Gelombang demonstrasi kaum muda bersama elemen lainnya di tahun 1998 membawa paradigma Indonesia baru. Arus perubahan di tahun 1998 kala itu, niatnya bukanlah persoalan siapa yang harus menang atau siapa yang kalah. Satu tujuan saat itu adalah meneriakan kalimat Reformasi Perjalanan Bangsa Ini. Kata reformasi yang dahsyat, mengguncang heroik rakyat Indonesia yang gandrung akan keadilan dan kesejahteraan. Meski membawa konsekuensi korban dari saudara-saudara kita juga, tentunya membuahkan satu hasil perbaikan bagi negeri kita, Indonesia tercinta. Terima kasih para pahlawan reformasi, jasamu akan selalu terkenang dalam catatan sejarah Indonesia.

Melakukan perubahan itu memang terkadang  membawa korban, baik itu korban jiwa, raga maupun materi. Bukan untuk bermaksud melegalkan pengorbanan yang membawa dampak kerusakan, tetapi sejarahlah sebagai bukti kesaksiannya.  Negara Malaysia misalnya, menggapai proses perubahan diawali oleh pengorbanan, ada yang menjadi martir. Kejadian ini terjadi di tahun 1969, untuk menuju New Economic Policy, pemerintah Malaysia harus melewati pengorbanan yang menyedihkan. Peristiwa ini tercatat sebagai peristiwa kelam Malaysia, negara serumpun Indonesia ini mengalami kerusuhan etnik antara orang Melayu dan kelompok-kelompok minoritas Cina dan India.

Hasilnya berbuah New Economic Policy,  sebuah strategi dalam mengunggulkan perusahaan-perusahaan milik Bumiputera, etnik Melayu. Dan akhirnya, lewat United Malays National Organization, mampu mendulang prestasi gemilang dengan gebrakan melebarkan ekspansi binis Bumiputera yang menggurita serta mampu tancapkan kekuasaan dalam pemerintahan dan membuahkan hasil di tahun 2003, ada 16 perusahaan milik Bumiputera masuk daftar bursa saham kuala lumpur. Selain Malaysia, ada juga negara langganan bencana Tsunami dan Gempa yaitu Jepang. Sebelum mengalami kemajuan seperti sekarang ini, negara matahari terbit ini harus terlebih dahulu lewati kecambuk perang dunia, barulah mampu memasuki era keajaiban ekonomi. Waktu periode perang dunia, tanah bumi Jepang hancur lebur bak neraka dunia.

Tapi lewat peristiwa kehancuran itu, Jepang menjadikan momen perang sebagai titik balik kesadaran dalam membangun negara yang semakin inovasi dan kreatif. Strategi bangkitnya, Jepang membentuk kelompok-kelompok usaha terpadu berukuran besar yang disebut keiretsu, mirip membangun basis industri. Perusahaan-perusahaan tersebut Mitsubishi, Mitsui, Toyota, dan Sumitomo diciptakan untuk memadukan semua tahap manufaktur produk tunggal tertentu atau banyak produk berbeda, melalui anak-anak perusahaan yang beroperasi di bawah payung yang sama.

Sekarang untuk Indonesia, satu buah manis dari hasil reformasi adalah pelaksanaan otonomi daerah. Pemerintahan yang sebelumnya dikenal rezim sentralistik, pasca reformasi berubah gaya bernegara desentralisasi, yakni memberikan ruang lebih ekspresi daerah-daerah di penjuru nusantara. Logikanya kekuatan daerah itu fondasi penting bagi kekuatan dan keutuhan nasional.  Lewat ini, melalui pidato kenegaraan republik Indonesia tahun 2012, di hari kemerdekaan yang ke-67, demi memacu semangat otonomi daerah, pemerintah pusat akan mengucurkan dana Rp 500 triliun bagi daerah-daerah di Indonesia, tentu saja pidato presiden ini indah didengar. Yang terpenting bagi rakyat adalah pembuktian  pelaksanaan dari kata-kata tersebut.

Indonesia berjumlah 33 provinsi, dikenal sebagai negara luas, berkepulauan surga dunia. Tapi nyata-nyata ini hanya sekedar teori, sebab banyak daerah-daerah ketika itu, kesannya menganggur, mati suri. Banyak potensi yang belum digali, rakyat di daerah tidak bisa berunjuk gigi, karena negeri Indonesia diterapkan model sentralistik oleh pemerintahan yang otoriter. Mirisnya, kelengkapan infrastruktur di beberapa daerah pelosok, utamanya di kawasan perbatasan tidak memadai, akhirnya tertinggal penduduk daerah hidup dalam nuansa kepirhatinan tanpa tersentuh ‘gurihnya’ pembangunan.

Waktu itu, orang belum kenal apa itu daerah Gorontalo, Bangka Belitung, Banten, Manado. Malahan seolah menganggapnya sebagai negeri dari antah berantah,  yang tidak tergambar dalam peta Indonesia. Dulu itu, jamannya orde baru, orang lebih tahu apa itu Jakarta dan juga Bali. Orang daerah-daerah pun, dahulu lebih bangga Jakarta, kalau belum ke Jakarta, bukan orang modern dan hidupnya akan susah terus menerus. Faktor ini bukan tidak lain penyebab dari pengaruh alat kekuasaan yang cenderung sentralistik, segala hal pembangunan negara dipusatkan pada satu titik, akibatnya tidak terjadi pemerataan pembangunan, ketimpangan dan cemburu sosial terjadi di daerah-daerah.  Jelas, tentu saja ini telah mencederai sila ke lima Pancasila, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Badai pasti berlalu, runtuhlah arsitektur sentralistik orde baru. Rakyat memimpikan Indonesia baru, raih kejayaan bersama lewat desentralisasi. Penerapan desentraliasi harapan rakyat agar dapat seperti apa yang pernah dibahasakan oleh Presiden Amerika Serikat, Roosevelt, bebas dari kesengsaraan hidup (freedom from want). Berkat paradigma baru atas hasil reformasi Indonesia berupa konsep otonomi daerah, lahirlah ide pemekaran daerah, termasuk satu di antaranya Gorontalo. Secara administratif pada 16 Februari 2001, yang mengacu pada Undang-undang nomor 38 tahun 2000, Gorontalo telah berpisah dari provinsi Sulawesi Utara. Tuntutan warga masyarakat Gorontalo menjadi provinsi tersendiri adalah satu hal kebutuhan yang teramat penting. Pasalnya, Gorontalo yang memiliki luas sebesar 12.215,44 kilometer persegi butuh penanganan intens dan desentralisasi itu satu-satunya jalan keluar terbaik, menunjukan sebagai daerah yang mandiri ‘merdeka’ membangun daerahnya secara otonom.

Ini senafas dengan ideologi kebangsaan yang dimiliki oleh pahlawan nasional kita, Tan Malaka, bahwa, “Manusia mesti mematahkan semua yang merintangi kemerdekaannya. Ia harus merdeka !. Sebuah bangsa pun mesti merdeka berpikir dan berikhtiar. Jadi ia mesti berdiri atau berubah dengan pikiran dan daya upaya yang sesuai dengan kecakapan, perasaan dan kemauannya.” (Tan Malaka, Aksi Massa hal 139). Sekarang, lewat otonomi daerah apakah Gorontalo sudah berhasil dengan pemekaran daerahnya ? apakah oleh otonomi daerah, warga masyarakat Gorontalo telah digiring ke lembah kesejahteraan ? memasuki usia Indonesia yang ke 67 tahun, tentu banyak harapan-harapan kehidupan yang lebih baik, optimisme menuju bangsa yang maju dan berperadaban, termasuk daerah Gorontalo yang masuk dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tanah Gorontalo itu surga dunia, seperti lagu Koes Ploes “Tanam tongkat kayu dan batu bisa jadi tanaman,” di Gorontalo tanahnya subur, gemah ripah loh jinawi, tidak seperti di negara-negara Timur Tengah, gersang berpadang pasir. Mengutip dari Dinas Pertanian Gorontalo tahun 2009, dibuktikan bahwa, tanaman bahan makanan untuk luas panen sawah 2009 47.733 hektar dengan produksi mencapai 256.217 ton. Sedangkan luas panen jagung seluas 124.798 hektar dengan produksi 569.110 ton dan Kabupaten Pohuwato sebagai rajanya penghasil jagung terbesar 42,01 persen dari total produksi jagung provinsi.

Sekarang sudahkah kaum petani-petani kita makmur sentosa ?. Padahal berkat peran para petani Gorontalo, membuat jagung daerah ini terkenal sampai penjuru nusantara. Gorontalo populer sebagai lumbung jagung, mampu penuhi kebutuhan jagung nasional. Petani harusnya masuk golongan masyarakat ekonomi ke atas, tapi temuan dilapangan sebagian besar masih masuk indeks pembangunan manusia terendah, akses peroleh pendidikan, kesehatan dan pemukiman layaknya masih memiriskan. Inilah pekerjaan rumah Gorontalo Indonesia kita, yang mesti dituntaskan.

Hamparan pantai yang panjang  misalnya di Kabupaten Gorontalo Utara merupakan keranjang harta benda bagi modal kehidupan warga. Isi laut didalamnya dapat dimanfaatkan sebagai peningkatan kesejahteraan. Ikan laut, rumput laut, dan biota laut lainnya sebenarnya sahabat yang rela jadi penyambung hidup warga, dapat diolah sebagai komoditi perekonomian demi menuju Indonesia yang sejahterah.

Di negara bagian Amerika Serikat, Pulau Hawaii, potensi wisata pantainya sebagai andalan utama. Hawaii yang beribukota Honolulu ini adalah artisnya wisata papan atas dunia. Daerah yang berpenduduk asli suku Polynesia ini telah menjadi favorit wisatawan mancanegara karena pantainya yang dirawat, dianggap pembawa berkat bagi penduduk setempat. Makanya tidak heran, saking arifnya Hawaii terhadap alam pantainya, selalu diidentikan sebagai raja wisata pantai dan di daerah inilah yang pertama kali ditemukannya olah raga selancar oleh penduduk asli Hawaii bernama Duke Kahanamoku.

Lalu bagaimana dengan alam pantai Gorontalo, apakah bisa ? tentu bisa kalau kita mau berpikir jernih. Era globalisasi, memasuki abad 22 nanti, wisata itu masuk kebutuhan pokok manusia. Objek wisata jadi incaran para manusia. Orientasinya mencari relaksasi kehidupan atau hanya sekedar ingin mencari tahu pengetahuan geografis belahan negara-negara. Tetangga Gorontalo seperti Bali sudah dikatakan selangkah lebih maju dalam mengelola alam keanekaragaman hayatinya, termasuk alam pantai. Satu di antaranya siapa yang tidak mengenal Pantai Kuta, sebelah Selatan Denpasar Kabupaten Badung. Pantai ini populer oleh masyarakat global sebagai pantai yang dimiliki Indonesia yang menyuguhkan keindahan matahari terbenam (sunset beach).

Gorontalo sendiri sebenarnya punya potensi ini. Sekali-sekali lewat daratan arah Kabupaten Gorontalo Utara, jalur Jalan Trans Sulawesi Lintas Barat terdapat Pantai Monano berpadang pasir putih. Bentangan pasirnya yang luas membuka cakrawala kita akan kesedaran, bahwa kita ini sebenarnya mahkluk yang tidak seberapa hebatnya, bila dibandingkan oleh bukti dari penciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.  Pantai yang berhadapan langsung dengan laut Sulawesi ini super indah. Pasirnya yang putih ternyata dihiasi beberapa keong-koeng pantai yang berbentuk unik dan warna menarik. Sekelilingnya pun masih banyak ditumbuhi beberapa pohon jarak, kelapa, memberikan keteduhan. Yang pasti, keberadaan Pantai Monano masih murni alami, terjaga dari ulah-ulah kerakusan yang merusak oleh manusia. Tentu saja harapan ini akan tetap terus-menerus hingga kiamat terjadi.

Sayangnya, keperawanan Pantai Monano yang indah tersebut belum terkelola, dilirik sebagai objek wisata. Sebenarnya bila dikembangkanini bisa jadi penambah pendapatan daerah Gorontalo. Secara umum saja, (anonym 2006), provinsi Gorontalo pada posisi selatan berhadapan langsung dengan perairan Teluk Tomini dengan panjang garis pantai 320 kilometer dan teritorial 7,4 kilometer persegi. Sementara di bagian utara, menghadap perairan laut Sulawesi dengan panjang garis pantai 270 kilometer dan luas territorial 3,10 kilometer persegi. Tentu saja, hal ini sebenarnya merupakan aset warga yang tidak ternilai oleh materi. Harusnya bangga, punya kekayaan yang telah diberikan Tuhan Yang Maha Esa begitu melimpah dengan tetap mensyukuri, menjaga, mengelola dan mengembangkannya bagi kemakmuran bersama. Belum lagi sumber pertambangan, Gorontalo berada di geografis bumi yang luar biasa. Misalnya di Kabupaten Pohuwato Gunung Pani pertambangan emas. Di Kabupaten Bone Bolango tambang emas di Tapadaa.  Kabupaten Gorontalo Utara Desa Buladu yang dikenal eksplorasi dan eksploitasi emas sejak pemerintah Hindia Belanda abad ke 18.

Di negeri kita, bicara pertambangan itu sangat alergi nan ngeri. Diibaratkan sesuatu yang berhubungan dengan konflik horizontal maupun vertikal. Negara lain, pertambangan itu sebagai keberkahan. Lihat saja, lewat pertambangan Bijih Uranium, negara Kazakhstan mampu kuasai sekitar satu perlima cadangan bijih uranium dalam mengahasilkan daya nuklir sipil, Kazatomprom sepenuhnya milik negara bertujuan menjadi satu-satunya penghasil uranium terbesar di dunia 2010. Juga negara Republik Maroko, lewat Office Cherifien des Phosphates jadi pemasok fosfat terbesar dunia. Perusahaan ini menguasai hampir setengah cadangan dunia yang telah diketahui, bagian yang cukup besar untuk memainkan peran utama dalam penentuan harga. Fosfat adalah bahan utama dalam pembuatan pupuk dan kerena itu ikut menentukan produksi bahan pangan dunia. Pastinya segala hal terkait bencana tambang tidak akan menimpa Gorontalo Indonesia kita. Hal buruk bisa dihindari bila kita mampu ciptakan pertambangan yang maju bersama, bukan hanya milik segelintir pejabat, kelompok dan golongan tertentu. Tambang harus milik kita semua, sebagaimana cita-cita konstitusi kita, bumi, tanah dan air dikuasai oleh negara untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat keseluruhan.  Kalau dalam bahasa Mohammad Hatta adalah “Bagi kita, rakyat itu yang utama, rakyat umum, yang mempunyai kedaulatan, kekuasaan. Karena rakyat itu jantung hati bangsa.” (Daulat Ra’jat 20 September 1931).

Bukan berarti putra-putri Indonesia yang mengelola, lantas hanya dimonopoli orang tertentu, hanya memperkaya diri secara sempit, namun melupakan prinsip Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Idealnya, negara harus menguasai sumber daya alam Indonesia, tidak pakai kemunafikan yang melandasakan nasionalisme dan terasing dari pergaulan internasional. “Kompetisi bebas sebenarnya bagus buat rakyat. Anda akan membebaskan rakyat dari cengkraman monopoli-monopoli yang bisa menghisap atas nama nasionalisme.” (Mantan Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani 2009). Satu lagi sebagai penegasan, pertambangan Gorontalo Indonesia dilarang keras dikuasai 100 persen oleh kepentingan negara asing. Dalam hal ini, jangan sampai Gorontalo Indonesia Kita hanya jadi penonton, berdiam diri bak ‘sapi ompong’, tidak bisa menikmati berkahnya tambang pemberian Tuhan. Dalam pandangan Soekarno, “Manusia yang memiliki akal dan pengetahuan akan dapat melakukan evaluasi atas kehidupannya.” (Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, 1964).

Kenapa hal itu wajib dilakukan, agar goresan tulisan yang pernah dilontarkan oleh pahlawan nasional Indonesia Tan Malaka dalam Pergulatan Menuju Republik  tak terulangi kembali. Tan Malaka berkata, "Rakyat Indonesia ! kalian sudah bungkuk kerena diinjak-injak oleh kaum impreialis ! Kalian sudah tinggal kulit pembalut tulang saja karena diperas habis-habisan oleh kaum kapitalis ! Kalian sudah hancur karena diracun oleh orang-orang yang dogmatis ! Jika ada satu bangsa di dunia yang sangat bodoh, paling banyak dianiaya, paling banyak dihina, paling terbelakang, maka bangsa itu tiada lain adalah bangsa kalian sendiri !.” (Harry A Poeze, (1988) Tan Malaka: pergulatan Menuju Republik 1925-1945).

Kacang lupa kulitnya,habis manis sepah dibuang, dua pepatah ini pun patut dipegang. Dalam mengelola pertambangan Gorontalo, tidak melupakan akan kesimbangan alam. Berdasarkan kajian Badan Lingkungan Hidup, Riset dan Teknologi Informasi Gorontalo tahun 2012, tutupan lahan hijau atau kawasan hutan di Gorontalo menurun 10 sampai 20 persen akibat banyaknya pembukaan lahan pertambangan secara ilegal, tanpa pengawasan dan bimbingan.

Hal itu tidak bisa dibiarkan. Patokan penjagaan keseimbangan alam itu prasyarat mutlak, demi memenangkan dalam pertarungan melawan serangan musuh bernama Pemanasan Global. Pelestarian alam tentu dapat menjamin terciptanya kedamaian masyarakat kini dan kedepan nanti, bagi anak cucu kita.
Pemanfaatan sumber daya alam yang dikandung oleh Gorontalo tidak selayaknya dilakukan secara membabi-buta demi mengejar materi sesaat, mestinya perlu diperhatikan kajian-kajian mendalam dan terukur. “Meniadakan hubungan kajian ekonomi dengan nilai-nilai moral humanis merupakan suatu kekeliruan besar dan tidak bertanggung jawab dalam menjaga keselamatan manusia dan alam semesta.” (Ahmad Saefuddin, Studi Nilai-nilai Sistem Ekonomi Islam 1984)

Karena itulah, itu tugas semua. Menjaga dan mengelola secara baik bumi Gorontalo bukan tanggung jawab individu per orangan tertentu saja. Masing-masing dari kita turut memiliki peran dalam upaya mengembangkan, memajukan daerah Gorontalo dengan semangat persatuan Indonesia. Meminjam istilah dari Pertamina, Bangsa Untung Kita Untung. Dan bukan sebaliknya, Bangsa Buntung Kita Murung. Selamat hari ulang tahun bangsaku, usia sudah memasuki 67 tahun, berharap menjadi bangsa dan negara yang lebih baik, menuju berperadaban tinggi, disegani dipenjuru dunia.

* Blogger di www.budisusilo85.blogspot.com

Pewarta : Budi Susilo *
Editor : Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024