Jakarta (ANTARA) - Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna menjelaskan fenomena urban sprawl atau tipe perkembangan kota yang tidak terstruktur, mempengaruhi pembangunan DKI Jakarta di masa depan.

"Akibatnya muncul kemacetan, kepadatan, pengambilan air tanah berlebihan, sehingga kota ini makin lama makin crowded," ujar Yayat Supriatna, di Jakarta, Kamis.

"Itu mempengaruhi perencanaan dan pemanfaatan ruang yang tidak bersinergi," katanya lagi.

Urban sprawl muncul seiring pertumbuhan penduduk, urbanisasi dan berdiri pusat kegiatan masyarakat, gedung, apartemen, hotel hingga bertambah fasilitas jalan.

Fenomena ini kerap dianggap sebagai gejala masyarakat modern akibat konsep pembangunan yang tidak terencana sebelumnya.

Yayat menyebutkan urban sprawl terjadi hampir merata di DKI Jakarta terutama pusat-pusat pertumbuhan baru, seperti kawasan dekat bandara maupun tepi pantai akibat lemah sistem perizinan pemerintah terkait penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB).

"Di Jakarta ini banyak bangunan atau perumahan yang tidak memiliki IMB, karena berdiri di atas tanah yang bukan miliknya," ujar dosen Fakultas Lanskap Arsitektur dan Teknologi Lingkungan tersebut.
Baca juga: Ketua DPRD sebut pembangunan Jakarta membaik

Untuk mengendalikan urban sprawl, lanjut Yayat, pemerintah harus ketat dan selektif dalam mengeluarkan IMB.

"Sekarang yang menjadi pertanyaan kita bagaimana pengendalian. Tata ruang itu adalah perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian, jadi ini seberapa jauh IMB yang resmi dikeluarkan," katanya lagi.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta, pada 2017 jumlah penduduk di wilayah ini mencapai 10,4 juta jiwa, sehingga membuat Jakarta mendapat predikat sebagai kota terbesar di Asia Tenggara dan urutan kesembilan di dunia.

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2019