Manado, (AntaraSulut) - Tulisan ini berawal dari perbincangan penulis dalam media sosial, berdasarkan tulisan penulis di www.antarasulut.com 13 Oktober 2015 tentang Kembali ke Nilai Tradisional: Upaya Mencari Filosofi Minahasa. Namun dalam tulisan ini, penulis tidak memaksudkan untuk memutlakan interpretasi penulis. Selebihnya tulisan ini merupakan pertimbangan pemikiran dan bisa juga menjadi bahan refleksi bersama, dalam rangka menafsirkan salah satu petuah yang cukup terkenal di Bumi Nyiur Melambai. Adapun pertanyaan sentral yang mendorong penulis melanjutkan refleksi dalam tulisan ini adalah demikian, bagaimana jati diri orang Minahasa (tou Minahasa) yang sebenarnya?
Jati diri setiap manusia tentu menjadi sebuah pencarian yang tak pernah berhenti. Jati diri pada satu sisi menjadi penting, karena sikap seseorang mampu ‘mewakili’ jati diri orang itu juga. Di sisi lain, jati diri terkadang menjadi bermasalah ketika mudah dipengaruhi oleh arus globalisasi yang diyakini sering menggerus nilai-nilai asli jati diri manusia itu. Ada tendensi individu yang tidak begitu peduli dengan jati diri, karena jati diri yang mengikuti arus global, adalah jati diri yang paling baik. Jati diri asli adalah jati diri yang mampu menyesuaikan dengan kondisi arus global, terlepas, arus itu positif atau tidak. 

Namun, berbanding terbalik dengan fakta tersebut, penulis sangat yakin bahwa jati diri sangat penting, dan jati diri yang baik adalah jati diri yang fleksibel dengan arus globalisasi, tapi juga tidak pernah meninggalkan nilai-nilai tradisi nenek moyangnya. Dan lagi, jati diri adalah sesuatu yang penting bukan hanya untuk individu tetapi juga bagi penting untuk budaya dan perkembangan peradaban. Ketertanaman pada budaya dapat menjadi landasan bagi pengembangan jati diri. Atas dasar ini penulis coba membaca jati diri dalam konteks Si Tou Timou Tumou Tou. 

Membaca dan Menafsir Si Tou Timou Tumou Tou

Seorang antropolog, Clifford Geertz, mengatakan bahwa hermeneutika atau penafsiran, menjadi wilayah yang memberi perhatian khusus pada persoalan makna dan memberi perhatian juga pada hal saling memahami. Geertz memandang bahwa kebudayaan sebagai sesuatu yang melingkupi seluruh hidup dan bahkan merasuki seluruh kehidupan manusia. “Kebudayaan sekaligus dangkal tapi juga mendalam, dan kabur sekaligus jelas,” demikian kata Geertz. (Sudarminta 2014).

Konsep kebudayaan yang dikemukakan oleh Geertz memang sebuah konsep yang baru. Seperti dalam bukunya The Interpretation of Culture, ia menawarkan konsep kebudayaan yang sifatnya interpretatif (atau bisa diinterpretasi), di mana kebudayaan dilihat sebagai suatu teks yang perlu diinterpretasikan maknanya, dan kebudayaan itu sebetulnya bukan semata-mata suatu pola perilaku yang sifatnya kongkrit. (Geertz 1973: 27). Dalam memahami kebudayaan, ia melihat kebudayaan sebagai teks, sehingga perlu dilakukan penafsiran untuk menangkap makna yang terkandung dalam kebudayaan tersebut. Kebudayaan dilihat sebagai jaringan makna yang dalam penafsirannya perlu dilakukan suatu proses pendeskripsian yang sifatnya mendalam. (Sudarminta 2014).

Berbanding lurus dengan kajian Geertz tentang penafsiran atas kebudayaan, dalam salah satu tulisannya, DR. Richard Siwu menegaskan bahwa kebudayaan Minahasa, sama seperti kebudayaan-kebudayaan etnis lainnya, adalah kebudayaan masyarakat yang ciri-cirinya terungkap lewat kebiasaan-kebiasaan yang tidak tertulis, di mana kebiasaan-kebiasan tersebut diwariskan secara turun-temurun. Dan kebiasaan-kebiasaan yang tidak tertulis ini, merupakan juga ‘model’ dalam pencarian jati diri tou Minahasa. 

Hemat penulis, konsep jati diri manusia Minahasa tidak bisa lepas dari petuah DR. Sam Ratulangi, Si Tou Timou Tumou Tou (manusia hidup untuk menghidupkan orang lain). Salah satu contoh yang cukup dikenal oleh tou Minahasa adalah Si Tou Timou Tumou Tou, seperti sudah digambarkan secara singkat dalam bagian pengantar. Adapun petuah ini sudah membudaya dalam diri setiap tou Minahasa. Hal itu juga sudah dibudayakan hampir dalam seluruh kehidupan tou Minahasa, karena diyakini petuah itu harus ditafsirkan karena bermakna dan maknanya lebih dalam, melebihi arti kata itu.

Menurut tafsiran penulis, Si Tou Timou Tumou Tou, adalah sebuah petuah yang menegaskan kepada kita bahwa manusia itu hidup, untuk menghidupkan orang lain. Pendapat ini tentu mengandung multitafsir, karena manusia hidup untuk memberi kehidupan kepada orang lain, bukan hal yang mudah. Memberi kehidupan sebatas kata atau nasihat tentu mudah, namun dalam fakta yang terjadi, (kondisi real setempat), sering terjadi banyaknya dekadensi (penurunan) nilai-nilai kebaikan dalam hidup masyarakat. 

Hemat penulis, makna Si Tou Timou Tumou Tou, mengandaikan bahkan mewajibkan beberapa hal yang bisa jadi acuan dalam kehidupan seorang tou Minahasa. Demikian juga, acuan tersebut merupakan petunjuk-petunjuk moral etik yang diyakini merupakan petuah para leluhur. Hal-hal pokok tersebut yakni: Pertama, sikap terhadap sesama. Setiap kata dan ungkapan sederhana dalam kehidupan sehari-hari sering kali kurang disadari lagi sebagai suatu tindakan yang baik. Misalnya, ungkapan masigi-sigian (saling menghormati), masawa-sawangan (saling membantu), maleo-leosan (hidup baik), dst. Namun, substansi ungkapan-unkapan ini tidak hanya dipahami secara harafiah, melainkan dalam rangka orientasi nilai dan makna yang hendak menjelaskan wawasan dan sikap kultural-religius tou Minahasa, yang berkaitan dengan hubungan antar sesama manusia. (Siwu 2000). Di sisi lain, cara pandang dan cara bertindak seperti ini serta merta menjelaskan prinsip moral-etis tou Minahasa terhadap sesama, yakni saling menghormati dan mengasihi. Sehingga dengan demikian, nilai moral-etis yang terkandung dalam petuah Sam Ratulangi tentu dengan benar akan dimaknai.

Kedua, kesadaran akan arti penting kebersamaan. Dalam kebudayaan Minahasa nilai-nilai kebersamaan sangat penting, bahkan menjadi tolok ukur kehidupan sosial. (bandingkan juga dalam praktek musik trasdisional kolintang, kebersamaan sangat dibutuhkan untuk memainkan musik yang baik, indah dan benar). Kebersamaan yang dimaksud, antara lain nampak lewat berbagai peristiwa di sekitar kehidupan tou Minahasa, misalnya: Kedukaan, pesta nikah, dll. Pada prakteknya semua tindakan dalam peristiwa-peristiwa ini tidak semata rutinitas, melainkan mengungkap nilai-nlai etis-religius. Persekutuan yang terjadi dalam peristiwa-peristiwa ini adalah ungkapan rasa kebersamaan dan kesamaan. Kesadaran akan kebersamaan dan kesamaan itu juga diyakini merupakan salah satu makna Si Tou Timou Tumou Tou.

Keempat, mapalus. Masyarakat asli Minahasa memiliki etos kerja yang diinstitusionalisasikan lewat pranata mapalus. Praktek gotong-royong ini, mengungkap semangat dan praktek saling tolong menolong dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Namun, pranata mapalus di Minahasa berakar pada budaya pertanian di desa-desa, walaupun gotong royong menjadi bagian hakiki dari mapalus. Dalam kaitan dengan kebiasaan dan tradisi di desa-desa di Minahasa, gotong royong ini (= mapalus) berlangsung secara sukarela tanpa terorganisir. Jadi, dari sudut pandang etika sosial-kultural, mapalus merupakan institusionalisasi semangat kebersamaan. Hal ini dapat dianggap sebagai wawasan tentang sistem kerja, dan karenanya, dapat dipahami sebagai etos kerja tou Minahasa. (Siwu 2000).

Penulis yakin, sekian banyak tafsiran bisa saja dilakukan oleh setiap pemikir, pemerhati, budayawan bahkan tou Minahasa sendiri. Namun membahas topik tentang nilai-nilai budaya Minahasa jelas dimaksudkan dalam rangka mengangkat dan menumbuhkan kembali nilai-nilai luhur tou Minahasa untuk dijadikan kerangka kehidupan masyarakat, ketika menghadapi arus globalisasi yang terkadang ‘meminggirkan’ identitas dan jati diri asli tou Minahasa. Dari uraian di atas, jelas tergambar betapa nilai-nilai budaya tou Minahasa itu sifatnya sangat teologis dan karena itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai positif manapun. Karena itu, upaya untuk memahami dan mengkaji nilai-nilai moral tou Minahasa yang dituangkan dalam beberapa pokok pikiran ini, kiranya dapat memberi sumbangan bagi usaha berteologi (konteksual) khususnya di Minahasa.

Meminjam pendapat DR. Richard Siwu, sesuai dengan istilahnya, Si Tou Tinou Tumou Tou artinya ”manusia terlahir untuk menghidupi orang lain”, maka konsep moral-etis dalam kebudayaan Minahasa adalah dalam rangka solidaritas kemanusiaan, kebersamaan dan kesetiakawanan. Manusia hidup untuk saling menghidupi satu dengan yang lain, bukan ntuk saling ‘menelan’ satu dengan yang lain.(Penulis :Mahasiswa Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara JakartaAnggota Tim Filsafat Unika De La Salle Manado


Pewarta : Ambrosius Loho
Editor :
Copyright © ANTARA 2024