Manado (ANTARA) - Dunia modern saat ini, telah tampak jelas adanya budaya populer. Budaya populer antara lain tampak melalui pemenuhan setiap keinginan yang serba instant, dan bahkan serba online. Sepakat atau tidak, di antara kita banyak yang meminatinya. Demikian juga ada sebagian orang yang berkelindan dalam budaya populer, bukan sekedar menikmatinya. Kendati begitu digandrungi saat ini, budaya yang dimaksud itu telah ada dalam peradaban. Apalagi dengan adanya kajian budaya populer, hal tersebut semakin mendapatkan tempat, karena tentu dianggap menjadi sebuah perhatian serius. Maka atas hal ini, budaya populer sesungguhnya bukanlah sesuatu yang benar-benar baru. 

Pertanyaannya apa itu budaya populer? Istilah 'budaya populer' memiliki arti yang berbeda dalam setiap konteks penggunaannya. Budaya pop adalah budaya yang mendominasi masyarakat pada suatu waktu. Brummett dalam “Rhetorical Dimensions of Popular Culture” mengatakan bahwa budaya pop melibatkan aspek kehidupan sosial publik Sebagai 'budaya masyarakat', budaya populer ditentukan oleh interaksi semua orang dalam aktivitas sehari-hari, seperti: gaya berpakaian, penggunaan bahasa gaul, dan makanan. Budaya populer mencakup aspek kontemporer kehidupan kita. Aspek-aspek itu selalu berubah dengan cepat, terutama di dunia yang teknologi dan informasi ketika orang-orang semakin dekat dalam jaringan. Budaya pop juga dengan cepat mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Dengan memperhatikan aspek-aspek fundamental ini, budaya populer dapat didefinisikan sebagai produk dan bentuk ekspresi dan identitas yang sering ditemui atau diterima secara luas, disukai atau disetujui. 

Sementara Ray Browne dalam 'Folklore to Populore' mengatakan bahwa budaya populer terdiri dari aspek sikap, perilaku, kepercayaan, adat istiadat, dan selera yang menentukan orang-orang dalam masyarakat mana pun. (https://philosophynow.org/issues/64/Pop_Culture_An_Overview). Dari uraian di atas, hemat penulis, budaya pop atau budaya populer adalah budaya yang paling banyak dinikmati masyarakat. Budaya ini lebih dikenal karena adanya pengaruh media massa dan berbagai faktor lainnya. Budaya pop itu menjadi penting dan menarik karena merupakan realitas dari masyarakat dan cara atau bagaimana masyarakat mengkonsumsi budaya tersebut.  

Budaya populer sebagaimana telah diuraikan di atas, tidak terpisahkan dari manusia dan eksistensi manusia. Banyak dari kita, yang ingin eksis di dalam budaya populer. Maka selanjutnya kita perlu memahami bagaimana eksistensi manusia itu. Dalam tradisi filsafat, aliran yang memberi perhatian pada eksistensi individu, adalah eksistensialisme. Eksistensialisme atau filsafat eksistensi. Karl Jaspers, filosof Jerman, dalam karyanya mengatakan bahwa eksistensi ialah hal yang paling berharga dan paling otentik dalam diri manusia. Eksistensi adalah ‘aku’ yang sebenarnya, yang bersifat unik dan sama sekali tidak objektif. Eksistensi merupakan penghayatan mengenai kebebasan total, yang merupakan inti manusia. Selain itu, eksistensi dapat dihayati dan diterangi melalui refleksi filosofis. (Bertens 2014: 190). Dari uraian singkat ini, eksistensi menjadi sesuatu yang sentral dalam dalam hidup. Sentral karena itu menentukan setiap praktek hidup sang individu. 
Eksistensi merupakan bagian dari penghayatan tentang kebebasan si individu itu, yang mana hal tersebut merupakan inti manusia. Jadi, teorinya secara jelas menitikberatkan kebebasan eksistensial sang individu. Kendati demikian penting ditempatkan dalam eksistensi sang individu, kebebasan yang dimaksudkan di sini adalah kebebasan yang menunjuk pada: Memilih, menyadari dan mengidentifikasikan diri. Kebebasan adalah inti kehidupan manusia. ‘Saya’ ada dalam arti kata yang sebenarnya sejauh saya memilih secara bebas. Karena itu sikap melibatkan diri harus dianggap lebih hakiki bagi eksistensi (nyata) daripada sikap teoritis. (Ibid. 192).

 Di era saat ini, budaya pop dan eksistensi manusia adalah dua hal yang amat sangat terkait. Banyak terlibat aktif dalam budaya pop, terutama di masa sekarang ketika semua berinteraksi dalam budaya jaring-menjaring. Banyak orang selalu ingin eksis dalam berbagai media massa, media sosial dan media online, bahkan ini menjadi sebuah upaya eksistensial setiap individu dalam budaya (pop).  

Akhirnya, kita tidak bisa mengelak pada fakta bahwa budaya populer semakin digandrungi, bahkan semakin populer. Budaya populer bahkan saat ini paling banyak digunakan sebagai media untuk eksistensi diri.. Hal itu sejalan dengan apa yang dikatakan Irwanto dalam “The Existence, Production of Information, and Paradox of the Role of the Media in a Pandemic Period” bahwa gerakan relasi kuasa media di masa pandemi ini, dalam hal ini layar atau interface menjadi wadah di mana setiap individu dapat melakukan aktivitasnya dengan melakukan hal-hal baru secara virtual. Fakta ini, tanpa kita sadari, yang kita tangkap adalah sebuah kemiripan dengan gambar yang terkadang tidak memberikan gambaran realita yang sebenarnya. Dengan antarmuka tersebut, kami bertemu dengan banyak produksi identitas. Demikian hal ini, menjadi sebuah sistem yang seolah menghasilkan identitas baru melalui media. (https://fisipol.ugm.ac.id/en/the-existence-production-of-information-and-paradox-of-the-role-of-the-media-in-a-pandemic-period/).

Meskipun demikian, hemat penulis, peran media harus lebih kepada menjadi kekuatan yang membantu membangun berbagai gerakan sosial, yang terbentuk tanpa memandang identitas tertentu dengan tujuan saling membantu. Dan sebagai konsumen budaya populer itu, masyarakat kita jelas akan selalu membutuhkan kepastian informasi dari sumber yang dapat menghasilkan informasi, dan bukan semata saraana untuk menunjukan eksistensi semata.(Penulis Dr. Dominica Diniafita ST., MM.  adalah Akademisi – Founders AJD Sahabat Budaya Jakarta -Pegiat Budaya)

Pewarta : Dr. Dominica Diniafita ST., MM.
Editor : Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024