Jakarta (ANTARA) - Anggota DPD RI Fahira Idris menghormati vonis atau hukuman penjara seumur hidup yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, kepada Herry Wirawan, terdakwa kasus pemerkosaan 13 santriwati.
Menurut Fahira, berdasarkan keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu, hukuman tersebut memastikan tidak ada tempat bagi Herry Wirawan ataupun predator anak lainnya yang hendak kembali ke komunitas masyarakat.
"Memang predator anak tidak boleh lagi dikembalikan ke dalam komunitas masyarakat karena akan sangat berbahaya dan menimbulkan trauma besar, terutama bagi korban. Setidaknya, hukuman seumur hidup ini memastikan terdakwa tidak akan kembali lagi ke dalam komunitas masyarakat,” ujarnya.
Meskipun begitu, Fahira Idris memandang tuntutan berupa hukuman mati terhadap Herry Wirawan yang sebelumnya diajukan jaksa penuntut umum (JPU) sejatinya adalah tuntutan yang lebih tepat.
Ia mengatakan tuntutan hukuman mati telah sesuai dengan dijadikannya kejahatan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa karena berdampak luas, baik bagi korban, keluarga korban, maupun masyarakat.
Tuntutan itu, lanjut Fahira, sesuai dengan amanat Pasal 81 ayat (1), ayat (3), dan ayat (5) juncto Pasal 76D Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
"Walaupun idealnya kejahatan seperti ini dihukum mati, seperti tuntutan JPU, tetapi saya tetap menghormati putusan hakim yang menghukum terdakwa seumur hidup. Namun, saya mendukung jika JPU ingin mengajukan banding," kata Fahira.
Selain itu, menurutnya, kejahatan yang dilakukan Herry Wirawan adalah kejahatan berlapis, mulai dari memperdaya, mengancam anak-anak, dan mengganggu kesehatan anak, baik fisik maupun psikis karena harus melahirkan di usia yang sangat muda.
Bahkan, lanjut dia, Herry telah melakukan kejahatan paling keji karena tindakan kekerasan seksual itu dilakukannya secara terus menerus dan sistematik. Perbuatan keji itu menyebabkan keresahan publik yang luas.
“Kejahatan yang berlapis-lapis seperti ini memang layaknya dihukum mati, tetapi sekali lagi kita hormati keputusan hakim," tegas Fahira.
Ia berharap kasus tersebut dapat menjadi kasus yang senantiasa diingat dan menjadi pertimbangan bagi penegakan hukum bahwa kejahatan seksual terhadap anak adalah kejahatan luar biasa sehingga hukumannya harus seberat mungkin.
Menurut Fahira, berdasarkan keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu, hukuman tersebut memastikan tidak ada tempat bagi Herry Wirawan ataupun predator anak lainnya yang hendak kembali ke komunitas masyarakat.
"Memang predator anak tidak boleh lagi dikembalikan ke dalam komunitas masyarakat karena akan sangat berbahaya dan menimbulkan trauma besar, terutama bagi korban. Setidaknya, hukuman seumur hidup ini memastikan terdakwa tidak akan kembali lagi ke dalam komunitas masyarakat,” ujarnya.
Meskipun begitu, Fahira Idris memandang tuntutan berupa hukuman mati terhadap Herry Wirawan yang sebelumnya diajukan jaksa penuntut umum (JPU) sejatinya adalah tuntutan yang lebih tepat.
Ia mengatakan tuntutan hukuman mati telah sesuai dengan dijadikannya kejahatan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa karena berdampak luas, baik bagi korban, keluarga korban, maupun masyarakat.
Tuntutan itu, lanjut Fahira, sesuai dengan amanat Pasal 81 ayat (1), ayat (3), dan ayat (5) juncto Pasal 76D Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
"Walaupun idealnya kejahatan seperti ini dihukum mati, seperti tuntutan JPU, tetapi saya tetap menghormati putusan hakim yang menghukum terdakwa seumur hidup. Namun, saya mendukung jika JPU ingin mengajukan banding," kata Fahira.
Selain itu, menurutnya, kejahatan yang dilakukan Herry Wirawan adalah kejahatan berlapis, mulai dari memperdaya, mengancam anak-anak, dan mengganggu kesehatan anak, baik fisik maupun psikis karena harus melahirkan di usia yang sangat muda.
Bahkan, lanjut dia, Herry telah melakukan kejahatan paling keji karena tindakan kekerasan seksual itu dilakukannya secara terus menerus dan sistematik. Perbuatan keji itu menyebabkan keresahan publik yang luas.
“Kejahatan yang berlapis-lapis seperti ini memang layaknya dihukum mati, tetapi sekali lagi kita hormati keputusan hakim," tegas Fahira.
Ia berharap kasus tersebut dapat menjadi kasus yang senantiasa diingat dan menjadi pertimbangan bagi penegakan hukum bahwa kejahatan seksual terhadap anak adalah kejahatan luar biasa sehingga hukumannya harus seberat mungkin.