," kata Dorkas yang harus berangkat ke sekolah pukul 06.00 wita tersebut.

Memang, lanjut Dorkas, dirinya sudah pernah diminta  SD Negeri Lapehape way yang berjarak  sekitar 50 meter dari rumahnya,  untuk mengajar di sekolah  tersebut.

"Namun permintaan itu, saya jawab tunggu dulu, selagi masuh kuat mendayung saya tetap mengajar di SD Inpres Mahumu," tuturnya.

SD Inpres tersebut saat ini memiliki sekitar 56 murid dari kelas satu hingga kelas enam.

    
                                     Terdampar 
Selama menggunakan perahu  memiliki sema-sema atau cadik - bambu atau kayu yang dipasang di kiri kanan perahu berbentuk seperti sayap sebagai alat pengatur keseimbangan agar tidak mudah terbalik-, ada suatu pengalaman yang tidak terlupakan.

Peritiwa itu terjadi pada tahun 2009. Saat guru Dorkas akan ke sekolah, kondisi cuaca ketika itu kurang bersahabat.

Arus ombak begitu kuat, serta kabut menutupi laut tersebut.

Pada saat tersebut, perahu yang didayungnya terbawa arus hingga terdampar di Pulau Mahangsumange.

Kendatipun pulau tersebut jaraknya tidak terlalu jauh dengan Pulau Mahumu, namun hanya satu rumah berada di pulau itu.

Waktu terdampar, suasana pulau saat itu  gelap. Tidak ada orang yang ditemui dan tidak bisa meihat lingkungan sekitar akibat gelap.

"Pada saat itu saya hanya bisa menangis, merasa takut berada sendirian,"tutur Dorkas mengenang peristiwa itu.

Beberapa saat  kemudian, lanjut Dorkas, setelah cuaca baik dan sudah terang, melanjutkan perjalanan ke Mahumu untuk mengajar.

"Pengalaman pahit ini tak akan kulupakan seumur hidup," ujarnya.

Kekuatiran dengan kondisi cuaca buruk, juga dirasakan, Jarimus Malondo, suami dari encik Dorkas.

Jarimus yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan dan petani tersebut, kadangkala harus menyusul ke laut jika sudah saatnya pulang namun encik belum tiba di rumah.

"Kalau ombak besar dan istri belum pulang, saya menyusul ke laut untuk melihat kondisinya, atau di mana dia beradasa," kata Jarimus.

Menurut dia, kadangkala kalau kondisi cuaca tidak bersahabat harus mengantarkan istrinya ke sekolah.

Caranya, perahu yang ditumpangi istrinya, ditarik dengan tali menggunakan perahu memiliki mesin 15 PK yang dia gunakan untuk melaut.

"Setelah tiba di sekolah,  saya kembali ke rumah untuk melakukan aktivitas sehari-hari," katanya.

Dorkas  mengatakan, pemerintah memang menyiapkan rumah dinas guru di sekolah tersebut.

Tetapi lebih suka tinggal di Lapepahe bersama dengan keluarga.
"Ke pulau Mahumu dengan mendayung sudah menjadi kebiasaan," katanya.              

                                Sembilan perahu
Dorkas menuturkan selama 28 tahun lebih mengajar, sudah sekitar sembilan perahu bergantian yang digunakannya.

Perahu yang panjangnya sekitar tiga meter dan lebar tengah sekitar 50 centimeter itu, dipakainya dengan bertahan tidak terlalu lama.

"Jangka waktu perahu yang dipakai bervariasi. Ada yang dua tahun, ada yang lebih dari tiga tahun, kalau sudah rusak harus diganti," kata Dorkas.

Kendatipun demikian, lanjut Dorkas, tetap bersyukur sebab tidak pernah membeli perahu.

Jarimus suaminya, memiliki keahlian untuk membuat perahu tersebut.

Jika perahu yang dipakai sudah mulai rusak, suaminya akan  membuat pengganti perahu itu.

"Kalau mau beli harus keluarkan uang sekitar Rp1,5 juta per perahu, mau diambil dimana uangnya, bersyukur suami bisa membuatnya," kata Dorkas.

Dorkas mengatakan, perahu yang dibuat berukuran kecil, hanya khusus untuk satu orang.

"Jika perahu dibuat besar nanti tidak kuat mendayung," ujarnya.

Ditengah, pengabdiannya sebagai, "pahlawan tanpa jasa" di wilayah perbatasan,  Dorkas memiliki juga kerinduan yang besar.

Di usianya yang sudah sekitar 54 tahun itu, dirinya ingin dapat mencapai golongan IV A.

Golongan III D yang disandangnya sudah sejak tahun 2010, dan berharap dapat naik pangkat IV A.

"Berharap secepatnya mendapatkan kenaikan pangkat tersebut," katanya.         

Dorkas juga merindukan sebuah mesin motor  yang berukuran kecil tiga PK untuk membantunya dalam berperahu.

Kerinduan guru Dorkas  itu begitu kuat. Mungkinkah mimpi guru yang menciptakan "generasi emas" Indonesia di daerah perbatasan tercapai ?. @antarasulutcom. 


Pewarta : Jorie MR Darondo
Editor : Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024