Manado (ANTARA) - Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kabupaten Sitaro, Henrolds Tatengkeng, menyoroti peran kepala desa (Kades) yang harus tetap netral selama tahapan kampanye dalam Pilkada.
Salah satu bentuk ketidaknetralan yang sering ditemui adalah ketika kepala desa memfasilitasi atau mengkoordinir masyarakat untuk menghadiri kegiatan kampanye.
Henrolds menjelaskan bahwa ketidaknetralan ini berpotensi melanggar aturan pemilu yang sudah jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan.
"Larangan bagi perangkat desa untuk terlibat dalam kampanye dimaksudkan untuk menjaga independensi mereka. Melanggar ketentuan ini dapat berujung pada sanksi pidana dan denda yang berat," ujar Henrolds.
Dalam hal ini, masyarakat diimbau untuk melaporkan jika menemukan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh kepala desa.
Henrolds mengingatkan, hal ini diatur dalam pasal 70 angka (1) huruf c yang melarang pasangan calon melibatkan kepala desa dan perangkat desa dalam kegiatan kampanye, yakni dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Selain itu, Pasal 71 ayat 1 juga melarang kepala desa untuk membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. Hal ini diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Desa, tepatnya pasal 188, yang menetapkan ancaman pidana satu hingga enam bulan penjara atau denda mulai dari Rp600 ribu hingga Rp6 juta bagi yang melanggar.
"Netralitas kepala desa dan perangkat desa adalah kunci untuk memastikan pemilu yang adil dan bebas dari intervensi kepentingan tertentu. Bawaslu akan menindak tegas laporan yang terbukti memiliki unsur pelanggaran,” tegas Henrolds.
Salah satu bentuk ketidaknetralan yang sering ditemui adalah ketika kepala desa memfasilitasi atau mengkoordinir masyarakat untuk menghadiri kegiatan kampanye.
Henrolds menjelaskan bahwa ketidaknetralan ini berpotensi melanggar aturan pemilu yang sudah jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan.
"Larangan bagi perangkat desa untuk terlibat dalam kampanye dimaksudkan untuk menjaga independensi mereka. Melanggar ketentuan ini dapat berujung pada sanksi pidana dan denda yang berat," ujar Henrolds.
Dalam hal ini, masyarakat diimbau untuk melaporkan jika menemukan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh kepala desa.
Henrolds mengingatkan, hal ini diatur dalam pasal 70 angka (1) huruf c yang melarang pasangan calon melibatkan kepala desa dan perangkat desa dalam kegiatan kampanye, yakni dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Selain itu, Pasal 71 ayat 1 juga melarang kepala desa untuk membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. Hal ini diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Desa, tepatnya pasal 188, yang menetapkan ancaman pidana satu hingga enam bulan penjara atau denda mulai dari Rp600 ribu hingga Rp6 juta bagi yang melanggar.
"Netralitas kepala desa dan perangkat desa adalah kunci untuk memastikan pemilu yang adil dan bebas dari intervensi kepentingan tertentu. Bawaslu akan menindak tegas laporan yang terbukti memiliki unsur pelanggaran,” tegas Henrolds.