Manado,  (Antara Sulut) - Mengajar untuk memberikan pengetahuan kepada anak-anak yang mengalami kecacatan tidaklah gampang.

Kemampuan teori dimiliki seorang guru, tidaklah cukup dalam mendidik anak-anak yang mengalami tuna netra, tuna grahita, tuna daksa dan tuna rungu.

Tetapi harus diikuti dengan pengorbanan diri dan memahami keberadaan anak-anak tersebut.

Hal itulah dilakukan Martintje Hiboran Pulu, seorang guru juga Kepala Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Manganitu Kecamatan Manganitu Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.

"Menghadapi anak-anak seperti ini tidakah gampang," kata Martintje.

Menurut Martintje, dalam memberikan pelajaran kepada anak-anak tersebut harus lebih dulu belajar, memahami keberadaan meraka.

"Cara-cara, kebiasaan anak-anak tersebut di rumah harus dipelajari dulu, baru diajarkan pelajaran," kata Martintje yang lahir di Kakorotan Kecamatan Nanusa Kabupaten Talaud, 1 Maret 1963

Langkah-langkah itulah yang dilakukannya sejak menjadi guru SDLB di Manganitu pada tahun 1986 sampai saat ini atau sudah sekitar 25 tahun lebih.

Selain itu, lanjut Martintje, dalam mendidik anak-anak itu, sebagai guru tidak boleh jaga jarak.

Tetapi anak-anak tersebut dijadikan semacam teman, sehingga mereka tidak merasa minder.

"Dengan demikian, memudahkan guru mengajarkan anak-anak tersebut supaya bisa mandiri, bergaul serta membuat sesuatu yang dapat dijadikan penghidupan bagi masa depan mereka," kata Martintje, tamatan dari Sekolah Guru Luar biasa (SGLB) jurusan Tuna Rungu tahun 1986 di Surabaya, Jawa Timur.

Bagi Martintje, menjadi guru di SDLB Manganitu tersebut adalah suatu kebanggaan.

Martintje bersyukur, Tuhan menempatkan dirinya untuk dapat mengabdi menjadi guru di sekolah itu.

Selain bisa memberikan ilmu pengetahuan yang diperoleh, juga dapat belajar dari kehidupan anak-anak.

"Ada suatu sukacita yang dirasakan. Selain saya dapat membina, merangkul, membagi rasa dengan mereka, dari kehidupan anak-anak ini juga dapat belajar sabar, memahami dan menerima keberadaan anak-anak tersebut," kata isteri dari Piet Hein Tamatompo, Kepala Seksi Imunisasi di Dinas Kesehatan Kabupaten Sangihe.

Dia menjelaskan, dalam memberikan pelajaran terhadap anak-anak tersebut tidaklah mudah, sebab jenis ketunaan dialami bervarisi tidak semua sama.

Ada yang berat, ada yang sedang dan ringan.

Dalam memberikan pelajaran, harus juga memakai alat peraga seperti untuk tuna netra mengunakan huruf timbul atau braille, sementara tuna rungu menggunakan bahasa isyarat.

Namun semuanya dapat dilaksanakan denga baik.

Terdapat beberapa anak yang setelah keluar dari sekolah itu sudah bisa mandiri.

"Ada yang kerja jual koran, ada yang kerja di salon, ada yang jadi tukang kayu atau bangunan," katanya.

Dia menambahkan, melihat mereka dapat bekerja suatu kebanggaan tersendiri yang dirasakan.

"Sebab salah satu tujuan mendapatkan pendidikan di sekolah itu supaya anak-anak bisa mandiri, tidak tergantung kepada orang lain," tuturnya.

Dia menambahkan, caranya antara lain dalam pendidikan itu mengembangkan bakat atau potensi yang dimiliki anak tersebut.

"Mereka juga sudah dapat mengatur diri sendiri atau merapihkan rumah sudah baik," katanya.



BERIKAN PEMAHAMAN



Ditengah gencar-gencarnya dalam upaya untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak cacat tersebut, namun masih ada juga sikap dari sebagian orang tua yang belum memahami tentang pendidikan luar biasa.

Masih terdapat masyarakat atau orang tua yang memiliki anak cacat namun "menyembunyikan" keberadaan anak itu.

Kendatipun telah berada dalam usia sekolah, anak tersebut tidak dibawa ke sekolah.

Melihat kondisi tersebut, kata Martintje, jika mengetahuinya langsung melakukan "jemput bola" dengan mendatangi orang tua yang memiliki anak seperti itu.

Para orang tua diberikan pemahaman tentang pendidikan luar biasa, untuk anak-anak.

Selain itu, pihaknya selalu melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang betapa pentingnya pendidikan luar biasa tersebut.

"Sosialisasi dilakukan antara lain melalui media seperti radio," katanya.

Dengan pemberian pemahaman tersebut berharap masyarakat ikut membantu dengan menginformasikan ketika ada anak seperti ini.

Informasi ini sangat penting, sebab mereka juga sebagai ciptaan Tuhan dan anak bangsa yang perlu mendapatkan pendidikan sesuai.

"Masyarakat harus menerima keberadaan mereka, serta menopang dan menunjang sehingga ketika anak-anak itu mendapatkan pendidikan, mereka boleh bergaul dan kerjasama dengan masyarakat," katanya.

Dengan upaya tersebut, kata Martintje terdapat masyarakat atau orang tua akhirnya menyekolahkan anak mereka, yang sebelumnya disembunyikan.

"Menggembirakan jika ada orang tua yang paham kemudian membawa anak-anak untuk datang belajar ke sekolah," katanya.



BUTUH PEMAMBAHAN FASILITAS

SDLB Manganitu, merupakan satu-satunya sekolah yang berada di kabupaten Sangihe yang melayani anak-anak tuna rungu, tuna daksa, tuna grahita dan tuna netra.

Dengan kondisi seperti ini, sekolah tersebut menjadi tempat belajarnya anak-anak yang datang dari berbagai tempat di daerah kepulauan dan perbatasan itu.

Murid tersebut antara lain, berasal dari Kecamatan Tatoareng, Tabukan Utara, Tabukan Tengah, Tahuna, Manganitu Selatan dan Manganitu.

Martintje mengatakan, kendatipun nomenklaturnya SDLB, namun dalam parkteknya sekolah tersebut memberikan pendidikan kepada murid hingga tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA).

"Saat ini sementara diperjuangkan statusnya untuk mengubah SDLB menjadi sekolah luar biasa (SLB) yang melayani anak dari tingkat SD hingga SMA," katanya.

Menurut ibu tiga anak tersebut, jumlah murid yang ada di sekolah tersebut saat ini sebanyak 70 siswa dari tingkat SD hingga SMA yang dilayani sekitar 18 guru termasuk dua tenaga honor dan penjaga sekolah.

Dari total 70 murid tersebut yang tinggal didalam asrama di sekolah itu sekitar 16 orang.

"Jumlah yang ditampung untuk masuk asrama masih terbatas, karena fasilitasnya terbatas," katanya.

Selain itu, kata Martintje alokasi dana yang diberikan masih kurang.

Pemerintah mengalokasikan bantuan Rp5.500 per anak setiap harinya. Bantuan itu antara lain untuk makanan dari anak -anak yang tinggal di asrama.

Sementara jumlah anak-anak yang bersekolah lebih dari penghuni asrama tersebut.

"Sering anak yang tidak tingal di luar asrama mendapatkan jemputan dari orang tua sudah telat. Kondisi ini membuat anak-anak itu harus diberi makan bersama dengan anak-anak penghuni asrama," katanya. Martintje menuturkan, untuk itu beberapa langkah atau program telah dibuat guna memberikan pelayanan terbaik kepada anak-anak.

Seperti telah memprogramkan penambahan fasilitas kamar, supaya seluruh anak-anak tersebut bisa ditampung dalam asrama.

Prorgam lainnya untuk pengadaan penambahan ruang laboratorium komputer, kendaraan dinas sekolah,rumah dinas guru serta sarana pendukung lainnya.

Pengadaan kendaraan dinas itu, penting dalam menunjang kegiatan dari anak-anak.

Sebab pelajar di sekolah itu sering diundang untuk datang ke gereja atau kegiatan lainnya guna mengisi berbagai acara seperti menyanyi.

"Band sekolah sering diundang, sehingga untuk memenuhi undangan itu harus menyewa kendaraan mengangkut alat-alat musik, para pemain yakni para siswa dan guru pendamping," kata Martintje yang menjabat kepala sekolah tersebut sejak tahun 2009.

Dia mengatakan, berharap program-program itu dapat terlaksana dengan baik dalam upaya peningkatan mutu pendidikan anak.

Kerinduannya supaya fasilitas atau kondisi sekolah yang berada di daerah perbatasan itu sama dengan yang berada di Pulau Jawa.

"Saya sering mendapat tugas di Jawa. Sekolahnnya bagus dengan fasilitas yang tersedia memadai.Saya rindu sekolah di Sangihe sama seperti disana," kata Martintje.@antarasulut






Pewarta : Jorie Darondo
Editor : Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024