Manado (ANTARA) - Pihak kejaksaan melihat adanya oknum aparatur desa yang diduga terlibat dalam proses jual beli tanah di atas kawasan hak pengelolaan lahan (HPL) milik Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat di Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara.
"Di situ (tanah HPL) saya lihat ada tanda tangan oleh pemerintah desa untuk jual beli," kata Kepala Kejati NTB Tomo Sitepu di Mataram, Jumat.
Dengan adanya bukti tersebut, Tomo menegaskan, indikasi penyalahgunaan kewenangan sebagai aparatur sipil negara semakin kuat.
"Pada pokoknya, mau dia jual beli, sewa menyewa, kalau melibatkan pemerintah daerah, kita akan naikkan," ucap dia menegaskan.
Menurut aturan hukumnya, lanjut Tomo, surat jual beli tanah yang terbit di atas lahan milik pemerintah tersebut tidak sah. Bahkan para pihak yang terlibat dalam penerbitannya bisa dipidanakan.
"Ya mana sah itu (surat jual beli tanah). Orang dia tahu itu tanah HPL, semestinya itu tidak boleh, apa pun namanya, karena mereka tahu itu tanah pemerintah daerah," ujarnya.
Pernyataan Tomo ini merupakan tindak lanjut dari adanya laporan masyarakat yang masuk ke Kejati NTB. Laporannya terkait dugaan pungutan liar (pungli) sewa menyewa dan jual beli tanah di atas lahan yang masih berstatus HPL milik Pemprov NTB. Luasan tanah tersebut mencapai 65 hektare.
"Jadi karena itu laporan masyarakat, kita lanjutkan," ucap dia.
Penguasaan lahan oleh masyarakat itu diduga muncul terhitung sejak dimulainya era reformasi di tahun 1998.
Pada tahun itu, PT Gili Trawangan Indah sebagai pihak investor mengantongi kesepakatan kontrak produksi dengan Pemprov NTB untuk pemanfaatan lahan seluas 65 hektare di salah satu kawasan wisata andalan NTB tersebut.
Namun, di atas lahan itu kini terdapat sejumlah bangunan permanen yang sebagian besar menjadi ladang bisnis masyarakat. Bahkan ada sejumlah warga negara asing yang turut menguasainya.
Munculnya penguasaan tersebut diduga akibat ulah dari segelintir orang yang sengaja mengambil manfaat sebagai keuntungan pribadi. Untuk status pemerintah sebagai pemilik aset, hanya mendapat keuntungan dari pajak hotel dan restoran.
"Penguasaan lahan oleh masyarakat itu sebenarnya masih oke saja, tetapi kalau mencari keuntungan dengan jual beli, dan itu benar oleh pemerintah, itu yang tidak boleh," kata Tomo.
"Di situ (tanah HPL) saya lihat ada tanda tangan oleh pemerintah desa untuk jual beli," kata Kepala Kejati NTB Tomo Sitepu di Mataram, Jumat.
Dengan adanya bukti tersebut, Tomo menegaskan, indikasi penyalahgunaan kewenangan sebagai aparatur sipil negara semakin kuat.
"Pada pokoknya, mau dia jual beli, sewa menyewa, kalau melibatkan pemerintah daerah, kita akan naikkan," ucap dia menegaskan.
Menurut aturan hukumnya, lanjut Tomo, surat jual beli tanah yang terbit di atas lahan milik pemerintah tersebut tidak sah. Bahkan para pihak yang terlibat dalam penerbitannya bisa dipidanakan.
"Ya mana sah itu (surat jual beli tanah). Orang dia tahu itu tanah HPL, semestinya itu tidak boleh, apa pun namanya, karena mereka tahu itu tanah pemerintah daerah," ujarnya.
Pernyataan Tomo ini merupakan tindak lanjut dari adanya laporan masyarakat yang masuk ke Kejati NTB. Laporannya terkait dugaan pungutan liar (pungli) sewa menyewa dan jual beli tanah di atas lahan yang masih berstatus HPL milik Pemprov NTB. Luasan tanah tersebut mencapai 65 hektare.
"Jadi karena itu laporan masyarakat, kita lanjutkan," ucap dia.
Penguasaan lahan oleh masyarakat itu diduga muncul terhitung sejak dimulainya era reformasi di tahun 1998.
Pada tahun itu, PT Gili Trawangan Indah sebagai pihak investor mengantongi kesepakatan kontrak produksi dengan Pemprov NTB untuk pemanfaatan lahan seluas 65 hektare di salah satu kawasan wisata andalan NTB tersebut.
Namun, di atas lahan itu kini terdapat sejumlah bangunan permanen yang sebagian besar menjadi ladang bisnis masyarakat. Bahkan ada sejumlah warga negara asing yang turut menguasainya.
Munculnya penguasaan tersebut diduga akibat ulah dari segelintir orang yang sengaja mengambil manfaat sebagai keuntungan pribadi. Untuk status pemerintah sebagai pemilik aset, hanya mendapat keuntungan dari pajak hotel dan restoran.
"Penguasaan lahan oleh masyarakat itu sebenarnya masih oke saja, tetapi kalau mencari keuntungan dengan jual beli, dan itu benar oleh pemerintah, itu yang tidak boleh," kata Tomo.