Manado, (AntaraSulut) - Kalau berbicara tentang konstelasi politik di Indonesia saat ini, penulis akan menyebut satu realitas politik: politik egologi. Ego menjadi logos (bahasa) kepentingan diri dan kelompok. Politik tidak lagi bertujuan demi kepentingan rakyat, tetapi ajang pertaruhan, perbincangan, ataupun perjuangan kepentingan diri. Imbasnya, regulasi UU, korupsi, dan penegakkan hukum belum merefleksikan kepentingan rakyat. Tarian kebijakan politik dan hukum berseberangan dengan aspirasi rakyat. Akibatnya, demokrasi kita sedang menempatkan rakyat hanya sebagai voters (penymbang suara); rakyat belum diperlakukan sebagai demos (pemegang kedaulatan negeri ini). Jika politik egologi ini tidak dapat dicegah, maka kontestasi pemilihan kepala daerah (PILKADA) secara serentak semakin mengafirmasi politik jenis ini. 
Beberapa Solusi
Dengan  menyimak politik egologi ini, penulis menganjurkan beberapa hal, pertama, perlunya suksesi kepemimpinan tingkat lokal dan nasional secara demokratis untuk mendapatkan ‘pemimpin dan birokrat berhati rakyat.’Tuntutan suksesi itu menyiratkan urgensi rebirokratisasi. Rakyat hendaknya memiliki pendidikan politik mumpuni untuk mengenali kandidat pemimpin yang berkarakter demokratis dan pro rakyat. Politik pencitraan sebaiknya diabaikan dengan mempertimbangkan kualitas historis kandidat. Partisipasi politik aktif akan menghadirkan pemimpin yang tanggap, tangguh dan ulet demi perjuangan kesejahteraan rakyat. Selanjutnya, pemimpin tersebut akan mendorong demokratisasi dan rebirokratisasi sesuai amanat Pancasila dan UUD 1945. 
Dalam konteks PILKADA, rakyat perlu menemukan ideal pemimpin yang menjadi motor perubahan dalam masyarakat. Ideal pemimpin demikian mengantar pada model kepemimpinan transformasional: pemimpin pembaruan berhaluan demokratis melalui keteladanan berpolitik yang mumpuni. Pemimpin sejati tidak pernah mengkultuskan diri lewat ‘proyek’ depolitisasi dan marginalisasi rakyat. Pemimpin berjiwa visioner dan peka terhadap permasalahan masyarakat. Ia harus percaya akan apa yang dikatakan dan dengan realistis mengatakan apa yang rakyat percayai dan temui. Namun, seorang pemimpin tidak dapat berhenti pada retorika semantik, tetapi mewujudkannya pada pemerintahan yang pro kepentingan publik, sesuai asas kebenaran dan keadilan. 

Selanjutnya, seorang pemimpin transformasional perlu memiliki kemampuan berimajinasi (imaginative capacity), kemampuan membayangkan sesuatu yang harus dikejar bersama (ability to visualize purposes) dan kemampuan  untuk menghadirkan gebrakan  baru dalam kebijaksanaan politiknya (ability to generate values at work). Namun, semua itu mesti berjalan dalam kerangka kesejahteraan rakyat sebagai proritas utama.  
Kedua,urgensi kontrol terhadap setiap kebijakan pemerintah. Sejarah telah menunjukkan bahwa implementasi politik massa mengambang Soeharto telah mengesampingkan aspirasi rakyat. Pembatasan partisipasi politik telah menghadirkan sebuah ‘negara kuat’ yang tak terkontrol. Suara–suara kritis terhadap kebijakan pemerintah bak angin lalu belaka. Belajar dari pengamputasian itu, maka pendidikan berpolitik dan berdemokrasi perlu diberikan kepada rakyat Indonesia. Rakyat perlu menampilkan diri sebagai oposisi yang kuat dengan memberikan evaluasi dan solusi kepada setiap kebijakan pemerintah. Sebab itu, partisipasi politik rakyat menguat seiring penggencaran epistemologi prosedur demokrasi yang bermuara pada pembentukan warga negara Indonesia sebagai ‘masyarakat komunikatif.’ 
Masyarakat komunikatif adalah ideal masyarakat demokratis yang menghargai diskursus tanpa represi untuk mencapai konsensus bersama. Dalam masyarakat inilah, rakyat bebas mengekspresikan hak–hak berpolitik sebagai subjek otonom. Kedaulatan negara bersumber dari, oleh dan untuk rakyat sehingga prosedur demokrasi akhirnya dapat ditegakkan. Dalam situasi ini, rakyat bebas mengontrol segala kebijakan pemerintah agar tidak keluar dari rel Pancasila dan UUD 1945. Partisipasi rakyat ini mutlak perlu karena seturut Lord Acton,  â€˜kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut sudah pasti korup’ (power tends to corrupt, absolut power corrupts absolutely). Kontrol rakyat yang efektif akan menciptakan negara Indonesia yang akuntabel dan transparan. 

Ketiga, meningkatkan semangat patriotisme dan nasionalisme. Pelbagai sentimen primodialisme menunjuk pada kerapuhan solidaritas politik rakyat Indonesia. Keanekaragaman kultural, aspirasi dan dan sosial justru menjadi lahan subur bagi terbentuknya primordialisme dan sektarianisme.Padahal, solidaritas nasional sangat dibutuhkan untuk melawan deformasi politik yang kerap terjadi demi pemulusan tujuan politik egologi. Perjuangan menyelesaikan tantangan-tantangan kebangsaan tidak pernah terwujud dalam tataran monolog kolektif nasional. Artinya, perjuangan terjadi secara parsial tidak dapat menyelesaikan tantangan-tantangan kebangsaan. 
Dalam pemikiran filosof kenamaan Jerman, Juergen Habermas, solidaritas politis itu harus dibangkitkan kembali lewat penggalian solidaritas pra–politis dari perigi–perigi SARA di Indonesia yang beraneka ragam. Kelak, solidaritas pra–politis itu akan diterjemahkan menjadi solidaritas politik untuk memperbaiki solidaritas nasional. Sebab itu, sikap inklusif–pluralis hendaknya ditanamkan dalam sanubari rakyat. Sikap ini menghadirkan wawasan kebangsaan yang inklusif sehingga dapat membingkai kebhinekaan dan memotori pembangunan bangsa ke arah yang lebih baik. 
Untuk itu, wawasan kebangsaan hendaknya menyadarkan rakyat bahwa asas persatuan dan kesatuan tidak terjadi secara sendirinya. Asas itu bersifat etis yakni lahir dari fakta historis rakyat Indonesia ketika melawan kolonialisme penjajah. Kesatuan etis itu akan membangkitkan ingatan sejarah tentang perjuangan merebut kemerdekaan. 

Keempat,keharusan reformasi ekonomi melalui penegakan mekanisme demokrasi.Ada korelasi erat antara reformasi politik dan perbaikan kehidupan ekonomi. Berkaitan dengan korelasi itu, Prof. Amartya Sen, pemenang hadiah Nobel untuk ilmu ekonomi 1998 mengeluarkan sebuah tesis genial yang sampai saat ini masih terus dibelanya yakni; kelaparan di berbagai tempat di dunia ini terjadi bukan karena kekurangan makanan, melainkan karena kekurangan mekanisme demokrasi. Prosedur demokratis ternyata turut menentukan kehidupan ekonomi rakyat. Demokrasi dan ekonomi kemasyarakatan memiliki hubungan yang asimetris terbalik. Semakin sehat dan tinggi tatanan demokrasi sebuah pemerintahan, maka semakin rendah pula keterhimpitan ekonomi masyarakatnya. Demikian sebaliknya. Semakin keluarnya pemerintahan dari rel demokrasi yang sehat semakin parah pula kemiskinan dalam masyarakat. Ada semacam korelasi adiktif dan mutualis antara demokrasi dan persoalan ekonomi dalam tatanan pemerintahan yang demokratis. 
 
Selanjutnya, pemerintahan yang demokratis selalu berusaha untuk memperjuangkan kesejahteraan masyarakatnya. Perjuangan ini selalu didasari oleh keterbukaan, keteguhan hati, dan diskursus tanpa represi untuk mencari jalan keluar bersama. Di sini, pemerintah berada di atas untuk mengayomi dan melindungi warganya, berada di samping untuk berjalan bersama rakyat supaya dapat merasakan jeritan mereka, serta akhirnya ‘harus rela’ berada di bawah untuk  mengambil jarak; ia harus dikritik dan mengkritik untuk terus berusaha menjadi lebih baik. Di sini, kritik–kritik kritis tidak ditanggapi dengan membuat apologia (pembelaan diri) tetapi sebagai wahana otokritik yang selalu berujung pada terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Pemerintah ataupun pemimpin harus selalu diuji dalam tanur api. 

Keberhasilan kehidupan ekonomi rakyat itu secara otomatis akan membangkitkan semangat untuk berpolitik secara demokratis. Politik berjalan efektif dalam perut yang kenyang. Kekenyangan ekonomi diikuti kekenyangan demokrasi. Sebab itu, penemuan ideal demokrasi seharusnya memperhatikan perimbangan antara reformasi politik dan reformasi ekonomi. Keduanya harus sejalan. Sejarah politik Indonesia telah membuktikan bahwa aksentuasi berlebihan pada salah satunya akan menghadirkan kegagalan dalam pemerintahan. Mari kita berjuang untuk mematahkan politik egologi.(Redem Kono
Mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara,  Ketua Divisi Akademi PELITA Jakarta)


Pewarta : Redem Kono
Editor : Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024