Jakarta (ANTARA) - Kelompok Menteri Luar Negeri G7 mengutuk keras kekerasan otoritas terhadap para pengunjuk rasa anti junta militer Myanmar.
G7 adalah kelompok yang terdiri dari Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris Raya, dan Amerika Serikat serta Perwakilan Tinggi Uni Eropa (EU).
“Kami, Menteri Luar Negeri Kelompok G7 [...] dengan tegas mengutuk kekerasan yang dilakukan oleh pasukan keamanan Myanmar terhadap aksi protes yang dilakukan secara damai,” kata mereka, seperti dikutip dalam keterangan Kedutaan Besar Inggris di Jakarta.
“Penggunaan amunisi secara langsung terhadap orang yang tidak bersenjata adalah suatu hal yang tidak dapat diterima. Siapa pun yang menanggapi protes damai dengan kekerasan harus dimintai pertanggungjawaban,” kata Menlu G7.
Pernyataan tersebut muncul setelah korban berjatuhan akibat tindakan pasukan keamanan selama menangani aksi protes damai di Myanmar.
Menurut laporan Reuters, Selasa, tiga pengunjuk rasa menjadi korban jiwa dalam bentrok dengan otoritas keamanan. Dua tewas ditembak di Mandalay pada Sabtu (20/2), dan satu perempuan juga meninggal pada Jumat (19/2) usai ditembak di Naypyitaw satu pekan sebelumnya.
Sementara pihak militer, menurut Reuters dalam laporan yang sama, menyebutkan bahwa satu petugas kepolisian tewas akibat terluka saat aksi protes. Militer menuding pengunjuk rasa menyulut kekerasan.
Militer Myanmar melancarkan kudeta pada 1 Februari terhadap pemerintahan yang terpilih secara demokratis, dan menahan pemimpin negara itu, Aung San Suu Kyi, serta sejumlah tokoh politik.
“Kami menyerukan lagi pembebasan segera dan tanpa syarat bagi mereka yang ditahan secara sewenang-wenang, termasuk Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint,” kata kelompok Menlu G7.
Selain itu, para Menlu G7 juga menyerukan agar penindasan "secara sistematis dengan mengincar para pengunjuk rasa, dokter, masyarakat sipil, dan jurnalis dihentikan."
G7 juga mendesak junta militer Myanmar mencabut keadaan darurat yang dinyatakannya.
G7 adalah kelompok yang terdiri dari Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris Raya, dan Amerika Serikat serta Perwakilan Tinggi Uni Eropa (EU).
“Kami, Menteri Luar Negeri Kelompok G7 [...] dengan tegas mengutuk kekerasan yang dilakukan oleh pasukan keamanan Myanmar terhadap aksi protes yang dilakukan secara damai,” kata mereka, seperti dikutip dalam keterangan Kedutaan Besar Inggris di Jakarta.
“Penggunaan amunisi secara langsung terhadap orang yang tidak bersenjata adalah suatu hal yang tidak dapat diterima. Siapa pun yang menanggapi protes damai dengan kekerasan harus dimintai pertanggungjawaban,” kata Menlu G7.
Pernyataan tersebut muncul setelah korban berjatuhan akibat tindakan pasukan keamanan selama menangani aksi protes damai di Myanmar.
Menurut laporan Reuters, Selasa, tiga pengunjuk rasa menjadi korban jiwa dalam bentrok dengan otoritas keamanan. Dua tewas ditembak di Mandalay pada Sabtu (20/2), dan satu perempuan juga meninggal pada Jumat (19/2) usai ditembak di Naypyitaw satu pekan sebelumnya.
Sementara pihak militer, menurut Reuters dalam laporan yang sama, menyebutkan bahwa satu petugas kepolisian tewas akibat terluka saat aksi protes. Militer menuding pengunjuk rasa menyulut kekerasan.
Militer Myanmar melancarkan kudeta pada 1 Februari terhadap pemerintahan yang terpilih secara demokratis, dan menahan pemimpin negara itu, Aung San Suu Kyi, serta sejumlah tokoh politik.
“Kami menyerukan lagi pembebasan segera dan tanpa syarat bagi mereka yang ditahan secara sewenang-wenang, termasuk Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint,” kata kelompok Menlu G7.
Selain itu, para Menlu G7 juga menyerukan agar penindasan "secara sistematis dengan mengincar para pengunjuk rasa, dokter, masyarakat sipil, dan jurnalis dihentikan."
G7 juga mendesak junta militer Myanmar mencabut keadaan darurat yang dinyatakannya.