Kota Manado (ANTARA) - “Dalam dunia ilmu pengetahuan, tidak pernah ada referensi yang menjelaskan bahwa mitos-mitologi bisa dipertentangkan dengan logos, bahkan sains dan teknologi. Justru logos yang ‘menyempurnakan’ proses pemerolehan ilmu pengetahuan, bahwa ketika mitos-mitologi di jamannya,  tidak bisa lagi memberikan pertanggungjawaban atas realitas yang terjadi, maka logos hadir sebagai upaya untuk menjelaskan realitas”

Alasan penting mengapa kita perlu memperlajari sejarah filsafat barat kuno, karena pertama, gaya dan alam pikir yunani membantu kita memahami unsur yang menjadi fondasi bangunan bagi kultur modern, bahkan kultur atau budaya apapun di dunia, misalnya cara berpikir yang logis, berdasar prinsip logika, cara penalaran ilmuam dan keutamaan-keutamaan hidup. 
Kedua, bagi yang menekuni filsafat, filsafat yunani memuat dan merumuskan problem-problem filsafat yang sampai saat ini masih hangat didiskusikan, seprti keutamaan, kebenaran, juga tema-tema sejarah filsafat. Para filsuf, sekali untuk selamanya mengarahkan pemikiran filsafat selanjutnya sehignga filsafat sekarang masih tetapi bergumul dengan berbagai pertanyaan. Ketiga, filsafat juga membantu para peminat teologi, kitab suci, dll., lebih memahami pengandaian-pengandaian tertentu yang termuat didalamnya. Demikian juga teolog moral kristen sepakat bahwa etika dan spiritualitas Kristiani tidak bisa terlepas dengan ajaran-ajaran etika para pemikir Yunani, walaupun tidak dapat diidentikan begitu saja. (Tjahjadi 2004: 15-16). Alasan-alasan ini kiranya cukup untuk menegaskan bahwa sampai hari ini, filsafat penting, terutama untuk menjadi pijakan kita dalam mendalami berbagai ilmu pengetahuan juga karena filsafat adalah induk ilmu pengetahuan (‘philosophos’ est mater scientiarum). 

Dalam dunia realitas kini, sepertinya tampak adanya ketidakpahaman tentang fondasi dasar mengapa filsafat itu penting, dan bukan semata, upaya untuk ‘memaksakan’ logika modern ke dalam penasfsiran realitas, terutama realitas kebudayaan. 

Sebagaimana umum dikenal, dunia kebudayaan Yunani Kuno pada awal kemunculannya selalu membuka diri pada dunia luar, yang berimbas pada pergerakan-perubahan budaya di jaman itu. Kebudayaan Yunani Kuno yang konon didominasi oleh mitos-mitologi, akhirnya digeser oleh adanya logos (rasio), sebagai cara yang paling memadai untuk menjelaskan berbagai persoalan yang muncul dalam realitas. 

Tampak pula bahwa ada sebuah ketidakpahaman yang memadai pada maksud dan arti sesungguhnya mitos-mitologi, dan ketidaktahuan akan proses bergesernya itu ke logos, sebagai satu-satunya jalan bagi orang Yunani untuk menjelaskan realitas. Dari sini muncul pertanyaan sentral: Apakah benar mitos-mitologi [tidak] bisa digeser oleh logos (rasio-akal sehat)? Apakah mitos-mitologi itu bersifat kekal, sebagaimana yang telah dikenal umum oleh orang tertentu. 

Sekali-kali tidak! Mitos tidak akan kekal. Maka dari itu, dalam konteks berkebudayaan, apakah menggeser mitos-mitologi dengan logos, berarti menggeser cara berkebudayaan? Jelas tidak juga! Maka demi untuk mendudukan dengan jelas posisinya, kita harus mengerti konteksnya, karena jika konteks-nya jelas, salah tafsir atas sesuatu hal, kan terhindarkan. 

Di dalam kebudayaan Yunani Kuno, ada sebuah kepercayaan pada mitos-mitologi. Mitos atau mite berasal dari kata Yunani mythos yang berarti kata atau perkataan.  Sebagai suatu istilah teknis, mitos dapat dipakai untuk menyatakan apa yang tidak dapat hadir secara kelihatan. Maka mitos secara sederhana dapat dikatakan sebagai kisah atau cerita tentang asal usul dunia dan alam semesta dan manusia yang berasal dari para dewa. Atau kisah tentang pekerjaan dewa-dewa dalam kehidupan dunia manusia dan alam semesta. (https://www.ancient.eu/mythology/., bdk. Tim Filsafat Unika De La Salle Manado, Bahan Ajar MK.Pengantar Filsafat). 

Dari pengertian dasar ini, perlu pula dipahami karakteristik dari mitos itu seperti apa. Karakteristik mitos antara lain: Pertama, mitos selalu berbicara tentang para dewa dalam hubungannya dengan manusia dan dunia, dalam arti segala sesuatu terjadi dalam alam semesta berasal dari para dewa. Kedua, karena mitos memuat kisah suci tentang asal mula manusia dan alam semesta, maka mitos hanya dapat dibacakan atau diceritakan di tempat-tempat suci, misalnya di tempat ibadah atau kuil para dewa. Ketiga, mitos harus dikisahkan pada waktu-waktu khusus atau waktu-waktu suci, misalnya pada waktu ibadat atau pemujaan kepada para dewa. (ibid.) 

Selanjutnya, mitos perlu dibedakan dari mitologi. Mitologi berasal dari gabungan kata mythos dan logos yang secara harafiah berarti kata tentang perkataan atau kata-kata tentang apa yang tak kelihatan. Mitologi dimaksudkan sebagai penafsiran atau interpretasi mengenai mitos yang dijadikan doktrin atau ajaran resmi agama. Karakteristik mitologi adalah bahwa mitologi itu bisa berubah bila dipandang interpretasi tersebut tidak lagi relevan. Selain itu, jika mitos diterima begitu saja tanpa interpretasi, maka mitologi umumnya dapat diciptakan oleh mereka yang berkepentingan demi tujuan tertentu dan dapat diganti sesuai kehendak interpretator.

Dari sini jelaslah bahwa semua yang ikut serta dalam peristiwa mitis memperoleh keterangan tentang asal usul dan hakikatnya sebagai manusia dalam alam semesta. Dalam arti ini mitos memiliki fungsi epistemik dalam arti memberikan penjelasan atau pengetahuan tentang keadaan hakiki manusia dan alam semesta. Oleh karena itu keterangan-keterangan mitos dan mitologi cenderung diterima begitu saja atas dasar kepercayaan religius tanpa pengujian kritis rasional. 

Dari sini muncullah upaya untuk memahami bagaimana mitos-mitologi tidak lagi bisa menjawab prinsip dasar dari realitas? Maka karena demikian, muncullah para filsuf dari Miletos untuk, antara lain menjelaskan dunia dan gejala-gejala didalamnya tanpa bersandar pada mitos-mitologi. Mereka bersandar pada logos-rasio-akal budi. (Tjahjadi, ibid., hlm.17.). Dari sini, akhirnya mitos-mitologi ‘ditinggalkan’ karena proses pemerolehan pengetahuan terutama menyangkut prinsip dasar realitas, membutuhkan logos (rasio-akal budi). Dari fakta mendasar ini, hemat penulis, upaya untuk mempertanggungjawabkan sebuah pengetahuan, bukan tidak bisa tanpa rasio-akal budi, atau yang sering disebut ‘nalar modernitas’ (?). Pendekatan atas kebudayaan, perlu dilihat secara komprehensif dalam sebuah bingkai pemikiran yang luas. 

Dari uraian di atas, jelas bahwa kita tidak bisa hanya berpatokan pada ‘keagungan’ mitos-mitologi, juga pada kenyataannya bahwa mitos-mitologi tetap dipandang kurang lagi memadai dalam menjelaskan berbagai kondisi realitas. Namun bahwa hal itu bisa mendasari, selalu tidak bisa dielakkan. Dengan demikian, hemat penulis, ukuran kebenaran mutlak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, harus berpijak pada pijakan yang berdasarkan akal budi yang kritis rasional dan jernih. 

Dan bingkai tersebut berdasarkan pada: Pertama, berkembangnya peradaban kesadaran akan budi dan nurani yang semakin rendah hati untuk mengakui berlapisnya tingkatan ukuran kebenaran berdasar sudut pandang yang diukur. Dalam hal ini, bahasa menemukan perannya untuk mendefinisakan kebenaran lewat interpretasi dan penafsiran makna kebenaran. Kedua, berkembangnya kesadaran peradaban untuk semakin membuka ruang dalam mencari kesepakatan tentang kebenaran. Ukuran atas apa kebenaran itu merupakan hasil kesepakatan terus-menerus dalam dialog bebas dan terbuka dari masyarakat/subjek yang bersangkutan. (Medina & Wood, 2005: 179).  (Penulis : Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado- Pegiat Filsafat-Estetika)



 

Pewarta : Ambrosius M. Loho, M. Fil.
Editor : Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024