Siem Reap, (Antara Sulut) - Bagi yang senang coba-coba makanan aneh dan ekstrem, Kamboja adalah tempatnya. Tradisi kuliner bangsa Khmer sangat sederhana: mereka memasak dan memakan hampir semua makhluk yang hidup dan bernyawa.

"Kami memakan apa saja seperti ular, kalajengking, jangkrik, belalang, kodok, kadal, monyet, anjing bahkan juga tikus sawah," kata Sambath Li, supir Tuk Tuk (mirip andong bermotor) yang membawa saya ke Pasar Malam yang hingar bingar di pusat kota Siem Reap, kota wisata Kamboja yang terkenal dengan kompleks candi bersejarah, Angkor Wat. 

Saya jadi penasaran untuk melihat di mana makanan aneh itu dijual. Di Indonesia, jarang atau hampir tidak pernah ada kedai atau restoran yang menjual makanan aneh semacam itu. Sebagai wartawan dan pencinta makanan, maka saya tertantang menikmati kuliner lokal di negara mana pun yang didatangi.

Begitu tiba di Kamboja, saya sudah tanya sana-sini soal makanan khas bangsa Khmer. Semua orang bilang, kuliner Kamboja mirip-mirip dengan Thailand atau Vietnam yang sama-sama masuk kawasan yang disebut Indochina. Lalu, apa dong makanan unik yang biasa dimakan rakyat Khmer?

"Orang Kamboja di pedesaan suka makan jangkrik goreng kering atau tarantula oseng-oseng," kata Kepala Bidang Penerangan KBRI Kamboja Adek Abidin.

"Mereka suka makan sapi guling dengan camilan belalang sanggrai," kata Ika Yulita Hasanah, seorang pengusaha Indonesia yang berbisnis di Kamboja.

"Saya tidak berani makan makanan aneh Kamboja, tapi pernah juga sih nyicipin saus semut rangrang," kata Dubes RI untuk Kamboja Soehardjono yang jauh sebelum menjadi duta besar pernah malang melintang menjadi pejabat Pemerintahan Transisi PBB di Kamboja (UNTAC) tahun 1992-1993.

Jangkrik goreng. Oseng-oseng tarantula. Saus semut rangrang. Hmmm....eksotik banged.

Maka mulailah petualangan kecil saya mencari tempat dimana dijual itu makanan. Untung ada yang mengantar ke pasar tumpah di pinggir jalan rute 60 arah Siem Reap-Kompong Thom.  Pasar tumpah itu tidak begitu jauh dari Angkor Wat, candi bersejarah mirip-mirip Borobudur di Indonesia. Atau malah lebih deket ke Ta Prohm, candi lain yang terkenal sebagai Candi Angelina Jolie, karena sebagai arkeologis cantik Lara Croft, Jolie pernah ambil gambar di situ untuk film "Tomb Raider".

Di pasar tumpah pinggir jalan itu, banyak dijual macam-macam barang, dari mulai sayuran dan buah-buahan serta mainan anak-anak. Sekarang sedang musim rambutan, langsat, salak dan durian yang melimpah ruah. Durian Kamboja, T.O.P banged. Tidak berlemak, kering tidak becek, tak berbau amoniak, dan murah meriah. Satu durian yang besar harganya cuma tiga atau empat dolar saja.

 
              Tenda kaki lima
Habis pesta duren, kami menuju kedai yang menjual makanan khas bangsa Khmer. Alamak... di tenda kaki lima yang ditunggui nenek tua dan anak gadisnya itu dipajang aneka macam baskom berisi jangkrik goreng, belalang panggang, dan oseng-oseng tarantula.

Ada juga sayuran segar, kacang panjang, mentimun, serta asinan mangga muda yang diiris-iris. Sambal dan saus tersedia sesuai selera. Mau coba saus asam kecut, ada. Saus semut rangrang, ada.

"Mau makan apa? Satu porsinya satu dolar," kata si nenek dengan bahasa Khmer.

Dion Laksamana, wartawan The Jakarta Globe, memesan jangkrik goreng. Ika Yulita, yang mengantar kami bersama suaminya Mohamad Helmi, mencoba belalang panggang.

Menyaksikan bentuk dan rupa penampilan makanan rakyat Kamboja itu tiba-tiba saya merasa mual. Selera langsung hilang. Tiba-tiba perut berontak. Setengah mati saya menahan rasa mau muntah. Untuk sopan santun, saya tidak memesan menu utama, tapi icip-icip sayuran dan buah-buahan saja.

Tapi Dion yang asal Flores tampak sangat menikmati petualangannya. Jangkrik-jangkrik masuk ke mulutnya dengan lancar. Gigi dan lidahnya berirama mengunyah. Terdengar bunyi kriyuk-kriyuk. "Enak juga...," katanya. Tapi setelah itu, Dion mengaduh kesakitan.

"Busyet deh bibir gua jadi jontor. Kaki-kaki jangkrik ini rupanya masih tajam. Sakit menusuk bibirku," kata  wartawan yang biasa meliput di Istana itu sambil menjulur-julurkan lidah memperlihatkan tusukan kaki jangkrik di bibirnya.

Sementara Ita Yulita tersenyum-senyum. Santai tapi pasti, wanita pengusaha itu memasukkan satu demi satu ke mulutnya belalang panggang yang sudah dikuliti sayapnya sehingga tinggal kepala dan badan atau perutnya saja yang kelihatan.  "Hmmm...gurih banget," katanya sambil memaksa saya mencobanya.

Saya tetap menolaknya dengan halus. Saya ternyata tidak bisa memakan makanan aneh seperti itu. Mendingan disuruh bikin 1000 berita ketimbang makan sepiring jangkrik goreng atau seporsi oseng-oseng tarantula.

Akhirnya saya cari Halal Food meski rada susah menemukannya di Siem Reap. Saya pesan sop ikan gabus dan tom yam di restoran D-Wau, milik Haji Abdul Halim asal Malaysia, yang lokasinya cukup jauh dari pasar tumpah. Saya makan dengan lahapnya. Ini baru aman dan lezat.

Sambil makan saya mengobrol dengan Haji Abdul Halim yang sudah puluhan tahun menetap di Kamboja. Menurut Abdul Halim, umumnya binatang-binatang liar di Kamboja dilindungi undang-undang dan perburuan terhadapnya dilarang. Namun, daging kadal, biawak, atau ular panggang merupakan produk yang biasa dijual di pasar-pasar desa.
    
           Akibat kemiskinan dan perang
Sebetulnya, kata pak Haji, orang Khmer lebih suka makan ayam atau ikan setiap harinya. Tapi kemiskinan yang membuat mereka harus memakan apa yang ditemukan di sekitar lahan pertanian dan sawah mereka. Sebanyak 80 persen penduduk Kamboja yang 14,5 juta adalah petani.

Apalagi, katanya, ketika zaman Khmer Merah dan Pol Pot berkuasa. Pada saat Kamboja terlibat perang saudara antara tahun 1975-1978, kehidupan bangsa Khmer sangat darurat dan memprihatinkan. Mereka harus bertahan hidup dengan memakan apa yang melata di sawah, keluar dari tanah, atau terbang di antara tanaman padi di sawah.

"Itulah sebabnya makanan semacam jangkrik, kalajengking, ulat dan belalang menjadi kuliner rakyat Kamboja," kata Haji Abdul Halim yang di restorannya tidak menyajikan makanan khas Khmer itu.

Di restoran besar, apalagi di hotel-hotel berbintang, hampir bisa dipastikan jarang ditemukan menu makanan ular sanca asam pedas atau biawak saus tiram. Pemerintah Kamboja tidak mempromosikan makanan rakyat seperti itu karena terkesan mempromosikan kemiskinan atau kedaruratan.

"Makanan eksotik seperti itu bisa disajikan pada acara-acara khusus, pesta rakyat, atau digunakan untuk keperluan pengobatan tradisional," kata Som Ratana, seorang pelayanan hotel tempat saya menginap.

Saya bertanya kepada Ratana apakah orang Kamboja juga memakan daging anjing? Ia menjawab bahwa di desa-desa Kamboja, penduduk memperlakukan anjing sama dengan kerbau, sapi, babi, ayam atau bebek.

"Kalau anjingnya masih kecil, dia berguna untuk menjaga rumah dari penjahat. Tapi kalau sudah besar dan badannya gemuk, ya kami potong untuk dimakan," kata Ratana enteng.
(A017)

Pewarta : Akhmad Kusaeni
Editor : Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024