Manado (ANTARA) - PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), bagian dari Sub Holding Power New Renewable Energy PT Pertamina (Persero), akan bertransformasi menjadi perusahaan energi hijau kelas dunia pada 2030.
Direktur Utama PGE Ahmad Subarkah Yuniarto mengatakan perlu upaya keras dan sangat banyak untuk bergerak menjadi sebuah perusahaan green energy kelas dunia.
Untuk itu, kapasitas pembangkit saat ini 672 MW akan ditumbuhkan menjadi 1.500 MW. Perusahaan juga berupaya menjadi perusahaan yang setara di global dengan pendapatan 1 miliar dolar AS pada 2030.
“Kami ingin berkembang dan melakukan diversifikasi beyond geothermal energy dan mempunyai environment impact yang signifikan. Pada 2030 diharapkan kami bisa partisipasi dalam penurunan emisi lebih dari 8 juta ton per tahun,” kata Ahmad saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk “Masa Depan Industri Panas Bumi di Tengah Glorifikasi Pengembangan EBT” yang digelar secara virtual di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, tantangan pengembangan panas bumi adalah inovasi ke depan berupa beyond direct geothermal energy. Panas bumi bisa digunakan untuk katalis dekarbonisasi dan mencapai net zero emission pada 2060.
“Kami yakin panas bumi bisa jadi game changer dalam transisi energi dan upaya percepatan transisi energi,” kata dia.
Selain Ahmad Yuniarto, hadir dalam diskusi virtual yang digelar Dunia-Energi itu, Direktur Utama PT Medco Power Indonesia Eka Satria Djalins, Direktur Utama PT Geo Dipa Energi (Persero) Riki F.Ibrahim dan Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia Priyandaru Effendi.
Menurut Eka Satria, potensi panas bumi yang dimiliki di Indonesia bisa terus dikembangkan dan dioptimalkan dengan menyelesaikan tiga isu utama, yakni kebijakan, teknologi dan beyond electricity. Dengan terjawab ketiga isu tersebut, panas bumi diharapkan bisa menjadi backbone energy ke depannya.
Eka mengatakan potensi panas bumi di Indonesia sangat besar, namun realisasinya berupa Wilayah Kerja Panas Bumi yang sudah berproduksi masih sedikit. Untuk itu, semua stakeholder harus terlibat untuk menjawab dan menyelesaikan isu-isu yang ada dalam pengembangan panas bumi di Indonesia.
Menurut dia, ada tiga hal yang harus didiskusikan. Pertama, kebijakan yang akan mendorong pertumbuhan perkembangan energi. Selain itu, pengembang panas bumi harus memastikan teknologi yang dipraktekkan tepat guna, efisien, dan bisa menghasilkan energi yang efisien.
“Ketiga, kita harus melihat geothermal tidak hanya dari sisi produksi, namun juga beyond electricity,” kata dia.
Sementara itu, Riki Ibrahim mengungkapkan Indonesia memiliki visi 2045 harus berdikari dan pada momentum 100 tahun Indonesia merdeka harus mampu menciptakan ketahanan energi.
“Kalau tidak sekarang dilakukan, akan terlambat. Ini tidak mudah, sama beratnya dengan pandemi COVID-19. Isu climate change juga sama tantangannya,” kata dia.
Menurut Riki, untuk mengurangi uncertainty dari panas bumi, pemerintah sudah banyak memberikan insentif. Pengembangan panas bumi memang mahal, sehingga dibutuhkan pengembang yang serius dan punya komitmen.
“Hal ini penting mengingat pengembangan geothermal itu membutuhkan biaya diawal,” kata dia.
Direktur Panas Bumi Direktorat EBTKE Kementerian ESDM Harris Yahya saat memberikan keynote speech mengatakan potensi panas bumi 23,76 GW ada di Sumatera. Indonesia mempunyai potensi panas bumi terbesar kedua setelah Amerika. Saat ini sudah dieksplor untuk mengambil kandungan lithium untuk pengembangan panas bumi.
“Panas bumi dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik, pemandian air panas dan destinasi wisata, produksi hydrogen, pengeringan pada industri pertanian dan green house, aquaculture, pemanas dan pendingin, industri kertas, hingga makanan dan minuman,” kata dia.
Harris mengatakan pembangkit panas bumi hingga 2035 ditargetkan ada tambahan 3.335 MW. Dan hal itu bisa dicapai kalau ada sinergi dan upaya dari semua pihak.
“Regulasi sudah sangat lengkap, sudah identifikasi tantangan spesifik untuk panas bumi dan strateginya. Keterlibatan stakeholder sangat penting. Kami harap kita satu visi terkait hal ini. insentif pasti ada. Khusus panas bumi banyak insentif fiskal,” kata Harris.
Direktur Utama PGE Ahmad Subarkah Yuniarto mengatakan perlu upaya keras dan sangat banyak untuk bergerak menjadi sebuah perusahaan green energy kelas dunia.
Untuk itu, kapasitas pembangkit saat ini 672 MW akan ditumbuhkan menjadi 1.500 MW. Perusahaan juga berupaya menjadi perusahaan yang setara di global dengan pendapatan 1 miliar dolar AS pada 2030.
“Kami ingin berkembang dan melakukan diversifikasi beyond geothermal energy dan mempunyai environment impact yang signifikan. Pada 2030 diharapkan kami bisa partisipasi dalam penurunan emisi lebih dari 8 juta ton per tahun,” kata Ahmad saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk “Masa Depan Industri Panas Bumi di Tengah Glorifikasi Pengembangan EBT” yang digelar secara virtual di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, tantangan pengembangan panas bumi adalah inovasi ke depan berupa beyond direct geothermal energy. Panas bumi bisa digunakan untuk katalis dekarbonisasi dan mencapai net zero emission pada 2060.
“Kami yakin panas bumi bisa jadi game changer dalam transisi energi dan upaya percepatan transisi energi,” kata dia.
Selain Ahmad Yuniarto, hadir dalam diskusi virtual yang digelar Dunia-Energi itu, Direktur Utama PT Medco Power Indonesia Eka Satria Djalins, Direktur Utama PT Geo Dipa Energi (Persero) Riki F.Ibrahim dan Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia Priyandaru Effendi.
Menurut Eka Satria, potensi panas bumi yang dimiliki di Indonesia bisa terus dikembangkan dan dioptimalkan dengan menyelesaikan tiga isu utama, yakni kebijakan, teknologi dan beyond electricity. Dengan terjawab ketiga isu tersebut, panas bumi diharapkan bisa menjadi backbone energy ke depannya.
Eka mengatakan potensi panas bumi di Indonesia sangat besar, namun realisasinya berupa Wilayah Kerja Panas Bumi yang sudah berproduksi masih sedikit. Untuk itu, semua stakeholder harus terlibat untuk menjawab dan menyelesaikan isu-isu yang ada dalam pengembangan panas bumi di Indonesia.
Menurut dia, ada tiga hal yang harus didiskusikan. Pertama, kebijakan yang akan mendorong pertumbuhan perkembangan energi. Selain itu, pengembang panas bumi harus memastikan teknologi yang dipraktekkan tepat guna, efisien, dan bisa menghasilkan energi yang efisien.
“Ketiga, kita harus melihat geothermal tidak hanya dari sisi produksi, namun juga beyond electricity,” kata dia.
Sementara itu, Riki Ibrahim mengungkapkan Indonesia memiliki visi 2045 harus berdikari dan pada momentum 100 tahun Indonesia merdeka harus mampu menciptakan ketahanan energi.
“Kalau tidak sekarang dilakukan, akan terlambat. Ini tidak mudah, sama beratnya dengan pandemi COVID-19. Isu climate change juga sama tantangannya,” kata dia.
Menurut Riki, untuk mengurangi uncertainty dari panas bumi, pemerintah sudah banyak memberikan insentif. Pengembangan panas bumi memang mahal, sehingga dibutuhkan pengembang yang serius dan punya komitmen.
“Hal ini penting mengingat pengembangan geothermal itu membutuhkan biaya diawal,” kata dia.
Direktur Panas Bumi Direktorat EBTKE Kementerian ESDM Harris Yahya saat memberikan keynote speech mengatakan potensi panas bumi 23,76 GW ada di Sumatera. Indonesia mempunyai potensi panas bumi terbesar kedua setelah Amerika. Saat ini sudah dieksplor untuk mengambil kandungan lithium untuk pengembangan panas bumi.
“Panas bumi dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik, pemandian air panas dan destinasi wisata, produksi hydrogen, pengeringan pada industri pertanian dan green house, aquaculture, pemanas dan pendingin, industri kertas, hingga makanan dan minuman,” kata dia.
Harris mengatakan pembangkit panas bumi hingga 2035 ditargetkan ada tambahan 3.335 MW. Dan hal itu bisa dicapai kalau ada sinergi dan upaya dari semua pihak.
“Regulasi sudah sangat lengkap, sudah identifikasi tantangan spesifik untuk panas bumi dan strateginya. Keterlibatan stakeholder sangat penting. Kami harap kita satu visi terkait hal ini. insentif pasti ada. Khusus panas bumi banyak insentif fiskal,” kata Harris.