Manado (ANTARA) - Saya, turun langsung ke lapangan untuk mengawasi verifikasi faktual (verfak) keanggotaan partai politik (parpol). Bersama tim verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Manado, Kami menyusuri lorong-lorong, gang-gang, hingga dusun demi dusun mencari rumah anggota parpol. Jalan sempit hingga berbukit, semua dilewati dengan semangat dan tanggung jawab. Lelah, pasti. Tapi asik dan penuh cerita.

Bukan bermaksud mengarang kisah dan serba serbi verfak, tulisan ini sesungguhnya sebagai celotehan atas hal yang membingungkan. Sewaktu verifikator bertemu dengan warga yang identitasnya sebagai anggota parpol, mereka menanyakan Kartu Tanda Anggota (KTA) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Keduanya harus ada. Bila salah satunya tak bisa diperlihatkan, maka status keanggotaan langsung Tidak Memenuhi Syarat (TMS). Di peraturan KPU No. 4 tahun 2022 tentang Pendaftaran, Verifikasi dan Penetapan Parpol Calon Peserta Pemilu, memang sudah disebutkan pasal terkait hal ini.

Dalam hal pada saat Verifikasi Faktual keanggotaan terdapat anggota Partai Politik yang tidak dapat menunjukkan kepemilikan KTA dan/atau KTP-el atau KK, status keanggotaannya dinyatakan tidak memenuhi syarat. (pasal 92, poin 3).

Berdasar ketentuan tersebut, meski memperlihatkan KTP namun tidak memiliki KTA bahkan dengan sungguh-sungguh menyatakan sebagai anggota parpol, maka tetap saja diberi status TMS. Dari sini, Saya merasa janggal. Orang yang identitas KTPnya sama dengan data, namun KTA tak bisa diperlihatkan dengan alasan tertentu mengapa di TMS kan? Sebutlah karena demikian bahasa aturan sebagaimana PKPU 4 di atas itu, namun mengapa pada pasal 93 poin 2 berbunyi begini; "Dalam hal pada saat Verifikasi Faktual keanggotaan terdapat anggota Partai Politik yang menyatakan bukan sebagai anggota suatu Partai Politik tertentu dan tidak bersedia mengisi formulir MODEL SURAT.PERNYATAAN.VERFAK.ANGGOTA-PARPOL, keanggotaannya dinyatakan memenuhi syarat"

Coba bayangkan, orang yang tidak mengakui sebagai anggota, dan tidak memperlihatkan KTA namun hanya karena tidak bersedia mengisi formulir pernyataan justru statusnya memenuhi syarat. Sedangkan ada orang yang jelas-jelas sebagai anggota, meski telah didukung bukti dan saksi lainnya, tetapi tak kuasa memperlihatkan KTA justru statusnya TMS. Membingungkan bukan?

Sehingga itu, ada dua hal yang menurut Saya perlu dikaji. Pertama, Kita harus memastikan, apakah kalimat tidak dapat menunjukkan kepemilikan KTA dan/atau KTP-el pada pasal 92 itu ditafsirkan kewajiban untuk memperlihatkan kedua identitas tersebut, atau boleh cuma salah satunya? Sebab, frasa dan/atau dalam bahasa hukum punya makna yang beragam. Bagi sebagian orang hukum, menganggapnya sebagai satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Sebagian yang lain justru menganggapnya sebagai alternatif.

Berikut ini Saya coppy paste dari situs https://kamushukum.web.id: Definisi dan Arti Kata Dan/Atau adalah opsi untuk memilih kata dan atau kata atau. Istilah ini sering digunakan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang bermaksud memberikan keleluasaan kondisi komulatif (dan) maupun kondisi alternatif (atau). Sebagai contoh dalam kalimat “dihukum penjara dan/atau denda”, maka dapat dipahami dengan alternatif penjara saja, denda saja, penjara dan denda. Model pengambilan kesimpulan tersebut berbeda dari logika matematika disjungsi. Dalam logika matematika, disjungsi yang dalam bahasa keseharian disebut dengan “atau”, kalimat “dihukum penjara atau denda” meliputi pula maksud penjara dan denda, penjara saja, maupun denda saja.

Dari pendefinisian tersebut, dapatlah Kita mencoba menjadikan perkara menunjukkan KTA dan/atau KTP sebagai kumulatif (dan) maupun alternatif (atau). Artinya, sebaiknya menunjukkan keduanya atau bisa juga bila hanya salah satunya. Apalagi, orang yang diverfak dengan sungguh-sungguh menyakinkan bahwa ia adalah anggota parpol. Opsi ini akhirnya bisa membuat status keanggotaan menjadi MS. Betapa ruginya parpol yang telah merekrut warga untuk menjadi anggotanya, namun di TMS kan hanya karena problematik tafsir teks aturan.

Kedua, perlu juga memahami defenisi verfak. Sepantasnya, setiap elemen harus mengetahui secara filosofis mengapa KTA dan KTP perlu ditunjukkan. Kehadiran verifikator untuk memastikan, bahwa dokumen tersebut sesuai dengan yang diuploud melalui Sistem Informasi Parpol (Sipol). Dengan demikian pantaslah KTA dan KTP perlu disodorkan.

Bagaimana Pengawasan Bawaslu?

Bawaslu di tingkat kabupaten dan kota mengawasi sesuai mekanisme. Tidak menentukan MS dan TMS. Kami hanya memastikan, bahwa kinerja verifikator sesuai dengan ketentuan. Secara kebetulan, KPU menentukan bahwa tidak menunjukkan KTA meski ada KTP, tetap TMS. Maka, Bawaslu menghormati ketentuan tersebut.

Meski demikian, Bawaslu juga berkapasitas memberikan saran-saran alternatif di lapangan, bila terjadi secara teknis hal-hal yang perlu diselesaikan. Misal, ketika ada seseorang yang menyatakan sebagai anggota parpol, namun tak kuasa menunjukkan KTA, maka Kami memberi saran kepada KPU untuk menghubungi pihak parpol yang dapat memfasilitasi pengadaan KTA. Dengan cara ini, maka status keanggotaan bukan TMS.

Faktanya, Bawaslu menemukan adanya orang yang justru tidak tahu namanya dicatut dalam keanggotaan parpol. Dalam hal ini, maka verifikator harus menyodorkan formulir untuk ditanda tangani yang bersangkutan, kemudian dapat ditentukan MS atau TMS.

Intinya, pelajaran penting dalam kegiatan verfak, Bawaslu perlu kembali mengingatkan parpol, agar kedepan tidak mencatut nama orang untuk memasukkan ke sipol. Begitu pula terhadap KPU, agar dapat membuat sistem aturan yang lebih konkrit dan tak berpotensi merugikan pihak terkait.

Oleh Taufik Bilfaqih 
(Pimpinan Bawaslu Manado)

Pewarta : Joyce Hestyawatie B

Copyright © ANTARA 2024