Depok (ANTARA) - BEM UI bersama Greenpeace Indonesia menggelar pemutaran film "Before You Eat" dan diskusi publik di Kampus Universitas Indonesia, Depok, Rabu (30/3).

Kegiatan ini dilakukan untuk mengajak masyarakat melihat lebih jauh bagaimana proses hidangan boga bahari sebelum tersaji di atas meja makan dan menimbang-nimbang adanya jejak perbudakan dan perusakan lingkungan dalam prosesnya.

Film yang disutradarai oleh Hasan Kurdi ini juga menyajikan fakta tentang nasib Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia di kapal-kapal ikan asing yang kerap tak senikmat hidangan yang tersaji.

Kekerasan fisik, jam kerja yang panjang, makanan yang tidak layak, sakit tanpa pengobatan, bahkan berujung kematian kerap mereka alami.

Pemutaran film dan diskusi publik yang bertemakan "Is your seafood slavery-free?: Perbudakan Modern di Laut dan Makanan Kita" ini, menghadirkan narasumber Ardi Ligantara sebagai mantan ABK Indonesia korban perbudakan, Afdillah selaku juru kampanye laut Greenpeace, Hariyanto Suwarno dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), dan Bayu Satria Utomo selaku Ketua Umum BEM UI sebagai pengisi sesi diskusi terkait hal-hal yang berkaitan dengan film "Before You Eat" dan isu perbudakan modern di kapal penangkap ikan jarak jauh berbendera asing.

Acara yang dihadiri oleh kurang lebih 50 orang ini dilaksanakan dengan mematuhi protokol kesehatan. Tiap peserta dan panitia yang menghadiri acara diberikan tes antigen terlebih dahulu sebelum memasuki tempat berlangsungnya kegiatan.

"Before You Eat" yang berjalan selama kurang lebih 2 jam ini sukses membawa penonton tersayat karena adegan-adegan keji perbudakan ABK di kapal-kapal asing ilegal yang dipertontonkan.

Film ini seolah menampar para penonton dengan fakta bahwa di balik hidangan boga bahari yang dimakan sehari-hari, terdapat darah dan air mata dari saudara sebangsa yang diperlakukan tidak seperti manusia di kapal-kapal berbendera asing.

Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi yang dibuka dengan cerita Ardi Ligantara sebagai mantan ABK Indonesia korban perbudakan yang berbagi kisah kepedihan dan kekerasan yang ia alami selama berada di kapal asing.

Ardi menceritakan secara detail lingkaran setan perbudakan di kapal asing yang dimulai dari proses perekrutan, kehidupan sehari-hari di atas kapal yang sarat akan pelanggaran HAM, serta proses kepulangan yang mirisnya justru difasilitasi oleh SBMI, bukan negara sebagai pihak yang seharusnya melindungi warga negaranya.

Pemaparan dilanjutkan oleh Afdillah yang membagikan alasan yang melatarbelakangi Greenpeace untuk menginisiasi film yang berlatarkan eksploitasi pekerja dan ekosistem laut
ini.

Afdillah menjelaskan bahwa kampanye laut yang dilakukan oleh Greenpeace telah berlangsung sejak tujuh tahun yang lalu, namun kasus kematian ABK Indonesia di medio 2020 mendorong Greenpeace untuk bekerja sama dengan SBMI untuk memproduksi film
"Before You Eat" ini.

Pembuatan film ini merupakan bagian dari upaya Greenpeace untuk membumikan isu perbudakan modern ini ke masyarakat umum.

Kemudian, diskusi dilanjutkan dengan penjelasan dari Hariyanto Suwarno yang menambahkan bahwa berbagai upaya sudah ditempuh untuk memperjuangkan keadilan hak-hak ABK melalui proses advokasi ke beberapa kementerian terkait namun tak kunjung menemukan titik keberhasilan.

Hari menyebutkan bahwa kebuntuan ini salah satunya disebabkan oleh adanya unsur pembiaran oleh oknum-oknum yang ada di perusahaan keagenan awak kapal (manning agency) dan kementerian terkait.

Pembiaran ini dilakukan karena bisnis perdagangan manusia berkedok penangkapan ikan ini merupakan lahan basah yang penuh akan uang.

Sesi diskusi ditutup dengan pemaparan dari Bayu Satria Utomo yang mengutarakan bahwa isu perbudakan modern di kapal penangkap ikan jarak jauh merupakan isu yang dapat dikatakan baru di telinga mahasiswa.

Bayu menegaskan bahwa praktik perbudakan modern ini merupakan konsekuensi dari sistem ekonomi kapitalistik yang hanya berorientasi pada pengerukan keuntungan. Ia juga menekankan pentingnya komitmen dan solidaritas dari elemen mahasiswa dalam mengadvokasikan isu ini, demikian siaran pers dikutip Kamis.

Pewarta : Maria Cicilia
Editor : Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024