Manado (ANTARA) - Bila masyarakat melihat keberadaan pengungsi di suatu wilayah, kemungkinan besar akan terpikir bahwa ini merupakan bagian dari tugas dan fungsi (tusi) Ditjen Imigrasi (Ditjenim).

Hal ini tidak sepenuhnya benar dan tidak seutuhnya salah. Pasalnya, salah satu unit pelaksana teknis (UPT) Ditjenim yang mengambil peranan atas kehadiran pengungsi adalah rumah detensi imigrasi (rudenim) meski selama ini terdapat paradigma yang belum seragam mengenai tusi rudenim.

Mengapa demikian? Sebab kadang dalam pertemuan terbatas dengan para pemangku kepentingan lain, timbul persepsi bahwa fungsi utama rudenim sebagai tempat penampungan pengungsi. Sementara itu, dari pihak pemangku tusi keimigrasian sendiri, hal ini sedikit berbeda.

Hal ini terjadi karena terdapat pijakan dasar hukum yang berbeda terkait dengan rudenim. Dengan berpedoman pada UU Keimigrasian dan ketentuan di bawahnya, fungsi penanganan pengungsi bukan merupakan tusi rudenim.

Ketentuan fungsi rudenim dalam penanganan pengungsi hendaknya diatur dalam draf UU Keimigrasian yang saat ini sedang digarap di DPR dan juga dalam ketentuan turunannya.

Dasar hukum yang lain ialah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125/2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri yang merupakan turunan dari UU No. 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri.

Kebijakan Keimigrasian

Sekilas terkait dengan sejarah rudenim. Rudenim pada awalnya bernama Karantina Imigrasi yang berdiri pada tahun 1992. Ini sesuai dengan UU No. 9/1992 tentang Keimigrasian, yakni Karantina Imigrasi adalah tempat penampungan sementara bagi orang asing yang dikenakan proses pengusiran atau deportasi atau tindakan keimigrasian lainnya.

Istilah karantina Imigrasi berubah menjadi rudenim sesuai Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI no : M.01.PR.07.04/2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rudenim.

Pada tahun-tahun tersebut, fungsi rudenim masih konsisten sebagai tempat penampungan sementara bagi orang asing yang dikenakan pengusiran atau deportasi atau tindakan keimigrasian lainnya sehingga jumlah rudenim di seluruh Indonesia pun masih sangat terbatas.

Pada Permenkumham Nomor M.HH-11.OT.01.01/2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rudenim, yang sampai saat ini belum ada ketentuan perubahannya, rudenim adalah tempat penampungan sementara bagi orang asing yang melanggar peraturan perundang-undangan yang dikenakan tindakan keimigrasian dan menunggu pemulangan atau deportasi.

Dalam Permenkumham ini, tidak terdapat satu pasal pun yang menyebutkan fungsi rudenim adalah menangani pengungsi, baik secara eksplisit maupun implisit.

Setelah diterbitkannya UU No.6/2011 tentang Keimigrasian, fungsi rudenim masih tetap sama, sebagai tempat penampungan sementara bagi orang asing yang dikenai tindakan administratif keimigrasian (TAK). TAK dikenai pada orang asing bila telah habis masa berlaku izin tinggalnya.

Fungsi rudenim secara lebih detail dijabarkan dalam UU ini dan fungsi lain rudenim, yaitu korban perdagangan orang dan penyelundupan manusia ditempatkan di rudenim.

Merujuk pada pasal-pasal tersebut di atas dan sejalan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 31/2013 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6/2011 tentang Keimigrasian, implementasi fungsi rudenim masih belum beranjak dari sebagai tempat penampungan sementara bagi orang asing yang dikenai TAK.

Bahkan, dalam PP teranyar, yaitu PP 48/2021 tentang Perubahan Ketiga atas PP No. 31/2013 tentang Peraturan Pelaksanaan UU 6/2011 tentang Keimigrasian, belum terdapat perubahan terkait dengan fungsi rudenim. Oleh karena itu, fungsi rudenim dalam penanganan pengungsi pun perlu dituangkan dalam perubahan PP berikutnya.

Hal ini juga berimplikasi pada kapasitas daya tampung rudenim di wilayah tertentu dan berimplikasi juga pada capaian kinerja rudenim sesuai dengan ketentuan keimigrasian.

Kapasitas rudenim tentu tidak akan mampu menampung pengungsi yang berjumlah cukup besar. Karenanya memerlukan kerja sama dengan Instansi terkait lainnya dan Organisasi Internasional.

Bahkan sampai tahun 2021 ini, hanya terdapat 13 rudenim yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Fungsi rudenim sebagaimana yang termaktub dalam UU No. 6/2011 dan PP 31/2013 inilah yang menjadi paradigma dan terinternalisasi secara holistik ke seluruh jajaran Ditjenim. Dengan berpatokan pada ketentuan tersebut, sepak terjang rudenim pun berfokus pada penampungan pelanggar TAK dan sebagian kecil korban perdagangan orang serta penyelundupan manusia.

Berpedoman pada ketentuan yang telah diuraikan di atas, wajar bila dalam perwujudan tusi rudenim belum optimal dalam penanganan pengungsi. Jika ditilik dari sumber daya manusia, personel yang mengabdi di rudenim masih dalam jumlah yang tidak terlalu banyak, bahkan terbilang sedikit. Dari segi sarana dan prasarana, masih terbatas sesuai dengan DIPA Ditjenim.

Walaupun demikian, rudenim di daerah tertentu acap mengambil peran membantu pemda setempat dan organisasi internasional dalam penanganan pengungsi. Bahkan, terkadang mengambil posisi kunci dalam penanganan pengungsi. Hal ini dapat dikategorikan sebagai suatu kebijakan yang bersifat diskresi.

Ketentuan Lain

Namun, sejak 2016 terdapat Perpres No. 125 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Yang menjadi pertimbangan Perpres tersebut adalah melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) UU No. 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri.

Bila ditelisik lebih jauh, terdapat disparitas antara UU No. 37/1999 dan Perpres No. 125/2016 sebab UU 37/1999 mengatur kebijakan terkait Hubungan Luar Negeri, sedangkan Perpres 125/2016 pada beberapa pasal memuat fungsi rudenim dalam penanganan pengungsi.

Pada sisi yang lain cikal bakal rudenim mengacu pada ketentuan keimigrasian, dan tak satu pun ketentuan keimigrasian yang menyatakan bahwa fungsi rudenim ialah menangani pengungsi.

Sebagaimana yang diketahui bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yakni UUD NRI Tahun 1945, Tap MPR, UU/PP pengganti UU, PP, perpres, perda provinsi, perda kabupaten/kota.

Jika dicermati secara hierarki, tanpa bermaksud mengecilkan perpres, payung hukum rudenim untuk melakukan fungsi yang dituangkan dalam perpres belum cukup kuat, mengingat kedudukan perpres berada dua tingkat di bawah UU.

Oleh karena itu, tugas rudenim yang dibebankan dalam Perpres No. 125/2016 seyogianya diangkat ke atas dalam koridor undang-undang.

Hal ini berarti substansi Perpres No. 125/2016 yang terkait fungsi rudenim dalam menangani pengungsi perlu ditransformasikan pada ketentuan yang lebih tinggi yaitu dituangkan undang-undang.

Transformasi tersebut dapat dikompilasi ke dalam draf RUU Keimigrasian yang sedang digarap di DPR sehingga terjadi harmonisasi antara fungsi rudenim dalam UU No. 6/2011 dan Perpres No. 125/2016.

Pasal lain yang terkait dengan rudenim yaitu Pasal 9 sampai Pasal 13. Pada pasal-pasal ini jelas tertuang bahwa tusi rudenim makin melebar dalam penanganan pengungsi serta tusi tambahan yaitu melakukan koordinasi dengan PBB.

Penambahan tusi rudenim yang cukup signifikan dalam praktik di lapangan terkadang menimbulkan sikap ambigu bagi pejabat terkait karena hal ini tidak dideskripsikan dalam kebijakan keimigrasian yang ada.

Namun, pada saat bersinergi dengan para pemangku kepentingan lain, jajaran rudenim dituntut mengambil peran sesuai dengan Perpres No. 125/2016.

Akan tetapi, peran ini belum optimal karena adanya kendala tidak eksplisitnya fungsi rudenim dalam ketentuan keimigrasian.

Di sinilah dibutuhkan pengokohan beberapa pasal dalam Perpres No. 125/2016 dicetuskan dalam draf UU Keimigrasian yang saat ini tengah digodok.

Hal lain pada Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1). Selama ini beberapa pemda telah mengambil peran utama dalam penanganan pengungsi, seperti Pemda Pekanbaru, Pemda Aceh (tanpa bermaksud mengecilkan peran pemda lain, ini hanya sebagai ilustrasi saja).

Mengenai pasal ini pun perlu penegasan lebih lanjut terkait pembagian tugas sampai habis antar para pemangku kepentingan dalam penanganan pengungsi. Selama ini belum ada keseragaman pembagian tugas.

Misalnya, pada suatu wilayah rudenim memainkan peran dominan. Akan tetapi, pada wilayah yang lain pemda yang berperan utama.

Pasal 26 ayat (3), yang menunjukkan kolaborasi antara pemda, organisasi internasional, dan rudenim. Sementara itu, pada ketentuan keimigrasian yang telah diterbitkan, fungsi rudenim ini tidak disebutkan, baik secara tersirat maupun tersurat.

Tidak pelak lagi dalam implementasi pasal ini tentu tidak terdapat standardisasi mengenai pola hubungan kerja yang akan dibangun.

Dapat pula diterbitkan UU tentang Pengungsi agar terjadi kesatuan pandangan dan langkah dari para pemangku kepentingan terkait dalam penanganan pengungsi.

Namun, bukan berarti Indonesia akan meratifikasi Konvensi Roma 1951 dan Protokol 1967. Ini hanya sebatas agar para pemangku kepentingan terkait memiliki paradigma yang searah dan sejalan dalam menyikapi fenomena pengungsi yang makin kompleks dan dinamis dari waktu ke waktu.

Persoalan pengungsi tidak hanya menyangkut aspek sosial budaya, tetapi juga tak kalah penting adalah aspek hukum dan ketahanan sebagai bangsa yang bermartabat.

*) Fenny Julita,S.Sos.,M.Si. adalah Analis Keimigrasian Ahli Madya, Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM RI.


 

Pewarta : Fenny Julita *)
Editor : Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024