Manado,(AntaraSulut) - Gaya hidup atau life style merupakan salah satu cara bersikap yang dipakai oleh orang tertentu ketika ia mau tampil layak dan aktual di hadapan orang lain. Gaya hidup pun merupakan sesuatu yang wajib dalam kerangka untuk menunjukkan eksistensi, atau bahasa yang familiar di kalangan banyak orang, gaya hidup menunjukkan eksis-nya seseorang dalam berpenampilan, atau berperilaku karena itu menunjukkan seseorang itu maju atau tidak, ada perubahan atau tidak. 

Dengan kata lain, hal ini menjadi sesuatu yang lumrah dan menunjukkan bahwa seseorang itu mengikuti perkembangan zaman. Ungkapan yang cukup dikenal adalah waktu berubah dan kita berubah di dalam waktu, waktu berubah, zaman berubah, otomatis sikap, tindakan dan perilaku bahkan peradaban ikut serta berubah.

Harus di sadari, bahwa realitas dunia sekarang, menunjukkan betapa lajunya perkembangan dunia. Bahkan kalau bisa berkesimpulan, dunia yang dulu dirasa kurang berkembang, kurun waktu beberapa tahun terakhir justru sungguh nampak perkembangannya, bahkan berkembang sangat pesat. Bandingkan saat sekarang bahwa gadget, smartphone, tab, dll., hampir dipastikan setiap hari merilis model, tipe atau jenis yang baru. Demikian juga kendaraan bermotor, yang setiap tahun merilis yang baru. Selalu ada yang baru. Kita yakini atau tidak, fakta ini adalah imbas dari perubahan sosial. Bahwa dunia semakin hari semakin berkembang, dan perkembangannya menurut penilaian masyarakat adalah perkembangan yang maju/pesat.

Fokus tulisan ini menaruh perhatian pada gaya hidup, terutama gaya hidup yang dirasa cukup membawa masalah atau perdebatan panjang. Mengapa demikian membawa perdebatan? Karena gaya hidup enak dengan segala kemudahannya (serba instan) sudah menjadi kebiasaan yang makin lama makin mengakar. Sampai-sampai prestasi seorang anak sekolah misalnya, bisa mereka beli dengan uang. Jika tidak naik kelas, bisa saja pindah sekolah, dan di sekolah baru anak tersebut naik kelas (tentunya dengan imbalan sejumlah uang). Dengan fakta sederhana ini, tentu membuka kemudahan bagi anak, dan memupuk sikap anak yang terlalu memandang mudah dalam hal naik kelas tersebut, tapi sebaliknya juga sulit membangkitkan semangat belajar atau semangatnya berjuang. 

Mentalitas seperti itu, dengan mudah kita temui di kalangan masyarakat pada umunya. Kenyataan seperti ini, juga dipicu oleh tawaran kebudayaan populer yang menawarkan gaya hidup yang khas yang serba instan bahkan eksotis. Dalam berbagai aspek kehidupan, kita memang menganggap wajar saja cara-cara instan ini. Untuk tujuan jangka pendek mungkin bisa ditolerir, dalam arti bisa menjadi suatu kebutuhan yang terpenuhi namun apapun itu tetaplah tidak bertahan lama. Namun ketika mengabaikan tujuan jangka panjang di situ kita merasa bahwa memang tujuan utama tidak bisa terpenuhi yakni untuk tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Tanpa maksud mengkonfrontasikan, penulis terajak untuk memberi pemikiran yang kritis terhadap realitas saat ini, di mana merajalelanya konsumerisme, individualisme dan budaya acuh tak acuh, seakan mulai melunturkan nilai-nilai luhur budaya tou Minahasa. 

Seorang Antropolog Budaya Minahasa, dan dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng Manado, Paul Richard Renwarin, dalam kajiannya tentang tou Minahasa, menguraikan bahwa harmoni dan perseteruan/rivalitas adalah dua prinsip yang saling bertentangan yang dijumpai pada kebanyakan masyarakat Indonesia. Harmoni lazim dipertahankan sebagai suatu citra publik, tetapi bila ini terus menerus ditekankan, biasanya itu berarti di balik permukaan, perseturuan sedang mengancam dan membahayakan hidup komunal penduduk. (Paul Richard Renwarin 2007: 3). Fakta tersebut, misalnya menguraikan situasi persaingan tou Minahasa, tetapi bahwa ketika harmoni dalam komunal orang Minahasa ditekan terus menerus, itu berarti perseteruan sedang mengancam dan membahayakan. 

Budaya instan, gaya hidup, persaingan dan hal-hal keprihatinan lainnya, menjadi akar bagi tumbuh dan berkembangnya individualisme, konsumerisme dan gengsi dalam kehidupan. Bahwa yang mampu bergaya hidup mewah adalah orang yang dipandang eksis, yang mampu hidup dalam segala hal yang serba instan, atau juga dipandang orang yang maju dalam penampilan. Demikian situasi persaingan satu sama lain tak terhindarkan. Hemat penulis, gaya hidup dan budaya instan dan persaingan harus diolah dengan jeli sehingga situasi kerukunan yang sudah diwacanakan oleh para leluhur Minahasa bisa terwujud. 

Seorang budayawan dan Guru Besar Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Mudji Sutrisno mengatakan bahwa seharusnya gaya hidup, budaya instant, persaingan, dll., itu merupakan rentetan pengolahan sikap menghayati hidup dengan pertimbangan akal budi mengenai cocok tidaknya dengan bentuk fisik, peradaban, bahkan kultur budaya Minahasa; tingkat pendidikan, keadaan sosial masyarakat, serta cita-cita ke depan mengenai makna atau arti hidup misalnya sebagai orang Minahasa. Adapun sikap yang bisa digunakan dalam mengolah hal tersebut adalah, mempunyai pendirian terhadap perkembangan zaman, mampu menyesuaikan dengan zaman dengan tetap tidak meninggalkan nilai-nilai budaya dasar (budaya Minahasa). kemudian hal yang penting juga adalah sikap adaptasi yang berarti menyesuaikan terus dengan tawaran-tawaran ide dan citra modis, yang disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi dan kultural. Adaptasi merupakan sikap yang ada di antara seleksi dan imitasi. 

Maka dengan uraian ini, pertanyaan refleksinya adalah mengapa fakta pengaruh gaya hidup cukup signifikan dalam kehidupan orang Minahasa terjadi? Bukankah kesadaran manusia itu kritis dan mampu mengetahui serta menghimpun informasi menjadi pengetahuan? Kemudian pertanyaan yang lebih berkaitan dengan konteks budaya Minahasa, adalah mengapa kondisi kultur budaya Minahasa kuat dipengaruhi oleh budaya popular seperti uraian di atas, padahal prinsip manusia Minahasa adalah matuari? (matuari dimengerti sebagai suatu ideal untuk kolektivitas yang dimaklumkan secara publik, yang merujuk pada relasi kekerabatan, bukan dalam arti senioritas-junior, ataupula kaya miskin). Digunakan juga untuk menunjuk suatu kategori sosial yang membingkai relasi sebagai suatu kerangka similaritas, “kita sama, karena kita semua bersaudara” (Renwarin, 2007: 4-5).

Ketika pengetahuan dengan rasionalitas tidak digunakan untuk transformasi yang bertujuan untuk perkembangan peradaban bersama, maka di ruang bersama terjadi perang kepentingan. Karena itu, untuk menyelamatkan ruang bersama agar tetap seiring sejalan dalam arti tidap orang secara fair menghayati hidup bersama degnan menghormati harkat dan ruang-ruang pribadinya dalam pertemuan bersama dibutuhkan syarat utama, yakni dialog terbuka untuk membuka kepentingannya secara komunikatif. Dialog adalah jalan yang kurang lebih bisa mendamaikan konflik kepentingan individu. Penjelmaan dialog menunjukkan bergesernya komunikasi menjadi persekutuan. Peran orang lain yang membantu individu yang sedang berada dalam proses menjadi pribadi, terjadi di dalam komunitas. Demikian juga komunitas dibangun atas dasar perjumpaan timbal balik. Dengan demikian, tempat yang paling real bagi aktulisasi diri manusia yakni terdapat dalam komunitas yang selalu terbuka pada dialog.

Marilah kita membebaskan diri dari keterikatan pada kepentingan terutama dalam hal gaya hidup, budaya instant dan individualisme-konsumerisme yang sempit atau juga membebaskan diri dari keterikatan berlebihan pada globalisasi yang salah arah, yang dengan mudah berpuas hati, dengan melakukan tindakan-tindakan yang tidak meninggalkan nilai tradisi dengan setia, agar kita menjadi manusia yang bebas dan berkepribadian Tou Minahasa.**( Penulis Mahasiswa Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta Anggotta Tim Filsafat Unika De La Salle Manado)

Pewarta : Ambrosius Markus Loho
Editor : Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024