Manado (ANTARA) - Pada suatu siang di pertengahan Juni 2019, warga desa Batang Duku, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, dihebohkan penemuan satu koper berisi sekitar 14 kg sabu dan satu plastik berisi ribuan pil ekstasi. Narkoba senilai belasan miliar rupiah itu dibuang pelaku saat dikejar aparat guna menghilangkan barang bukti.
Narkoba tak bertuan itu akhirnya disita polisi setelah dilaporkan warga untuk pengembangan penyelidikan lebih lanjut.
Kejadian terbaru adalah saat Tim Direktorat Reserse Narkona Polda Riau menggagalkan penyelundupan 87 kg sabu oleh jaringan internasional pada pekan pertama Oktober ini. Sebanyak tujuh orang turut ditangkap dalam operasi itu.
Bisa dibayangkan, berapa puluh miliar uang yang dihasilkan jika sabu itu lolos dan beredar di masyarakat. Satu kilogram sabu sesuai informasi paling murah dihargai Rp1 miliar.
Beberapa hari sebelumnya, Polda Riau juga memusnahkan 189 kilogram sabu dan 889 butir pil ekstasi dari 22 pelaku yang merupakan anggota sindikat internasional.
"Polri tidak main-main untuk menangani peredaran narkoba. Dan kami bekerja sama dengan stake holder lainnya," ujar Kepala Polda Riau Irjen Pol Agung Setya Imam Effendi kepada wartawan di Pekanbaru, Senin (11/10).
Dari banyaknya pengungkapan kasus narkoba, sebagian besar sabu dan pil ekstasi itu masuk ke Riau melalui jalur laut, baik di perairan Dumai maupun perairan di wilayah Kabupaten Bengkalis dari Malaysia. Modusnya hampir sama, sabu itu dibungkus kemasan teh bertulisan aksara China.
Di wilayah perairan tersebut banyak terdapat pelabuhan ilegal atau biasa dikenal pelabuhan tikus yang sulit terpantau oleh petugas keamanan baik itu, TNI AL, petugas Bea Cukai, Kepolisan maupun anggota Badan Narkotika Nasional (BNN). Tapi aparat tahu, peredaran narkoba kerap terjadi di perairan itu.
Jika dicermati, ratusan kilogram narkoba yang berhasil diungkap pada tahun ini sebagian besar diselundupkan melalui Kabupaten Bengkalis atau Kota Dumai dari Malaysia. Selanjutnya barang haram itu tersebar ke berbagai wilayah di Pulau Sumatera hingga akhirnya menyebar ke seluruh penjuru Tanah Air.
Bisa dibayangkan sulitnya mencegah peredaran narkoba itu. Satu pelaku ditangkap, beberapa orang lainnya bisa saja melenggang dengan puluhan kilogram narkoba yang siap merusak otak masyarakat.
Oknum aparat
Di tengah seriusnya pemberantasan narkoba dan proses penegakan hukum, ternyata ada pihak-pihak yang sengaja memanfaatkan situasi. Parahnya, hal itu dilakukan oleh oknum aparat, yakni oknum anggota polisi dan oknum petugas lembaga pemasyarakatan yang ada di Provinsi Riau.
Pada Februari tahun ini, sebanyak 17 pegawai lingkungan LP di Riau dipecat karena terbukti terlibat kasus peredaran narkoba. Dari jumlah itu, enam orang di antaranya harus dikirim ke LP Nusakambangan karena dinilai berbahaya. Kalau ditempatkan di Lapas biasa, dikhawatirkan penyakitnya kambuh lagi untuk membantu pengendalian peredaran narkoba dari balik jeruji.
Kepala Kanwil Kemenkum HAM Riau, Ibnu Chuldun, saat itu menegaskan pihaknya perang melawan narkoba dari dalam LP. Itu tidak hanya slogan semata melainkan juga serius diimplementasikan demi terwujudnya pemasyarakatan yang maju.
"Tak hanya untuk narapidana, tindakan tegas juga telah diberikan kepada petugas Lapas yang terindikasi terlibat dengan narkoba," ucap dia kala itu.
Sementara dari Korps Bhayangkara, hampir selama satu tahun ini terdapat tiga oknum perwira Polda Riau yang nekat melibatkan diri dalam peredaran gelap narkoba maupun pengguna barang haram itu, bahkan satu di antaranya tewas saat ditangkap.
Oknum pertama adalah Komisaris Polisi Imam Zaidi yang ditangkap pada 23 Oktober 2020 di Pekanbaru. Operasi penangkapan perwira itu sempat viral di media sosial karena diwarnai aksi pengejaran oleh aparat yang sempat memuntahkan tembakan peringatan saat kondisi lalu lintas ramai.
Setelah dilumpuhkan, polisi menemukan 16 bungkus besar yang berisi sabu dalam dua tas ransel warna hitam dan cokelat. Polisi pun akhirnya menangkap polisi.
Selanjutnya ada Komisaris Polisi Zulkarnain Manurung (49), oknum polisi yang bertugas di Direktorat Binmas Polda Riau yang tewas meregang nyawa setelah ditangkap terkait peredaran ilegal sabu pada 13 Maret 2021. Tewasnya pelaku, sesuai laporan polisi, disebabkan oleh penyakit jantung.
"Ada riwayat, jantung," kata Juru Bicara Polda Riau, Komisaris Besar Polisi Sunarto.
Oknum terakhir adalah Komisaris Polisi Yuhanies Chaniago (53). Mantan kepala Satuan Narkoba Polresta Pekanbaru ini ditangkap tim Khusus Dit Narkoba Polda Riau, Polda Kepulauan Riau dan Polresta Pekanbaru, pada 2 April 2021 di Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau.
Penangkapan Chaniago bermula dari video viral yang memperlihatkan empat pria pesta narkoba di dalam mobil. Setelah ditelusuri, video viral itu ternyata terjadi di Jalan Bintara, Pekanbaru, hingga akhirnya pelaku ditangkap saat berada berada di Tanjung Pinang.
Dari sekian banyak oknum petugas, mungkin hanya segelintir yang apes ketahuan mengedarkan atau mengkonsumsi narkoba. Pembersihan dari dalam diri sendiri mutlak diperlukan sembari memberantas para anggota sindikat pengecer narkoba.
Butuh sinergi
Saat ini yang selalu menangkap penyelundup narkoba di perairan Dumai atau Bengkalis adalah petugas TNI AL, Bea Cukai, Badan Narkotika Nasional dan anggota Polri. Keempat aparat dari instansi berbeda itu beberapa kali menggagalkan penyelundupan narkoba ke Riau. Penggagalan dilakukan dengan bersinergi dan berkolaborasi antaraparat.
Namun dilihat dari gelar jumpa pers, terlihat beberapa kali dilakukan di tempat berbeda seperti di Markas Komando Pangkalan TNI AL Dumai, Polda Riau, BNN atau di Kantor Bea dan Cukai.
Berdasarkan informasi yang dirangkum, hal itu dilakukan sesuai pihak mana yang duluan mendapat informasi terkait upaya penyelundupan narkoba. Meski pada umumnya operasi dilakukan secara bersama-sama terutama menggandeng polisi, biasanya ada petugas yang mendapat informasi terlebih dahulu sehingga hal ini mempengaruhi lokasi panggung untuk menggelar jumpa pers.
Hal ini menimbulkan kesan aparat ingin unjuk gigi dengan keberhasilannya menggagalkan penyelundupan narkoba di Riau.
Selain itu, banyak operasi pemberantasan narkoba di Kabupaten Bengkalis atau di Dumai, langsung ditangani oleh aparat BNN pusat atau pasukan khusus dari Mabes Polri di Jakarta, meski di sini ada Kepolisian Resor setempat atau tim dari Polda Riau.
Hal ini seolah menjadikan Provinsi Riau menjadi daerah spesial dan melibatkan sindikat internasional dalam bisnis haram narkoba sehingga menarik "minat" aparat dari pusat untuk terjun langsung menanganinya. Semoga ini tidak menimbulkan kecurigaan bahwa aparat lokal di Riau dianggap kurang mampu menangani peredaran narkoba di wilayahnya sehingga memaksa tim dari pusat turun tangan.
Kasus yang mungkin masih hangat dalam ingatan adalah saat tim Badan Narkotika Nasional (BNN) menangkap Rapi Rahmat, oknum polisi berpangkat Brigadir yang bertugas di Polsek Rupat, Kabupaten Bengkalis, pada 18 Februari 2020. Saat itu petugas menyita 10 kilogram sabu serta 60 ribu butir ekstasi siap edar.
Apakah aparat lokal tidak mampu mengendus peredaran narkoba di wilayahnya sendiri? Bukti adanya oknum polisi yang terlibat mengedarkan narkoba itu seolah menunjukkan aparat lokal tidak mampu memerangi narkoba di rumahnya sendiri sehingga butuh petugas lainnya. Lagi-lagi, polisi tangkap polisi.
Sementara itu, kini pengedar narkoba telah melakukan perubahan operasi dari partai besar ke eceran sehingga lebih menuntut kejelian petugas untuk mengungkapnya.
"Dan kami akan rapatkan barisan dengan cara berkolaborasi. Karena itu, kerja sama semua pihak menjadi kunci dalam pemberantasan narkoba," kata dia.
Peredaran narkoba di Riau telah berlangsung lama selama puluhan tahun seiring bergantinya pimpinan tertinggi penegak hukum di Bumi Lancang Kuning seolah tidak ada perubahan berarti. Bahkan di Pekanbaru terdapat suatu daerah yang dikenal dengan Kampung Narkoba. Letaknya bersebelahan dengan instansi penegak hukum.
Tidak cuma butuh keberanian dan kolaborasi untuk memberantas peredaran narkoba di Riau ataupun daerah lainnya, akhlak juga dibutuhkan dalam hal ini.
Narkoba tak bertuan itu akhirnya disita polisi setelah dilaporkan warga untuk pengembangan penyelidikan lebih lanjut.
Kejadian terbaru adalah saat Tim Direktorat Reserse Narkona Polda Riau menggagalkan penyelundupan 87 kg sabu oleh jaringan internasional pada pekan pertama Oktober ini. Sebanyak tujuh orang turut ditangkap dalam operasi itu.
Bisa dibayangkan, berapa puluh miliar uang yang dihasilkan jika sabu itu lolos dan beredar di masyarakat. Satu kilogram sabu sesuai informasi paling murah dihargai Rp1 miliar.
Beberapa hari sebelumnya, Polda Riau juga memusnahkan 189 kilogram sabu dan 889 butir pil ekstasi dari 22 pelaku yang merupakan anggota sindikat internasional.
"Polri tidak main-main untuk menangani peredaran narkoba. Dan kami bekerja sama dengan stake holder lainnya," ujar Kepala Polda Riau Irjen Pol Agung Setya Imam Effendi kepada wartawan di Pekanbaru, Senin (11/10).
Dari banyaknya pengungkapan kasus narkoba, sebagian besar sabu dan pil ekstasi itu masuk ke Riau melalui jalur laut, baik di perairan Dumai maupun perairan di wilayah Kabupaten Bengkalis dari Malaysia. Modusnya hampir sama, sabu itu dibungkus kemasan teh bertulisan aksara China.
Di wilayah perairan tersebut banyak terdapat pelabuhan ilegal atau biasa dikenal pelabuhan tikus yang sulit terpantau oleh petugas keamanan baik itu, TNI AL, petugas Bea Cukai, Kepolisan maupun anggota Badan Narkotika Nasional (BNN). Tapi aparat tahu, peredaran narkoba kerap terjadi di perairan itu.
Jika dicermati, ratusan kilogram narkoba yang berhasil diungkap pada tahun ini sebagian besar diselundupkan melalui Kabupaten Bengkalis atau Kota Dumai dari Malaysia. Selanjutnya barang haram itu tersebar ke berbagai wilayah di Pulau Sumatera hingga akhirnya menyebar ke seluruh penjuru Tanah Air.
Bisa dibayangkan sulitnya mencegah peredaran narkoba itu. Satu pelaku ditangkap, beberapa orang lainnya bisa saja melenggang dengan puluhan kilogram narkoba yang siap merusak otak masyarakat.
Oknum aparat
Di tengah seriusnya pemberantasan narkoba dan proses penegakan hukum, ternyata ada pihak-pihak yang sengaja memanfaatkan situasi. Parahnya, hal itu dilakukan oleh oknum aparat, yakni oknum anggota polisi dan oknum petugas lembaga pemasyarakatan yang ada di Provinsi Riau.
Pada Februari tahun ini, sebanyak 17 pegawai lingkungan LP di Riau dipecat karena terbukti terlibat kasus peredaran narkoba. Dari jumlah itu, enam orang di antaranya harus dikirim ke LP Nusakambangan karena dinilai berbahaya. Kalau ditempatkan di Lapas biasa, dikhawatirkan penyakitnya kambuh lagi untuk membantu pengendalian peredaran narkoba dari balik jeruji.
Kepala Kanwil Kemenkum HAM Riau, Ibnu Chuldun, saat itu menegaskan pihaknya perang melawan narkoba dari dalam LP. Itu tidak hanya slogan semata melainkan juga serius diimplementasikan demi terwujudnya pemasyarakatan yang maju.
"Tak hanya untuk narapidana, tindakan tegas juga telah diberikan kepada petugas Lapas yang terindikasi terlibat dengan narkoba," ucap dia kala itu.
Sementara dari Korps Bhayangkara, hampir selama satu tahun ini terdapat tiga oknum perwira Polda Riau yang nekat melibatkan diri dalam peredaran gelap narkoba maupun pengguna barang haram itu, bahkan satu di antaranya tewas saat ditangkap.
Oknum pertama adalah Komisaris Polisi Imam Zaidi yang ditangkap pada 23 Oktober 2020 di Pekanbaru. Operasi penangkapan perwira itu sempat viral di media sosial karena diwarnai aksi pengejaran oleh aparat yang sempat memuntahkan tembakan peringatan saat kondisi lalu lintas ramai.
Setelah dilumpuhkan, polisi menemukan 16 bungkus besar yang berisi sabu dalam dua tas ransel warna hitam dan cokelat. Polisi pun akhirnya menangkap polisi.
Selanjutnya ada Komisaris Polisi Zulkarnain Manurung (49), oknum polisi yang bertugas di Direktorat Binmas Polda Riau yang tewas meregang nyawa setelah ditangkap terkait peredaran ilegal sabu pada 13 Maret 2021. Tewasnya pelaku, sesuai laporan polisi, disebabkan oleh penyakit jantung.
"Ada riwayat, jantung," kata Juru Bicara Polda Riau, Komisaris Besar Polisi Sunarto.
Oknum terakhir adalah Komisaris Polisi Yuhanies Chaniago (53). Mantan kepala Satuan Narkoba Polresta Pekanbaru ini ditangkap tim Khusus Dit Narkoba Polda Riau, Polda Kepulauan Riau dan Polresta Pekanbaru, pada 2 April 2021 di Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau.
Penangkapan Chaniago bermula dari video viral yang memperlihatkan empat pria pesta narkoba di dalam mobil. Setelah ditelusuri, video viral itu ternyata terjadi di Jalan Bintara, Pekanbaru, hingga akhirnya pelaku ditangkap saat berada berada di Tanjung Pinang.
Dari sekian banyak oknum petugas, mungkin hanya segelintir yang apes ketahuan mengedarkan atau mengkonsumsi narkoba. Pembersihan dari dalam diri sendiri mutlak diperlukan sembari memberantas para anggota sindikat pengecer narkoba.
Butuh sinergi
Saat ini yang selalu menangkap penyelundup narkoba di perairan Dumai atau Bengkalis adalah petugas TNI AL, Bea Cukai, Badan Narkotika Nasional dan anggota Polri. Keempat aparat dari instansi berbeda itu beberapa kali menggagalkan penyelundupan narkoba ke Riau. Penggagalan dilakukan dengan bersinergi dan berkolaborasi antaraparat.
Namun dilihat dari gelar jumpa pers, terlihat beberapa kali dilakukan di tempat berbeda seperti di Markas Komando Pangkalan TNI AL Dumai, Polda Riau, BNN atau di Kantor Bea dan Cukai.
Berdasarkan informasi yang dirangkum, hal itu dilakukan sesuai pihak mana yang duluan mendapat informasi terkait upaya penyelundupan narkoba. Meski pada umumnya operasi dilakukan secara bersama-sama terutama menggandeng polisi, biasanya ada petugas yang mendapat informasi terlebih dahulu sehingga hal ini mempengaruhi lokasi panggung untuk menggelar jumpa pers.
Hal ini menimbulkan kesan aparat ingin unjuk gigi dengan keberhasilannya menggagalkan penyelundupan narkoba di Riau.
Selain itu, banyak operasi pemberantasan narkoba di Kabupaten Bengkalis atau di Dumai, langsung ditangani oleh aparat BNN pusat atau pasukan khusus dari Mabes Polri di Jakarta, meski di sini ada Kepolisian Resor setempat atau tim dari Polda Riau.
Hal ini seolah menjadikan Provinsi Riau menjadi daerah spesial dan melibatkan sindikat internasional dalam bisnis haram narkoba sehingga menarik "minat" aparat dari pusat untuk terjun langsung menanganinya. Semoga ini tidak menimbulkan kecurigaan bahwa aparat lokal di Riau dianggap kurang mampu menangani peredaran narkoba di wilayahnya sehingga memaksa tim dari pusat turun tangan.
Kasus yang mungkin masih hangat dalam ingatan adalah saat tim Badan Narkotika Nasional (BNN) menangkap Rapi Rahmat, oknum polisi berpangkat Brigadir yang bertugas di Polsek Rupat, Kabupaten Bengkalis, pada 18 Februari 2020. Saat itu petugas menyita 10 kilogram sabu serta 60 ribu butir ekstasi siap edar.
Apakah aparat lokal tidak mampu mengendus peredaran narkoba di wilayahnya sendiri? Bukti adanya oknum polisi yang terlibat mengedarkan narkoba itu seolah menunjukkan aparat lokal tidak mampu memerangi narkoba di rumahnya sendiri sehingga butuh petugas lainnya. Lagi-lagi, polisi tangkap polisi.
Sementara itu, kini pengedar narkoba telah melakukan perubahan operasi dari partai besar ke eceran sehingga lebih menuntut kejelian petugas untuk mengungkapnya.
"Dan kami akan rapatkan barisan dengan cara berkolaborasi. Karena itu, kerja sama semua pihak menjadi kunci dalam pemberantasan narkoba," kata dia.
Peredaran narkoba di Riau telah berlangsung lama selama puluhan tahun seiring bergantinya pimpinan tertinggi penegak hukum di Bumi Lancang Kuning seolah tidak ada perubahan berarti. Bahkan di Pekanbaru terdapat suatu daerah yang dikenal dengan Kampung Narkoba. Letaknya bersebelahan dengan instansi penegak hukum.
Tidak cuma butuh keberanian dan kolaborasi untuk memberantas peredaran narkoba di Riau ataupun daerah lainnya, akhlak juga dibutuhkan dalam hal ini.