"Roda revolusi Indonesia tidak dapat berjalan tanpa wanita ...."
 
Mother’s Day  atau Hari Ibu adalah hari peringatan atau perayaan terhadap peran seorang ibu dalam keluarganya, baik untuk suami, anak-anak, maupun lingkungan sosialnya. Peringatan dan perayaan biasanya dilakukan dengan membebastugaskankan ibu dari tugas domestik yang sehari-hari dianggap merupakan kewajibannya, seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya. 

Di Amerika Serikat dan lebih dari 75 negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong, peringatan Mother’s Day jatuh pada hari Minggu kedua bulan Mei karena pada tanggal itu pada tahun 1870 aktivis sosial Julia Ward Howe mencanangkan pentingnya perempuan bersatu melawan perang saudara. 

Peringatan Mother’s Day di sebagian negara Eropa dan Timur Tengah, yang mendapat pengaruh dari kebiasaan memuja Dewi Rhea, istri Dewa Kronos, dan ibu para dewa dalam sejarah Yunani kuno. Maka, di negara-negara tersebut, peringatan Mother’s Day jatuh pada bulan Maret.

Di Indonesia, organisasi perempuan sendiri sudah ada sejak 1912, diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 seperti Maria Walanda Maramis, Martha Christina Tiahahu, Cut Nyak Dhien, Tjoet Nyak Meutia, R.A. Kartini, , Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, dan lain-lain. Namun penetapan tanggal 22 Desember sebagai perayaan Hari Ibu baru diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938  dan Presiden Soekarno menetapkannya secara resmi melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 dan dirayakan secara nasional hingga kini. 

Misi diperingatinya Hari Ibu pada awalnya lebih untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini. Dari situ pula tercermin semangat kaum perempuan dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja bersama. Dalam konteks ini, 22 Desember 2011 dapat dijadikan momentum memperjuangkan seorang wewene Minahasa menjadi Pahlawan Nasional. 
 
Johanna Tumbuan, Wewene (Perempuan) dari Amurang
Johanna Tumbuan (lahir 29 November 1910 di Amurang, Sulawesi Utara, meninggal 13 Mei 2006 di Jakarta), adalah seorang perempuan perintis kemerdekaan Indonesia. Sebagai aktivis menjelang kemerdekaan, Johanna banyak berjumpa dengan tokoh-tokoh lain, seperti Mohammad Yamin, Dr. Rusmali, Mr. Assaat, dll. Ia pun bertemu dengan Masdani, juga seorang tokoh pergerakan yang kemudian melamarnya untuk dijadikan istri. Masdani telah meninggal mendahuluinya pada Oktober 1967.

Johanna termasuk di antara 71 pemuda yang hadir dalam Kongres Pemuda Kedua, Oktober 1928 dalam usia masih 18 tahun Jo sudah turut serta mengikrarkan Sumpah Pemuda yang berlangsung di sebuah gedung yang terletak di Jalan Kramat Raya no. 106 Jakarta Pusat. 

Dalam "In Memoriam" Johnna Masdani (Kompas 14/5/2006), Rosihan Anwar menulis "Di gedung Kramat Raya 101 di kota Batavia tanggal 28 Oktober 1928 diucapkan Sumpah Pemuda: Berbangsa satu, Bertanah Air satu, Berbahasa satu, yaitu Indonesia  Highlightnya: Wage Rudolf Supratman, reporter harian Melayu-Tionghoa Sin Po yang menciptakan lagu Indonesia Raya, berdiri menggesek biola memperdengarkan komposisinya, mulanya tanpa lirik, disambut dengan tepuk tangan riuh oleh hadirin, kemudian dinyanyikan oleh seorang putri H Agus Salim, Dolly, diikuti oleh seorang gadis Manado bernama Johanna Tumbuan, berusia 18 tahun.

Inilah cerita yang saya dengar dari dokter Abu Hanifah yang pada waktu itu tinggal seasrama dengan Mr Amir Syarifuddin, yang juga pemain biola dan tergolong pemuda Angkatan ’28 yang berjuang untuk Indonesia Merdeka.

Rosihan melanjutkan, "Saya perlu mencatat pula, tatkala keadaan di Jakarta sangat tegang dan terdesak oleh aksi tentara NICA, maka diambil inisiatif membangun Tugu Proklamasi di halaman muka gedung Jalan Proklamasi Timur 56 sebagai persembahan para pejuang putra dan putri Indonesia. Pemimpin pelaksanaan "proyek" itu adalah Johanna Masdani.

Tugu kecil memang, sederhana saja, tapi besar artinya dalam perjuangan pada saat itu. Tugu itu diresmikan oleh PM Sutan Sjahrir. Malam harinya, putri-putri siswa sekolah menengah bersama Yos menyalakan lilin dekat tugu itu. Wahai, romantika!".

Perjuangan
Jo juga pernah menjadi guru di Perguruan Rakyat di Gang Kenari, Jakarta, saat bantuan dari orangtuanya di kampung halaman terhenti. Ia juga aktif dalam Palang Merah Indonesia, menjadi pembimbing Pandu Rakyat Indonesia, serta menjadi aktivis sosial Pemuda Puteri Indonesia. 

Dalam catatannya pada tahun 1945 hingga 1949, Jo pernah menulis, "Roda revolusi Indonesia tidak dapat berjalan tanpa wanita. Demi kemerdekaan sampai titik darah penghabisan Merdeka atau Mati, tanpa pamrih membela bangsa dan negara tanah air Indonesia tercinta."

Ia pernah putus sekolah karena orang tuanya di Amurang menghentikan pengiriman uang gara-gara fotonya pernah dimuat di sebuah majalah. Dalam foto tersebut, Jo tampil sebagai tokoh Chandra Kirana yang mengenakan busana Jawa dalam sebuah pertunjukan sandiwara dalam rangka penggalangan dana bagi korban letusan Gunung Merapi. Jiwa sosial Jo sudah tertanam sejak remaja.

Setelah menikah, dalam usia 40 tahun, sang suami menyuruh Jo  menyelesaikan sekolah di PAMS (Paedagogische Algemene Middlebare School) setingkat SGA. Kemudian, ia melanjutkan studi di Fakultas Psikologi UI hingga selesai (1961) dalam usia 51 tahun. Setelah suaminya meninggal dalam usia 59 tahun - 8 Oktober 1967 – Jo  mendapat tugas belajar psikoterapi dan konseling di AS, Belanda dan Inggris. "Saya dianjurkan belajar karena waktu itu mereka melihat saya semakin larut dalam kesedihan ditinggal suami tercinta," kenang Jo.

Selesai mendapat tugas belajar hingga usia senja, Jo  aktif memberikan psioterapi dan konseling, baik di RSCM maupun lewat praktik di rumahnya. Jo juga tercatat pernah mengajar di FKUI UKI, Jakarta Timur. "Saya ini sudah 87 tahun tetapi masih mengajar di UI (Universitas Indonesia) dan UKI (Universitas Kristen Indonesia)," kata Jo ketika ditemui Suara Karya di rumahnya sekitar April 1998. Namun beberapa tahun kemudian, papan nama "Dra Jo Masdani, Psikolog" sudah tidak terpampang lagi di depan paviliunnya.

Semangat pejuang Jo sejak remaja terbawa hingga di hari tuanya meski dalam kesendirian. Ketika muda, ia aktif membela bangsa dalam organisasi pemuda yang didukungnya. Setelah merdeka, selama 40 tahun lebih Jo tiada henti menolong orang-orang bermasalah, lewat praktik konsultasi keluarga yang dibukanya. 

Sebagai psikiater andal, di usia senja ia masih memberi terapi kepada remaja yang kecanduan narkotika, terlibat masalah pacaran, dan hamil di luar nikah. Ia juga biasa mengatasi anak-anak bandel dan malas yang kesulitan belajar.

Penghargaan
Hampir sama seperti suaminya, Jo banyak mendapat penghargaan dari Pemerintah Republik Indonesia.  Inilah rincian satya lencana dan medali yang dianugerahkan kepada beliau : (1) Bintang Mahaputra Utama tahun 1998 semasa Presiden BJ Habibie, (2) Bintang Gerilya tahun 1958 semasa Presiden Soekarno, (3) Satya Lencana Penegak tahun 1967 semasa Presiden Soeharto, (4) Satya Lencana Peristiwa Kemerdekaan I tahun 1958 dari Menteri Pertahanan Djuanda, (5) Satya Lencana Peristiwa Kemerdekaan II tahun 1958 dari Menteri Djuanda, (6) Satya Lencana Gerakan Operasi Militer I tahun 1958 dari Menteri Djuanda, (7) Satya Lencana Gerakan Operasi Militer II tahun 1958 dari Menteri Pertahanan Djuanda, (8) Medali Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia tahun 1954 dari Menhankam Ali Sastroamidjojo. 

Pahlawan Nasional
Wewene Minahasa memang telah memperesembahkan pendiri PIKAT dan pejuang hak pilih perempuan dalam keanggotaan Minahasa Raad (1921), Maria Joephine Catherine Walanda-Maramis (Kema, 1 Desember1872 – Maumbi, 22 April 1924),  yang dikukuhkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional  pada tanggal 20 Mei 1969. Dan kini tiba saatnya kita – terutama Wewene Minahasa – bahu membahu memperjuangkan Johanna Masdani-Tumbuan sebagai Pahlawan yang paling tidak setara dengan Maria Walanda-Maramis. Sekaligus lebih mengukuhkan eksistensi wewene Minahasa dalam sejarah  kemerdekaan Indonesia. 
* Anggota DPR RI, bahan dari berbagai sumber.


Pewarta : Paula Sinjal, SH.MSi. *
Editor : Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024