Manado, (Antara Sulut) - Pada sebuah referensi, tahun 1883 nama awal kampung Tidore adalah Marapeta yang artinya Kampung Timbul Tenggelam. Disebut seperti ini bila tiba masa air pasang, sebagian besar pekarangan akan tergenang air.

Nama Tidore sendiri berawal dari penyebaran Islam di pulau Sangihe bagian Timur, tepatnya di desa Petta, Kecamatan Tabukan Utara yang dibawa Syamsuddin, seorang dari Maluku bagian utara.

Penyebaran agama Islam oleh Syamsuddin akhirnya menyentuh Sangihe. Awalnya mereka memulai dari Petta hingga ke sekitar dan di masa itu "Vereenigde Oostindische Compagnie" (VOC) sudah memberi pengaruh hingga ke kerajaan-kerajaan Sangihe.

Karena berbenturan dengan VOC, Syamsuddin bersama pengikutnya menyingkir dari Petta dan memilih pesisir pantai Dumuhung di Tahuna sebagai tempat tinggal. Dia dan pengikutnya berbaur dengan masyarakat sekitar dan kemudian menjadi cikal bakal nenek moyang masyarakat Kampung Tidore.

Buah dari penyebaran agama Islam oleh Syamsuddin, Kampung Tidore yang sekarang ini telah menjadi Kelurahan Tidore, Kecamatan Tahuna Timur, menjadi satu-satunya daerah dengan populasi umat muslim terbanyak yakni 90 persen, dari kira-kira 4.000 penduduknya.

Kesemarakkan kampung ini mulai terasa manakala bulan Ramadhan, malam takbiran, perayaan Idul Fitri hingga hari raya Ketupat yang dirayakan sepekan setelah Idul Fitri.

Pada perayaan Ketupat Lebaran di Tidore, lain dari perayaan serupa di di Sulawesi Utara atau di provinsi lainnya.

Di sini, warga yang tinggal di ruas jalan sekira satu kilometer menempatkan ketupat dan makanan lainnya di depan rumah yang berada di tepi jalan, selanjutnya dicicipi warga yang melakukan kunjungan ke kampung ini.

"Tradisi yang meletakkan makanan di tepi jalan seperti ini sudah menjadi tradisi turun-temurun warga di kampung ini," kata Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sutardji Adipati SPdI, di Manado Selasa.

Ada hal unik pada perayaan Ketupat Lebaran di kampung ini, kata Sutardji. Warga non muslim yang rumahnya berhadapan dengan jalan, juga menyediakan makanan serupa untuk dicicipi pengunjung, termasuk jajaran Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe yang berbaur dengan warga pada Minggu (26/8), tepat perayaan Ketupat Lebaran.

"Ada makna yang hendak disampaikan dalam perayaan ini. Selain melestarikan tradisi temurun, warga muslim dan non muslim hanyut dalam suasana keakraban. Suasana ini sangat menggugah," kata dia.

Lain di Kampung Tidore, lain lagi tradisi Iwad, sebuah tradisi komunitas umat muslim Kampung Arab yang bermukim di Kelurahan Istiqlal Kota Manado, Sulawesi Utara.

Tradisi yang dilaksanakan pada Idul Fitri hari kedua ini, dilakukan untuk mendoakan bersama keselamatan bangsa dan daerah. Gubernur Provinsi Sulawesi Utara Sinyo H Sarundajang bersama pejabat terkait lainnya, khusuk dalam doa bersama yang dipimpin oleh seorang imam masjid.

"Saya mengharapkan tradisi ini kiranya tetap dipertahankan. Ke depan bisa menjadi salah satu tujuan wisata religi dan iven tetap pariwisata Sulawesi Utara," harap Sarundajang, kala itu.

Warga Kampung Arab adalah komunitas pekerja keras, ekonominya maju karena berprofesi sebagai pedagang dan wirausaha. Mayoritas beragama muslim.

Ayub Akbar Ali, tokoh masyarakat Kampung Arab mengatakan, tradisi Iwad sudah berlangsung sejak 50 tahun lalu, dan setiap tahunnya dilaksanakan.

"Tradisi ini mulia tujuannya yaitu mendoakan keselamatan bangsa Indonesia dan tentunya bagi kerukunan kehidupan masyarakat di daerah tercinta Sulawesi Utara," kata dia.

Harapan dari doa-doa yang dipanjatkan ini, menurut Ayub, agar masyarakat hidup harmonis dan penuh berkat, sehingga menjadi masyarakat rukun dan damai.***2***


Pewarta : Karel Polakitan
Editor : Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024