Manado (ANTARA) - AGUS BASIT sibuk sekali di rumahnya suatu siang Desember lalu. Dia menjabat tangan, mengucapkan selamat datang, pada setiap tamu dalam syukuran di rumahnya di Tondano Barat, Minahasa. Basit sekeluarga, bukan saja merayakan Natal 2022, tapi juga hari ulang tahun ke 42, Bahia, istrinya.
Para undangan banyak dari anggota setempat Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM). Sebuah organisasi keagamaan yang berpengaruh besar di Sulawesi Utara. Juga ada warga sekitar, termasuk para pemeluk agama lainnya, Kristen, Islam, Hindu, serta agama lokal Laroma.
Perayaan dibuka dengan lagu Indonesia Raya, dilanjutkan doa lintas iman. Lantas lanjut dengan refleksi Natal dari para pemuka agama lintas iman, termasuk seseorang dari Laroma, lainnya dari agama Bahai plus seorang pendeta Kristen serta I Dwi Medawinata dari Parisada Hindu Dharma Minahasa.
Menariknya, Agus Basit seorang penganut agama Bahai, sebuah kepercayaan asal Persia, yang pernah dilarang di Indonesia, selama tiga dekade, dan sampai sekarang masih belum termasuk agama yang dilindungi (dari “penodaan” oleh orang lain).
Perayaan Natal lintas iman yang digelar Agus Basit (Jo/ANTAR) (1)
Para pemuka agama, lintas iman itu memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar semuanya diberikan rahmat sehat dan bahagia. Yang dimulai dari dari Iswan Sual pemuka agama Laroma, memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar memberikan berkatnya kepada manusia.
Demikian Malika perwakilan agama Baha’i pun mendoakan hal itu, agar semua orang diberikan terang, sehingga cahaya ilahi menyinari semua orang. Doa selamat juga dinaikan Pendeta Christian yang mewakili umat Kristen yang hadir, sebagai permohonan berkat bagi semua.
Injil pun dibacakan bagi semua yang hadir dan dibacakan oleh Erni yang dipandu oleh Pendeta Ruth Wangkai, MTh, pemuka agama Kristen yang hadir. Setelah itu dilanjutkan dengan pemasangan lilin perdamaian bagi semua orang dan dilakukan oleh seluruh pemuka agama yang ada. Acara diakhiri dengan jamuan kasih, dan doa dipimpin oleh perwakilan dari muslim Syiah.
Dari Persia ke Jawa dan Sulawesi
BAHA’I adalah agama yang berasal dari Persia yang sekarang dikenal sebagai Republik Islam Iran. Agama Baha’i merupakan ajaran Bah’a’u’llah, yang mengajarkan tentang kesatuan umat manusia.
Kemunculan agama tersebut, tidak ada kaitan dengan politik Iran kala itu. Sebenarnya, Tuhan menurunkan wahyu-Nya, kepada siapa saja, dan kebetulan kepada orang dari Persia itu, kata Agus.
Tahun 1844 masehi, Sang Bab mengumumkan misi mempersiapkan umat manusia akan kedatangan Bahá’u’lláh. Kedatangan-Nya menandakan bahwa umat manusia kini berada pada ambang pintu zaman baru, kedewasaan. Suatu zaman, yang secara bertahap menuntun umat manusia melihat seluruh bumi dengan semua bangsanya yang beranekaragam, dalam satu perspektif.
Kesatuan menjadi ciri khas ajaran agama Baha’i. Melalui perintah langsung dari Bahá’u’lláh telah menjamin keberlangsungan agama itu setelah Beliau wafat.
Garis penerus-Nya, yang dikenal sebagai Perjanjian Bahá’u’lláh terdiri dari Putra-Nya Abdu’l-Bahá. Lalu diteruskan kepada cucunya, yaitu Shoghi Effendi dan terakhir adalah Balai Keadilan Sedunia sesuai dengan mandat dari Bahá’u’lláh.
“Seorang Bahá’í harus menerima dan mengakui otoritas ilahi dari Sang Báb, Bahá’u’lláh dan para penerus-Nya,” kata Agus.
Seperti agama monoteis lainnya, pemeluk baha’i, merayakan sejumlah hari raya. Mengikuti penanggalan Baha’i pula.
Pusat agama Bahai di dunia (Ist/ANTARA) (1)
Hari raya dimulai dengan Nawruz, peringatan tahun baru Baha’i pada tanggal 1 Baha kalender Baha’i. Kemudian hari raya pertama Ridwan yang pada bulan Jalal. Lalu ada hari kesembilan Ridwan jatuh pada bulan Jamal dengan aturan yang sama pula, lalu hari keduabelas Ridwan pada Bulan Jamal.
Hari raya pengumuman Sang Bab yang jatuh pada bulan Azamat. Berikutnya adalah wafatnya Bah’a’u’llah bulan Azamat. Lalu hari raya untuk peringatan kesayidan Sang Bab, yang jatuh pada bulan Rahmat. Berikutnya adalah peringatan kelahiran Sang Bab, yang merupakan perayaan kembar pertama.
Lalu ada perayaan hari raya perjanjian yang jatuh pada bulan Qawl. Yang terakhir terakhir adalah peringatan wafatnya Abdu’l Baha juga pada bulan Qawl, juga tak ada larangan bagi umat untuk bekerja.
Balai keadilan Bahai (Jo/ANTARA) (1)
Ajaran Bah’a’u’llah kemudian menyebar dari Iran ke India, Turki dan belahan dunia lainya, oleh para pedagang.
Pada tahun 1878, ajaran Bah’a’u’llah, dibawa dua pedagang Persia dan Turki ke Jawa dan Sulawesi. Dua pedagang itu adalah Jamal Effendi dan Mustafa Rumi.
Ajaran itu, berkembang di Indonesia, bahkan sebelum Negara ini merdeka. Ajaran itu berkembang dan dianut masyarakat di Jawa kala itu, demikian juga di Sulawesi. Penyebaran agama Baha’i di Jawa terjadi lewat diskusi para pedagang itu dengan masyarakat lokal. Masyarakat tertarik karena sikap para pedagang itu berbeda.
“Dari situlah, kemudian diterima dan dianut masyarakat kala itu,” kata Agus. Seiring berjalannya waktu, agama Baha’i juga mulai diyakni masyarakat terutama di Jawa dan Selawesi Selatan. Di masa penjajahan, masyarakat kala itu, sudah memeluk agama Baha’i.
Dilarang Soekarno
Jauh sebelum Indonesia merdeka, agama Baha’i berkembang dan sudah dianut masyarakat di Jawa. Di awal-awal negara bediri dan dipimpin Soekarno, keadaan masih sama. Kondisi itu berlangsung sampai tahun 1950-an.
Namun memasuki memasuki tahun 1960-an keadaan berubah. Baha’i berubah menjadi agama, yang tidak dilindungi pemerintah. Padahal konstitusi Negara, justru menegaskan, tentang perlindungan terhadap semua pemeluk agama.
Dekade kedua orde lama, pemerintah Indonesia yang kala itu dipimpin Presiden Soekarno, mendiskriminasi agama Baha’i. Bahkan memasukan Baha’i sebagai organisasi terlarang. Larangan itu ditetapkan dalam keputusan presiden (Keppres) nomor 264 tahun 1962.
Direktur Center for Religious and Cross-Cultural Studies Universitas Gadjah Mada, Zainal Abidin Bagir, dalam sebuah diskusi secara daring mengatakan, menyebutkan alasan diskriminasi tersebut.
“Pemerintah beralasan Keppres tersebut terbit, karena revolusi sosialisme dan gerakan-gerakan yang dianggap tak sejalan dengan kepentingan nasional,” katanya.
Karena larangan tersebut, para pemeluk agama Baha’i juga mengalami diskriminasi. Terutama dalam KTP, yang wajib dimiliki masyarakat. Para pemeluk agama Baha’i harus memilih salah satu dari enam agama, sebagai keyakinan yang dipeluk yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu.
Kondisi yang serba tak menguntungkan. Dimasukan sebagai organisasi terlarang, bersama, freemason, liga demokrasi, rotary club, divine life society, moral rearmament movement dan ancient mystical organization of Rosi Cruicians, membuat para pemeluknya tak bisa “bernafas”.
Pemeluk Baha’i, tak bisa menjalankan ibadahnya dengan merdeka. Mengalami persekusi, dan dipaksa memeluk agama lain, meskipun bukan keyakinannya.
Keadaan itupun berlangsung juga di masa orde baru. Baha’i tetap didiskriminasi. Para pemeluknya dipaksa memilih salah satu dari lima agama, yang ada, kala itu yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha, sebagai keyakinannya.
Karena ternyata, selain Baha’i, pemerintahan Soeharto melarang agama Konghucu. Maka hanya kelima agama itulah yang “wajib” dianut warga Indonesia. Agama lokal dan dari luar seperti Baha’i tetap dilarang, bahkan dianggap sesat.
Pemeluk agama Baha’i hanya bisa menjalankan kewajibannya secara diam-diam, kalau tidak mau bermasalah. Sebab ajarannya dituduh sesat. Selama 32 tahun di masa pemerintahan orde baru, pemeluk agama Baha’i, hidup dalam kondisi memprihatinkan.
Namun ketika rezim berganti dan terjadi reformasi, Indonesia yang kala itu dipimpin Abdurahman Wahid, membuat kebijakan baru. Gus Dur, mengeluarkan Keppres nomor 69 tahun 2000 yang isinya mencabut Keppres Nomor 264 tahun 1962.
Bahkan presiden, juga mengucapkan selamat hari raya Nawruz, kepada pemeluk Baha’i.
Di masa pemerintah Joko Widodo, Menteri Agama, Yaqut Cholil Qouma, menyampaikan ucapan selamat hari raya Nawruz 178 EB kepada umat Baha'i di Indonesia. Meskipun mereka tetap dilarang mendirikan rumah ibadah sendiri.
Merantau ke Tondano
Dengan tujuan merubah nasib, Agus Basit merantau ke Manado tahun 1998. Dari Banyuwangi, ke Manado Agus menemui seorang temannya dan berusaha mencari pekerjaan.
“Saya ke Manado lalu Tondano, memang mau mengubah nasib. Bukan karena mendapat persekusi di kampung halaman, Banyuwangi.” Katanya.
Menurut Agus, keluarganya, hidup susah, secara ekonomi, sehingga untuk bersekolah pun kesulitan. Maka begitu selesai SMA, tidak ada niatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.
“Saya memilih merantau, supaya bisa hidup lebih baik secara ekonomi, jangan susah.” katanya.
Sebagai pemeluk agama Baha’i, baik dia maupun keempat saudaranya, yang tersebar di Pekan Baru, Jakarta dan Banyuwangi serta orang tuanya, tetap menjalankan kewajiban agama dengan bebas.
“Kami belum sampai mengalami pelarangan beribadah. Tidak juga dimusuhi orang kampung dan keluarga.” Katanya.
Agus Basit i (Jo/ANTARA) (1)
Bahkan setiap hari raya Baha’i, keluarganya selalu kedatangan tamu yang banyak.
Dua tahun bekerja di Manado mengumpulkan modal, Agus memutuskan pindah ke Tondano, tahun 2000. Di Tondano, dia mulai membuka usaha toko elektronik . Kemudian berkeluarga dan tinggal menetap di Rinegetan sampai sekarang.
Menjadi warga Tondano, Minahasa, Agus Basit dan keluarganya juga mengurus administrasi kependudukan. Dalam KTP elektronik yang dimilikinya, Agus Basit dan Bahia istrinya, memilih mengosongkan kolom agama.
“Tidak ada agama Baha’i, dalam pilihan yang diberikan,” kata Agus Basit. Karena itu maka dia dan Bahia memilih mengosongkannya. Agus mengaku bersyukur, karena tidak dipaksa harus memilih salah satu agama yang ada.
Di Tondano, Agus mengakui tetap menjalankan kewajibannya sebagai pemeluk agama Baha’i. Karena hanya mereka sekeluarga, maka mereka belum punya tempat ibadah mandiri. Namun tidak ada yang mengganggu mereka, karena urusan agama.
“Karena itulah, kami tetap menjalankan usaha, sebagai pedagang onderdil kendaraan.” Katanya.
Diapun menjalin hubungan dengan sesama pemeluk agama yang berbeda di Tondano, dan sering menggelar sembahyang bersama.
“Kami bisa sembahyang di pura apalagi diundang saudara-saudara Hindu, juga diajak berdoa oleh pendeta Kristen, kami ikut.” Katanya.
Setiap perayaan hari raya agama Baha’i, maka rumahnya akan kedatangan banyak tamu.
“Kalau tahun baru Nawruz, rumah saya kedatangan tamu, sampai ratusan orang,” kata Agus.
Di sisi lain, Agus juga beribadah rutin bersama dengan jemaat GMIM Alfa Omega Baru, di Rinegetan Tondano. Juga mendapatkan jadwal kunjungan ibadah rutin, baik kolom, kaum bapak dan kaum ibu, sejak tahun 2017.
“Ibadah dengan saudara lintas iman, adalah perwujudan ajaran Bah’a’u’llah. Yakni tentang kesatuan umat manusia. Bentuk keyakinan kami, bahwa semua agama dan manusia itu berasal dari satu Tuhan.” kata Agus.
Natal Lintas Iman
Keramaian masih terlihat di rumah Agus Basit. Para undangan pun masih berdatangan, meskipun doa natal sudah usai. Bahkan kenalan Agus Basit dari berbagai kelangan silih berganti datang.
Para pemuka agama, lintas iman juga tak hadir sendiri. Rata-rata membawa rombongan. Perwakilan Koramil yang tiba datang juga langsung disambut Agus dan Bahia dengan sukacita.
Para tamu langsung menuju ke meja tempat jamuan makan. Tokoh agama Kristen, Islam, Hindu, Syiah, hingga agama lokal Laroma menikmati acara sambil bercakap-cakap.
foto usai perayaan natal (Jo/ANTAR) (1)
Sekitar pukul 15.00 Wita, Camat Tondano Barat, Robert Ratulangi, juga tiba di kediaman Agus. Lalu menjabat tangan Agus dan minta maaf karena baru tiba.
“Selamat natal semua. Maaf pak Agus, baru sampai. Saya baru dari selesai melayat di saudara warga yang ditimpa duka.” Kata Ratulangi.
Diapun lalu diajak menikmati sajian makanan yang sudah disiapkan. Sambil bercakap-cakap dengan Agus Basit, Camat Robert Ratulangi, memuji perayaan natal lintas iman yang digelar Agus Basit.
Sebagai kepala wilayah, Robert Ratulangi, mengatakan, sangat salut dengan Agus Basit. Karena sebagai warga Negara dia hidup bersosialisasi dengan baik. Baik dalam kegiatan sosial kemasyarakatan maupun yang lainnya. Terutama dalam urusan keagamaan, menjalankan keyakinannya sebagai seorang Baha’i, dengan taat.
“Apa yang disaksikan hari ini, sungguh luar biasa. Saya secara pribadi mengapresiasi Pak Agus. Dia menunjukan inilah kebersamaan di lingkungan, tanpa melihat perbedaan latarbelakang,” kata Ratulangi.
Ratulangi berharap, hal itu bisa dicontoh juga di daerah lain. Sebagai tanda bhineka tunggal ika.
Bersama Camnat Tondano Barat Robert Ratulangi (Jo/ANTAR) (1)
“Yang seperti inilah, seharusnya Indonesia. Saya bangga pada Agus Basit. Dalam keyakinan keesaan Tuhan, dia menggelar natal lintas iman.” Kata Ratulangi.
Para pemuka agama lintas iman, yang hadir dalam perayaan natal pun mengakui itu, adalah sebuah bentuk kebersamaan.
Pemuka agama Kristen, Penatua Johny Sumanti, mengatakan, umat di gereja mereka menyukai Agus dan keluarganya. Ketika diajak beribadah bersama, diapun datang bersama istrinya. Karena itulah, maka mendapatkan kunjungan ibadah rutin.
Ketua Parisada Hindu Darma, Kabupaten Minahasa, I Dwi Medawinata, mengatakan pendapatnya. Dwi Medawinata yang hadir dalam perayaan natal itu, mengataka, jika ada kegiatan keagamaan hindu seperti persembahyangan, Agus Basit diundang pasti datang.
Sedangkan Mardiansyah Usman, ketua lembaga seni dan budaya muslim Nahdlatul Ulama (NU) Sulawesi Utara, mengatakan, sudah mengenai Agus Basith setahun lebih. Selama kenal, mereka saling berdiskusi dan memahami serta menghormati keyakinan agama Agus Basit.
Para undangan banyak dari anggota setempat Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM). Sebuah organisasi keagamaan yang berpengaruh besar di Sulawesi Utara. Juga ada warga sekitar, termasuk para pemeluk agama lainnya, Kristen, Islam, Hindu, serta agama lokal Laroma.
Perayaan dibuka dengan lagu Indonesia Raya, dilanjutkan doa lintas iman. Lantas lanjut dengan refleksi Natal dari para pemuka agama lintas iman, termasuk seseorang dari Laroma, lainnya dari agama Bahai plus seorang pendeta Kristen serta I Dwi Medawinata dari Parisada Hindu Dharma Minahasa.
Menariknya, Agus Basit seorang penganut agama Bahai, sebuah kepercayaan asal Persia, yang pernah dilarang di Indonesia, selama tiga dekade, dan sampai sekarang masih belum termasuk agama yang dilindungi (dari “penodaan” oleh orang lain).
Para pemuka agama, lintas iman itu memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar semuanya diberikan rahmat sehat dan bahagia. Yang dimulai dari dari Iswan Sual pemuka agama Laroma, memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar memberikan berkatnya kepada manusia.
Demikian Malika perwakilan agama Baha’i pun mendoakan hal itu, agar semua orang diberikan terang, sehingga cahaya ilahi menyinari semua orang. Doa selamat juga dinaikan Pendeta Christian yang mewakili umat Kristen yang hadir, sebagai permohonan berkat bagi semua.
Injil pun dibacakan bagi semua yang hadir dan dibacakan oleh Erni yang dipandu oleh Pendeta Ruth Wangkai, MTh, pemuka agama Kristen yang hadir. Setelah itu dilanjutkan dengan pemasangan lilin perdamaian bagi semua orang dan dilakukan oleh seluruh pemuka agama yang ada. Acara diakhiri dengan jamuan kasih, dan doa dipimpin oleh perwakilan dari muslim Syiah.
Dari Persia ke Jawa dan Sulawesi
BAHA’I adalah agama yang berasal dari Persia yang sekarang dikenal sebagai Republik Islam Iran. Agama Baha’i merupakan ajaran Bah’a’u’llah, yang mengajarkan tentang kesatuan umat manusia.
Kemunculan agama tersebut, tidak ada kaitan dengan politik Iran kala itu. Sebenarnya, Tuhan menurunkan wahyu-Nya, kepada siapa saja, dan kebetulan kepada orang dari Persia itu, kata Agus.
Tahun 1844 masehi, Sang Bab mengumumkan misi mempersiapkan umat manusia akan kedatangan Bahá’u’lláh. Kedatangan-Nya menandakan bahwa umat manusia kini berada pada ambang pintu zaman baru, kedewasaan. Suatu zaman, yang secara bertahap menuntun umat manusia melihat seluruh bumi dengan semua bangsanya yang beranekaragam, dalam satu perspektif.
Kesatuan menjadi ciri khas ajaran agama Baha’i. Melalui perintah langsung dari Bahá’u’lláh telah menjamin keberlangsungan agama itu setelah Beliau wafat.
Garis penerus-Nya, yang dikenal sebagai Perjanjian Bahá’u’lláh terdiri dari Putra-Nya Abdu’l-Bahá. Lalu diteruskan kepada cucunya, yaitu Shoghi Effendi dan terakhir adalah Balai Keadilan Sedunia sesuai dengan mandat dari Bahá’u’lláh.
“Seorang Bahá’í harus menerima dan mengakui otoritas ilahi dari Sang Báb, Bahá’u’lláh dan para penerus-Nya,” kata Agus.
Seperti agama monoteis lainnya, pemeluk baha’i, merayakan sejumlah hari raya. Mengikuti penanggalan Baha’i pula.
Hari raya dimulai dengan Nawruz, peringatan tahun baru Baha’i pada tanggal 1 Baha kalender Baha’i. Kemudian hari raya pertama Ridwan yang pada bulan Jalal. Lalu ada hari kesembilan Ridwan jatuh pada bulan Jamal dengan aturan yang sama pula, lalu hari keduabelas Ridwan pada Bulan Jamal.
Hari raya pengumuman Sang Bab yang jatuh pada bulan Azamat. Berikutnya adalah wafatnya Bah’a’u’llah bulan Azamat. Lalu hari raya untuk peringatan kesayidan Sang Bab, yang jatuh pada bulan Rahmat. Berikutnya adalah peringatan kelahiran Sang Bab, yang merupakan perayaan kembar pertama.
Lalu ada perayaan hari raya perjanjian yang jatuh pada bulan Qawl. Yang terakhir terakhir adalah peringatan wafatnya Abdu’l Baha juga pada bulan Qawl, juga tak ada larangan bagi umat untuk bekerja.
Ajaran Bah’a’u’llah kemudian menyebar dari Iran ke India, Turki dan belahan dunia lainya, oleh para pedagang.
Pada tahun 1878, ajaran Bah’a’u’llah, dibawa dua pedagang Persia dan Turki ke Jawa dan Sulawesi. Dua pedagang itu adalah Jamal Effendi dan Mustafa Rumi.
Ajaran itu, berkembang di Indonesia, bahkan sebelum Negara ini merdeka. Ajaran itu berkembang dan dianut masyarakat di Jawa kala itu, demikian juga di Sulawesi. Penyebaran agama Baha’i di Jawa terjadi lewat diskusi para pedagang itu dengan masyarakat lokal. Masyarakat tertarik karena sikap para pedagang itu berbeda.
“Dari situlah, kemudian diterima dan dianut masyarakat kala itu,” kata Agus. Seiring berjalannya waktu, agama Baha’i juga mulai diyakni masyarakat terutama di Jawa dan Selawesi Selatan. Di masa penjajahan, masyarakat kala itu, sudah memeluk agama Baha’i.
Dilarang Soekarno
Jauh sebelum Indonesia merdeka, agama Baha’i berkembang dan sudah dianut masyarakat di Jawa. Di awal-awal negara bediri dan dipimpin Soekarno, keadaan masih sama. Kondisi itu berlangsung sampai tahun 1950-an.
Namun memasuki memasuki tahun 1960-an keadaan berubah. Baha’i berubah menjadi agama, yang tidak dilindungi pemerintah. Padahal konstitusi Negara, justru menegaskan, tentang perlindungan terhadap semua pemeluk agama.
Dekade kedua orde lama, pemerintah Indonesia yang kala itu dipimpin Presiden Soekarno, mendiskriminasi agama Baha’i. Bahkan memasukan Baha’i sebagai organisasi terlarang. Larangan itu ditetapkan dalam keputusan presiden (Keppres) nomor 264 tahun 1962.
Direktur Center for Religious and Cross-Cultural Studies Universitas Gadjah Mada, Zainal Abidin Bagir, dalam sebuah diskusi secara daring mengatakan, menyebutkan alasan diskriminasi tersebut.
“Pemerintah beralasan Keppres tersebut terbit, karena revolusi sosialisme dan gerakan-gerakan yang dianggap tak sejalan dengan kepentingan nasional,” katanya.
Karena larangan tersebut, para pemeluk agama Baha’i juga mengalami diskriminasi. Terutama dalam KTP, yang wajib dimiliki masyarakat. Para pemeluk agama Baha’i harus memilih salah satu dari enam agama, sebagai keyakinan yang dipeluk yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu.
Kondisi yang serba tak menguntungkan. Dimasukan sebagai organisasi terlarang, bersama, freemason, liga demokrasi, rotary club, divine life society, moral rearmament movement dan ancient mystical organization of Rosi Cruicians, membuat para pemeluknya tak bisa “bernafas”.
Pemeluk Baha’i, tak bisa menjalankan ibadahnya dengan merdeka. Mengalami persekusi, dan dipaksa memeluk agama lain, meskipun bukan keyakinannya.
Keadaan itupun berlangsung juga di masa orde baru. Baha’i tetap didiskriminasi. Para pemeluknya dipaksa memilih salah satu dari lima agama, yang ada, kala itu yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha, sebagai keyakinannya.
Karena ternyata, selain Baha’i, pemerintahan Soeharto melarang agama Konghucu. Maka hanya kelima agama itulah yang “wajib” dianut warga Indonesia. Agama lokal dan dari luar seperti Baha’i tetap dilarang, bahkan dianggap sesat.
Pemeluk agama Baha’i hanya bisa menjalankan kewajibannya secara diam-diam, kalau tidak mau bermasalah. Sebab ajarannya dituduh sesat. Selama 32 tahun di masa pemerintahan orde baru, pemeluk agama Baha’i, hidup dalam kondisi memprihatinkan.
Namun ketika rezim berganti dan terjadi reformasi, Indonesia yang kala itu dipimpin Abdurahman Wahid, membuat kebijakan baru. Gus Dur, mengeluarkan Keppres nomor 69 tahun 2000 yang isinya mencabut Keppres Nomor 264 tahun 1962.
Bahkan presiden, juga mengucapkan selamat hari raya Nawruz, kepada pemeluk Baha’i.
Di masa pemerintah Joko Widodo, Menteri Agama, Yaqut Cholil Qouma, menyampaikan ucapan selamat hari raya Nawruz 178 EB kepada umat Baha'i di Indonesia. Meskipun mereka tetap dilarang mendirikan rumah ibadah sendiri.
Merantau ke Tondano
Dengan tujuan merubah nasib, Agus Basit merantau ke Manado tahun 1998. Dari Banyuwangi, ke Manado Agus menemui seorang temannya dan berusaha mencari pekerjaan.
“Saya ke Manado lalu Tondano, memang mau mengubah nasib. Bukan karena mendapat persekusi di kampung halaman, Banyuwangi.” Katanya.
Menurut Agus, keluarganya, hidup susah, secara ekonomi, sehingga untuk bersekolah pun kesulitan. Maka begitu selesai SMA, tidak ada niatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.
“Saya memilih merantau, supaya bisa hidup lebih baik secara ekonomi, jangan susah.” katanya.
Sebagai pemeluk agama Baha’i, baik dia maupun keempat saudaranya, yang tersebar di Pekan Baru, Jakarta dan Banyuwangi serta orang tuanya, tetap menjalankan kewajiban agama dengan bebas.
“Kami belum sampai mengalami pelarangan beribadah. Tidak juga dimusuhi orang kampung dan keluarga.” Katanya.
Bahkan setiap hari raya Baha’i, keluarganya selalu kedatangan tamu yang banyak.
Dua tahun bekerja di Manado mengumpulkan modal, Agus memutuskan pindah ke Tondano, tahun 2000. Di Tondano, dia mulai membuka usaha toko elektronik . Kemudian berkeluarga dan tinggal menetap di Rinegetan sampai sekarang.
Menjadi warga Tondano, Minahasa, Agus Basit dan keluarganya juga mengurus administrasi kependudukan. Dalam KTP elektronik yang dimilikinya, Agus Basit dan Bahia istrinya, memilih mengosongkan kolom agama.
“Tidak ada agama Baha’i, dalam pilihan yang diberikan,” kata Agus Basit. Karena itu maka dia dan Bahia memilih mengosongkannya. Agus mengaku bersyukur, karena tidak dipaksa harus memilih salah satu agama yang ada.
Di Tondano, Agus mengakui tetap menjalankan kewajibannya sebagai pemeluk agama Baha’i. Karena hanya mereka sekeluarga, maka mereka belum punya tempat ibadah mandiri. Namun tidak ada yang mengganggu mereka, karena urusan agama.
“Karena itulah, kami tetap menjalankan usaha, sebagai pedagang onderdil kendaraan.” Katanya.
Diapun menjalin hubungan dengan sesama pemeluk agama yang berbeda di Tondano, dan sering menggelar sembahyang bersama.
“Kami bisa sembahyang di pura apalagi diundang saudara-saudara Hindu, juga diajak berdoa oleh pendeta Kristen, kami ikut.” Katanya.
Setiap perayaan hari raya agama Baha’i, maka rumahnya akan kedatangan banyak tamu.
“Kalau tahun baru Nawruz, rumah saya kedatangan tamu, sampai ratusan orang,” kata Agus.
Di sisi lain, Agus juga beribadah rutin bersama dengan jemaat GMIM Alfa Omega Baru, di Rinegetan Tondano. Juga mendapatkan jadwal kunjungan ibadah rutin, baik kolom, kaum bapak dan kaum ibu, sejak tahun 2017.
“Ibadah dengan saudara lintas iman, adalah perwujudan ajaran Bah’a’u’llah. Yakni tentang kesatuan umat manusia. Bentuk keyakinan kami, bahwa semua agama dan manusia itu berasal dari satu Tuhan.” kata Agus.
Natal Lintas Iman
Keramaian masih terlihat di rumah Agus Basit. Para undangan pun masih berdatangan, meskipun doa natal sudah usai. Bahkan kenalan Agus Basit dari berbagai kelangan silih berganti datang.
Para pemuka agama, lintas iman juga tak hadir sendiri. Rata-rata membawa rombongan. Perwakilan Koramil yang tiba datang juga langsung disambut Agus dan Bahia dengan sukacita.
Para tamu langsung menuju ke meja tempat jamuan makan. Tokoh agama Kristen, Islam, Hindu, Syiah, hingga agama lokal Laroma menikmati acara sambil bercakap-cakap.
Sekitar pukul 15.00 Wita, Camat Tondano Barat, Robert Ratulangi, juga tiba di kediaman Agus. Lalu menjabat tangan Agus dan minta maaf karena baru tiba.
“Selamat natal semua. Maaf pak Agus, baru sampai. Saya baru dari selesai melayat di saudara warga yang ditimpa duka.” Kata Ratulangi.
Diapun lalu diajak menikmati sajian makanan yang sudah disiapkan. Sambil bercakap-cakap dengan Agus Basit, Camat Robert Ratulangi, memuji perayaan natal lintas iman yang digelar Agus Basit.
Sebagai kepala wilayah, Robert Ratulangi, mengatakan, sangat salut dengan Agus Basit. Karena sebagai warga Negara dia hidup bersosialisasi dengan baik. Baik dalam kegiatan sosial kemasyarakatan maupun yang lainnya. Terutama dalam urusan keagamaan, menjalankan keyakinannya sebagai seorang Baha’i, dengan taat.
“Apa yang disaksikan hari ini, sungguh luar biasa. Saya secara pribadi mengapresiasi Pak Agus. Dia menunjukan inilah kebersamaan di lingkungan, tanpa melihat perbedaan latarbelakang,” kata Ratulangi.
Ratulangi berharap, hal itu bisa dicontoh juga di daerah lain. Sebagai tanda bhineka tunggal ika.
“Yang seperti inilah, seharusnya Indonesia. Saya bangga pada Agus Basit. Dalam keyakinan keesaan Tuhan, dia menggelar natal lintas iman.” Kata Ratulangi.
Para pemuka agama lintas iman, yang hadir dalam perayaan natal pun mengakui itu, adalah sebuah bentuk kebersamaan.
Pemuka agama Kristen, Penatua Johny Sumanti, mengatakan, umat di gereja mereka menyukai Agus dan keluarganya. Ketika diajak beribadah bersama, diapun datang bersama istrinya. Karena itulah, maka mendapatkan kunjungan ibadah rutin.
Ketua Parisada Hindu Darma, Kabupaten Minahasa, I Dwi Medawinata, mengatakan pendapatnya. Dwi Medawinata yang hadir dalam perayaan natal itu, mengataka, jika ada kegiatan keagamaan hindu seperti persembahyangan, Agus Basit diundang pasti datang.
Sedangkan Mardiansyah Usman, ketua lembaga seni dan budaya muslim Nahdlatul Ulama (NU) Sulawesi Utara, mengatakan, sudah mengenai Agus Basith setahun lebih. Selama kenal, mereka saling berdiskusi dan memahami serta menghormati keyakinan agama Agus Basit.