Pada setiap pelaksanaan Pilkada berbagai elemen masyarakat berlomba-lomba untuk mendapatkan informasi tentang hasil akhir dari pekerjaan panjang dan melelahkan. Berbagai metode penghitungan dikolaborasikan untuk mencapai tujuan itu.

Sejauh ini sebuah metode yang populer telah diterapkan di Indonesia yaitu quick count. Quick count dipahami sebagai proses penghitungan secara cepat dan tepat dalam sebuah pelaksanaan Pilkada.

Penghitungan cepat dapat dilakukan dengan berbagai cara maupun alat yang digunakan. Cara paling aman dan sudah pasti dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat tanpa perlu penjelasan tambahan adalah memantau semua TPS dan menghitung perolehan masing-masing kandidat, lalu kemudian menampilkannya dalam sebuah grafik maupun angka persentase, ini biasa disebut Paralel Vote Tabulation disingkat PVT .

Namun dibalik itu kelemahan dari metode ini adalah penyelenggara membutuhkan sumberdaya manusia yang tidak sedikit dan tentunya berdampak pada besaran biaya yang harus dikeluarkan.

Ilustrasinya, jika di sebuah daerah pemilihan terdapat 4.000 TPS maka setidaknya akan dibutuhkan 4.000 sukarelawan yang bertugas dalam pengambilan data TPS, ditambahkan dengan petugas data center untuk mengolah data yang masuk.

Semua SDM itu harus memiliki pengetahuan sesuai standar kebutuhan serta loyalitas, integritas maupun kejujuran.
Karena tanpa itu semua bisa saja data yang dihasilkan menjadi sumber malapetaka tidak hanya bagi kandidat tapi bisa jadi seluruh masyarakat. Seperti diketahui sengketa Pilkada dapat saja menguras biaya yang tidak sedikit bahkan korban bisa berjatuhan seperti yang terjadi di Pilkada Gubernur Maluku Utara pada Tahun 2007.

Cara lain yang dapat dilakukan dalam upaya melakukan penghitungan cepat adalah penarikan sampel dari populasi, dalam hal ini TPS sebagai satuan populasi.

Keuntungan dari metode sampling adalah tidak membutuhkan sumberdaya manusia yang terlalu banyak, pengolahan data bisa lebih cepat dibanding teknik PVT serta biaya bisa lebih murah.

Sebagai sebuah metode ilmiah, maka seyogyanya quick count dengan tekhnik sampling juga mampu memberikan penjelasan secara ilmiah sehingga dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat sebagai sebuah kebenaran.

Persoalannya adalah di kalangan akademisi pun masih sering menjadi perdebatan mengenai keabsahan metode ini. Kiranya ini dapat dipahami karena akademisi juga terdiri dari berbagai disiplin ilmu.

Khusus mereka yang menekuni bidang statistika tentu ini tidak jadi persoalan. Sebuah metode statistika sebelum diterapkan atau disepakati sebagai sebuah metode tentunya harus melalui pengujian.

Ada beberapa variabel yang digunakan dalam penghitungan besaran sampel seperti margin of error, tingkat keragaman populasi, tingkat kepercayaan yang digunakan, distribusi populasi dan lain-lain.

Variabel-variabel yang disebutkan di atas menentukan seberapa akurat hasil penghitungan cepat "quick count", kesalahan-kesalahan kecil dalam menentukan besaran variabel itu dapat menimbulkan kesalahan besar dalam memproyeksikan hasil Pilkada.

Contoh kasus terjadi pada penghitungan cepat yang dilakukan oleh lembaga lokal pada Pilkada Bulukumba Sulawesi Selatan, dimana berdasarkan pengitungan cepat yang mereka lakukan memprediksi Pilkada satu putaran namun pada rekap resmi KPU Pilkada Bulukumba harus berlangsung dua putaran.

Besaran sampling dan struktur sampling sangat menentukan karena terkait dengan seberapa sempit margin kesalahan dari sebuah penghitungan cepat quick count oleh lembaga pelaksana.

Sesuai dengan tujuan pelaksanaan quick count yaitu memberikan informasi secepatnya secara tepat maka seyogyanya pelaksanaan quick count akan memberikan manfaat seperti; 1. Menjawab rasa penasaran warga masyarakat tentang hasil Pilkada, 2. Meredam gejolak sosial; dengan adanya informasi perolehan suara seharusnya dapat menjadikan masyarakat lebih tenang karena telah mendapatkan hasil penghitungan, meskipun resminya setelah di plenokan KPUD, 3. Memberikan kredibilitas pelaksana Pilkada seperti KPU.

Diharapkan hasil resmi KPU akan sama dengan hasil penghitungan cepat quick count, sehingga data KPU bisa lebih legitimate dengan adanya data pembanding dari lembaga pelaksana quick count.

Lembaga pelaksana quick count perlu diperhatikan agar tidak mudah mempercayai hasil sebuah penghitungan cepat quick count. Tidak perduli lembaga lokal maupun lembaga nasional sebagai pelaksana, yang perlu diperhatikan adalah track record dari lembaga tersebut dalam melaksanakan penghitungan cepat.

Beberapa lembaga nasional yang sudah tidak asing dalam melaksanakan penghitungan cepat seperti Lembaga Survei Indonesia, Lingkaran Survei Indonesia, Indobarometer, dan Jaringan Suara Indonesia.

Contoh akurasi penghitungan cepat quick count Jaringan Suara Indonesia pada Pilkada Gowa, Selayar, Barr berturut-turut ; Gowa : 1. 2,2%, 2. 40,69%, 3. 1,02%, 4. 56,09%. Selayar : 1. 48, 47%, 2. 33,99%, 17,55%. Barru : 1. 12,29%, 2. 38,29%, 3. 40.2%, 4. 9,22%.

Hasil resmi KPU secara berturut-turut ; Gowa : 1. 1,91%, 2. 40,18%, 3. 0,61%, 4. 56,39%. Selayar : 1. 48,77%, 2. 33,62%, 3. 17,61%, Barru : 1. 11,92%, 2. 38,34%, 3. 41,37, 4. 8,38%

Kiranya politik santun untuk Pilkada damai dapat tetap mewarnai rentetan Pilkada yang akan kita jelang di berbagai daerah di Indonesia.

* Supervisi Jaringan Suara Indonesia, pendiri KOMPLIT (Komunitas Masyarakat Peduli Bolmong Timur)

Pewarta :
Editor : Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024