Jakarta (ANTARA) - Setelah empat hari menunggu yang terlalu lama menurut ukuran Amerika Serikat yang sudah biasa melihat hasil pemilihan umum beberapa jam begitu pemungutan suara selesai, berbagai jaringan televisi dan media AS termasuk Fox News yang terkenal condong kepada petahana Presiden Donald Trump, menyatakan calon presiden dari Partai Demokrat Joe Biden sebagai pemenang pemilihan presiden 2020.
Kepastian itu diperoleh setelah Biden merebut Pennsylvania dan Nevada sehingga total untuk sementara memperoleh 290 suara elektoral atau 20 suara elektoral lebih banyak dari batas 270 suara elektoral agar memenangkan pemilihan presiden AS tahun ini.
Biden yang akan menjadi presiden AS yang ke-46 itu masih bisa menambah 16 suara elektoral dari Georgia dan tengah membuntuti Trump di North Carolina yang memiliki 15 suara elektoral.
Kemenangan itu juga membuat demokrasi AS selaras kembali dengan praktik umum bahwa siapa yang mendapatkan suara terbanyak maka dialah yang semestinya memimpin seperti lazim berlaku di negara demokrasi lainnya.
Trump sendiri adalah presiden kelima dalam sejarah AS yang menang tetapi kalah dalam jumlah suara pemilih (popular vote) sewaktu memenangkan pemilu 2016.
Saat itu Trump mengalahkan Hillary Clinton dengan komposisi suara elektoral 304 melawan 227, namun kalah 3 juta suara dari Hillary yang mendapatkan 65,83 juta popular vote.
Empat presiden AS lainnya yang melangkah ke Gedung Putih seperti Trump adalah John Quincy Adams pada 1824, Rutherford B. Hayes pada 1876, Benjamin Harrison pada 1888, dan George W. Bush pada 2000.
Kini Biden telah mengembalikan demokrasi ke asalnya setelah unggul baik dalam suara elektoral maupun popular vote setelah juga melampaui Trump dalam jumlah popular vote, 75 juta suara melawan 70,6 juta suara.
Saat masih tahap pemilihan pendahuluan atau penjaringan calon presiden dari Partai Demokrat, Biden awalnya terpuruk sebelum bangkit guna bersaing keras dengan bakal calon presiden dari sayap progresif kiri Demokrat, Bernie Sanders.
Tatkala memenangkan pencalonan presiden dari Demokrat, dia mesti merangkul bagian paling kiri dan liberal dari partainya yang di dalamnya dihuni politisi-politisi muda vokal pengkritik korporasi besar dan Wall Street seperti Alexandria Ocasio-Cortez atau AOC yang terpilih kembali menjadi anggota DPR periode 2020-2022 dari sebuah daerah pemilihan di New York yang mencakup juga Bronx.
Trump sempat senang ketika Sanders memimpin pemilihan calon presiden Demokrat karena dia tahu akan jauh lebih mudah mengalahkan calon yang pandangannya kebalikan 180 derajat dari dia. Dia tahu jika Demokrat memajukan Sanders maka segmen pemilih yang bisa ditarik Sanders hanya pemilih Demokrat.
Demokrat sendiri tahu pasti bahwa untuk mengalahkan Trump tak cuma mengandalkan pemilih tradisional Demokrat, karena mesti merangkul juga bagian moderat pemilih Republik dan pemilih independen yang belum menentukan pilihan.
Untuk itulah perlu memajukan tokoh tengah. Dan Joe Biden yang berhaluan sentris pun resmi dicalonkan Demokrat pada Agustus 2020.
Jalan terjal
Formula itu terbukti benar setelah Biden terpilih dalam pemilu 2020. Dia berhasil menggerus bagian moderat dari pemilih Republik dan memikat pemilih yang belum menentukan pilihan. Sementara Trump mengalami kesulitan mencari kelemahan Biden sampai tak pernah bisa menyusul Biden dalam berbagai jajak pendapat.
Pandemi yang merenggut nyawa seperempat juta rakyat AS jelas menjadi faktor yang paling merusak citra Trump ketika ketidakpedulian dia terhadap pandemi ini berseberangan dengan sikap bagian terbesar rakyat AS.
Hal ini terlihat dari besarnya jumlah pemilih yang melakukan pemungutan suara dini (early voting), khususnya yang melakukan melalui pos. Mereka ini kentara berseberangan dengan Trump dalam melihat ancaman pandemi dengan tak mau mendatangi TPS karena khawatir menciptakan kerumunan yang bisa menjadi sumber penyebaran COVID-19. Mereka jelas tak memilih Trump.
Jumlah pemilih lewat pos ini, menurut US Elections Project, mencapai 65,2 juta pemilih atau 64 persen dari jumlah pemilih pemungutan suara dini yang mencapai 101,4 juta pemilih. Sedangkan jumlah pemilih early voting sendiri mencapai 63 persen dari total pemilih pemilu kali ini yang menurut Bloomberg mencapai 161 juta pemilih.
Sebelum 3 November, banyak kalangan meyakini Biden bakal menang karena tingginya pemungutan suara dini ini, khususnya suara lewat pos yang sebagian besar memang tidak mendukung Trump.
Dan Biden memang menang. Kemenangannya pun paripurna karena unggul baik dalam suara elektoral maupun popular vote. Dia merebut tujuh dari 12 negara bagian suara mengambang termasuk Georgia, Pennsylvania, Arizona, Michigan, dan Wisconsin yang dimenangkan Trump pada 2016.
Namun kemenangan meyakinkan seperti diperoleh mantan atasannya Barack Obama pada Pemilu 2008 dan 2012 itu sepertinya tak menjamin jalan yang akan dilalui Biden bakal mulus. Sebaliknya, jalan terjal sudah terbentang untuk dilalui selama empat tahun pertama pemerintahannya.
Ini karena, pascapemilu paling memecah belah AS ini, Biden tak cuma dipaksa merangkul semua spektrum politik dalam partainya, termasuk bagian paling kiri. Dia juga makin dipaksa lebih ke tengah demi hubungan lebih baik dengan segmen moderat Republik, pemilih non progresif dan independen, selain juga mengakomodasi suara kanan moderat.
Biden harus menerima kenyataan bahwa hampir separuh penduduk AS mendukung pandangan nasionalis kulit putih otoriterian ala Donald Trump sampai mereka tidak berkeberatan dengan pandangan kasar dan sexisme Trump yang melabrak birokrasi pemerintahan dan nilai-nilai tradisional Amerika seperti fair play, supremasi hukum serta kebebasan pers, selain meruntuhkan lembaga-lembaga ketatakelolaan baik di dalam maupun di luar AS.
Dulu Republik berharap tak apa-apa mengantarkan Trump berkuasa karena mereka yakin begitu masuk Gedung Putih, Trump tak akan liar lagi dan akan bertransformasi menjadi negarawan.
Harapan itu tak terwujud. Yang terjadi malah sebaliknya. Trump kian sulit dikendalikan dan melabrak kemapanan serta siapa pun kecuali konstituennya, padahal presiden bukan hanya memerintah konstituennya tetapi juga memerintah mereka yang tidak memilih dia.
Trumpisme
Ironisnya Trump bukannya makin dijauhi, meskipun yang tidak menyukainya juga besar, termasuk tokoh-tokoh Republik sendiri. Pemberontakan Trump terhadap nilai dan kemapanan malah membuat dia makin populer di mata pendukungnya. Indikasi ini terlihat dari jumlah pemilih dia pada pemilu 2020.
Dia menarik sekitar 70,6 juta suara atau di atas 69,4 juta suara yang diperoleh Obama pada 2008 yang sebelum ini merupakan jumlah pemilih seorang calon presiden terbanyak sepanjang masa.
Trump mendapatkan tambahan 7,7 juta suara dari yang diperolehnya pada 2016 yang waktu itu 62,9 juta suara. Ini petunjuk terang benderang bahkan langkah dan cara pandang Trump ternyata diterima oleh 47,7 persen penduduk AS.
Bahkan itu tak cuma memikat mayoritas kulit putih karena warga Latin yang proporsinya kian besar pun tertarik padahal dia mempromosikan kebijakan yang menanamkan stigma buruk kepada warga latin, antara lain membangun tembok pemisah di sepanjang perbatasannya dengan Meksiko yang merupakan asal terbesar penduduk latin AS.
Keberhasilan dia dalam memenangkan Florida yang menjadi negara bagian mengambang bersuara elektoral terbanyak, di antaranya terjadi karena "pembangkangan" pemilih latin.
Maka itu, di samping memiliki tugas sulit menyatukan berbagai spektrum politik dalam Demokrat sendiri, pemilih dan segmen moderat Republik, Biden menghadapi apa yang disebut jurnal "Foreign Policy" sebagai periode "Amerika seperti dibayangkan Trump".
Ironisnya, sekalipun misalnya Trump nanti menyingkir dari dunia politik, "Trumpisme" atau gaya memerintah, gerakan politik dan ideologi politik yang berhubungan dengan Trump, diperkirakan bakal tetap besar dan menghantui masa pemerintahan Biden.
"Warisan Trump" itu diperparah oleh "bom waktu" yang ditanam Trump saat mengubah komposisi sembilan hakim Mahkamah Agung menjadi enam hakim konservatif dan tiga hakim liberal.
Kenyataan ini membuat Biden bakal menghadapi penentangan terus menerus dari lembaga yudikatif yang dikuasai hakim-hakim konservatif yang setiap saat bisa mementalkan setiap prakarsa, legislasi dan bahkan operasional pemerintahannya.
Oleh karena itu, kemenangan besar dan bersejarah ini bukan awal dalam membuka atmosfer lebih baik. Sebaliknya bisa menjadi awal masuk untuk menyiangi belantara berliku nan keras dan liar.
Biden bakal menghadapi tekanan konstan dari Senat, terus direpotkan oleh pertarungan hukum di pengadilan seperti dialami Trump saat ini, dan aktivisme Trumpisme yang diyakini bakal agresif.
Skenario ini pasti jauh-jauh hari sudah dibaca Biden dan Demokrat. Untuk itu, akan menarik diperhatikan bagaimana Biden menghadapi ini semua.
Kepastian itu diperoleh setelah Biden merebut Pennsylvania dan Nevada sehingga total untuk sementara memperoleh 290 suara elektoral atau 20 suara elektoral lebih banyak dari batas 270 suara elektoral agar memenangkan pemilihan presiden AS tahun ini.
Biden yang akan menjadi presiden AS yang ke-46 itu masih bisa menambah 16 suara elektoral dari Georgia dan tengah membuntuti Trump di North Carolina yang memiliki 15 suara elektoral.
Kemenangan itu juga membuat demokrasi AS selaras kembali dengan praktik umum bahwa siapa yang mendapatkan suara terbanyak maka dialah yang semestinya memimpin seperti lazim berlaku di negara demokrasi lainnya.
Trump sendiri adalah presiden kelima dalam sejarah AS yang menang tetapi kalah dalam jumlah suara pemilih (popular vote) sewaktu memenangkan pemilu 2016.
Saat itu Trump mengalahkan Hillary Clinton dengan komposisi suara elektoral 304 melawan 227, namun kalah 3 juta suara dari Hillary yang mendapatkan 65,83 juta popular vote.
Empat presiden AS lainnya yang melangkah ke Gedung Putih seperti Trump adalah John Quincy Adams pada 1824, Rutherford B. Hayes pada 1876, Benjamin Harrison pada 1888, dan George W. Bush pada 2000.
Kini Biden telah mengembalikan demokrasi ke asalnya setelah unggul baik dalam suara elektoral maupun popular vote setelah juga melampaui Trump dalam jumlah popular vote, 75 juta suara melawan 70,6 juta suara.
Saat masih tahap pemilihan pendahuluan atau penjaringan calon presiden dari Partai Demokrat, Biden awalnya terpuruk sebelum bangkit guna bersaing keras dengan bakal calon presiden dari sayap progresif kiri Demokrat, Bernie Sanders.
Tatkala memenangkan pencalonan presiden dari Demokrat, dia mesti merangkul bagian paling kiri dan liberal dari partainya yang di dalamnya dihuni politisi-politisi muda vokal pengkritik korporasi besar dan Wall Street seperti Alexandria Ocasio-Cortez atau AOC yang terpilih kembali menjadi anggota DPR periode 2020-2022 dari sebuah daerah pemilihan di New York yang mencakup juga Bronx.
Trump sempat senang ketika Sanders memimpin pemilihan calon presiden Demokrat karena dia tahu akan jauh lebih mudah mengalahkan calon yang pandangannya kebalikan 180 derajat dari dia. Dia tahu jika Demokrat memajukan Sanders maka segmen pemilih yang bisa ditarik Sanders hanya pemilih Demokrat.
Demokrat sendiri tahu pasti bahwa untuk mengalahkan Trump tak cuma mengandalkan pemilih tradisional Demokrat, karena mesti merangkul juga bagian moderat pemilih Republik dan pemilih independen yang belum menentukan pilihan.
Untuk itulah perlu memajukan tokoh tengah. Dan Joe Biden yang berhaluan sentris pun resmi dicalonkan Demokrat pada Agustus 2020.
Jalan terjal
Formula itu terbukti benar setelah Biden terpilih dalam pemilu 2020. Dia berhasil menggerus bagian moderat dari pemilih Republik dan memikat pemilih yang belum menentukan pilihan. Sementara Trump mengalami kesulitan mencari kelemahan Biden sampai tak pernah bisa menyusul Biden dalam berbagai jajak pendapat.
Pandemi yang merenggut nyawa seperempat juta rakyat AS jelas menjadi faktor yang paling merusak citra Trump ketika ketidakpedulian dia terhadap pandemi ini berseberangan dengan sikap bagian terbesar rakyat AS.
Hal ini terlihat dari besarnya jumlah pemilih yang melakukan pemungutan suara dini (early voting), khususnya yang melakukan melalui pos. Mereka ini kentara berseberangan dengan Trump dalam melihat ancaman pandemi dengan tak mau mendatangi TPS karena khawatir menciptakan kerumunan yang bisa menjadi sumber penyebaran COVID-19. Mereka jelas tak memilih Trump.
Jumlah pemilih lewat pos ini, menurut US Elections Project, mencapai 65,2 juta pemilih atau 64 persen dari jumlah pemilih pemungutan suara dini yang mencapai 101,4 juta pemilih. Sedangkan jumlah pemilih early voting sendiri mencapai 63 persen dari total pemilih pemilu kali ini yang menurut Bloomberg mencapai 161 juta pemilih.
Sebelum 3 November, banyak kalangan meyakini Biden bakal menang karena tingginya pemungutan suara dini ini, khususnya suara lewat pos yang sebagian besar memang tidak mendukung Trump.
Dan Biden memang menang. Kemenangannya pun paripurna karena unggul baik dalam suara elektoral maupun popular vote. Dia merebut tujuh dari 12 negara bagian suara mengambang termasuk Georgia, Pennsylvania, Arizona, Michigan, dan Wisconsin yang dimenangkan Trump pada 2016.
Namun kemenangan meyakinkan seperti diperoleh mantan atasannya Barack Obama pada Pemilu 2008 dan 2012 itu sepertinya tak menjamin jalan yang akan dilalui Biden bakal mulus. Sebaliknya, jalan terjal sudah terbentang untuk dilalui selama empat tahun pertama pemerintahannya.
Ini karena, pascapemilu paling memecah belah AS ini, Biden tak cuma dipaksa merangkul semua spektrum politik dalam partainya, termasuk bagian paling kiri. Dia juga makin dipaksa lebih ke tengah demi hubungan lebih baik dengan segmen moderat Republik, pemilih non progresif dan independen, selain juga mengakomodasi suara kanan moderat.
Biden harus menerima kenyataan bahwa hampir separuh penduduk AS mendukung pandangan nasionalis kulit putih otoriterian ala Donald Trump sampai mereka tidak berkeberatan dengan pandangan kasar dan sexisme Trump yang melabrak birokrasi pemerintahan dan nilai-nilai tradisional Amerika seperti fair play, supremasi hukum serta kebebasan pers, selain meruntuhkan lembaga-lembaga ketatakelolaan baik di dalam maupun di luar AS.
Dulu Republik berharap tak apa-apa mengantarkan Trump berkuasa karena mereka yakin begitu masuk Gedung Putih, Trump tak akan liar lagi dan akan bertransformasi menjadi negarawan.
Harapan itu tak terwujud. Yang terjadi malah sebaliknya. Trump kian sulit dikendalikan dan melabrak kemapanan serta siapa pun kecuali konstituennya, padahal presiden bukan hanya memerintah konstituennya tetapi juga memerintah mereka yang tidak memilih dia.
Trumpisme
Ironisnya Trump bukannya makin dijauhi, meskipun yang tidak menyukainya juga besar, termasuk tokoh-tokoh Republik sendiri. Pemberontakan Trump terhadap nilai dan kemapanan malah membuat dia makin populer di mata pendukungnya. Indikasi ini terlihat dari jumlah pemilih dia pada pemilu 2020.
Dia menarik sekitar 70,6 juta suara atau di atas 69,4 juta suara yang diperoleh Obama pada 2008 yang sebelum ini merupakan jumlah pemilih seorang calon presiden terbanyak sepanjang masa.
Trump mendapatkan tambahan 7,7 juta suara dari yang diperolehnya pada 2016 yang waktu itu 62,9 juta suara. Ini petunjuk terang benderang bahkan langkah dan cara pandang Trump ternyata diterima oleh 47,7 persen penduduk AS.
Bahkan itu tak cuma memikat mayoritas kulit putih karena warga Latin yang proporsinya kian besar pun tertarik padahal dia mempromosikan kebijakan yang menanamkan stigma buruk kepada warga latin, antara lain membangun tembok pemisah di sepanjang perbatasannya dengan Meksiko yang merupakan asal terbesar penduduk latin AS.
Keberhasilan dia dalam memenangkan Florida yang menjadi negara bagian mengambang bersuara elektoral terbanyak, di antaranya terjadi karena "pembangkangan" pemilih latin.
Maka itu, di samping memiliki tugas sulit menyatukan berbagai spektrum politik dalam Demokrat sendiri, pemilih dan segmen moderat Republik, Biden menghadapi apa yang disebut jurnal "Foreign Policy" sebagai periode "Amerika seperti dibayangkan Trump".
Ironisnya, sekalipun misalnya Trump nanti menyingkir dari dunia politik, "Trumpisme" atau gaya memerintah, gerakan politik dan ideologi politik yang berhubungan dengan Trump, diperkirakan bakal tetap besar dan menghantui masa pemerintahan Biden.
"Warisan Trump" itu diperparah oleh "bom waktu" yang ditanam Trump saat mengubah komposisi sembilan hakim Mahkamah Agung menjadi enam hakim konservatif dan tiga hakim liberal.
Kenyataan ini membuat Biden bakal menghadapi penentangan terus menerus dari lembaga yudikatif yang dikuasai hakim-hakim konservatif yang setiap saat bisa mementalkan setiap prakarsa, legislasi dan bahkan operasional pemerintahannya.
Oleh karena itu, kemenangan besar dan bersejarah ini bukan awal dalam membuka atmosfer lebih baik. Sebaliknya bisa menjadi awal masuk untuk menyiangi belantara berliku nan keras dan liar.
Biden bakal menghadapi tekanan konstan dari Senat, terus direpotkan oleh pertarungan hukum di pengadilan seperti dialami Trump saat ini, dan aktivisme Trumpisme yang diyakini bakal agresif.
Skenario ini pasti jauh-jauh hari sudah dibaca Biden dan Demokrat. Untuk itu, akan menarik diperhatikan bagaimana Biden menghadapi ini semua.