Kementerian Kesehatan sebenarnya juga sudah mengusulkan mengenai pelabelan pada produk makanan dengan kadar gula tinggi dan kadar garam tinggi
Jakarta (ANTARA) - Data terbaru Kementerian Kesehatan menyebutkan indeks pembangunan kesehatan masyarakat (IPKM) dari subindeks penyakit tidak menular (PTM) mengalami penurunan di seluruh provinsi di Indonesia, yang artinya jumlah kasus penyakit tersebut meningkat di seluruh Indonesia.

Walaupun IPKM Indonesia secara nasional naik, yaitu pada 2013 di angka 0,5404 menjadi pada 2019 di angka 0,6087, namun satu-satunya subindeks dari tujuh penilaian yang mengalami penurunan adalah penyakit tidak menular.

Ini membuktikan bahwa kasus penyakit tidak menular yang diderita masyarakat Indonesia semakin bertambah dari tahun ke tahun.

Data Badan Litbang Kesehatan Kemenkes mengungkapkan penyakit tidak menular paling banyak diderita masyarakat Indonesia adalah stroke, penyakit jantung, diabetes melitus, serta kanker.

Penyakit-penyakit tersebut merupakan penyakit berbiaya besar yang menguras lebih dari 20 persen pembiayaan BPJS Kesehatan. Bisa dibilang, juga menjadi salah satu penyebab defisitnya keuangan lembaga jaminan sosial kesehatan di Indonesia itu.

Dari total seluruh pembiayaan kesehatan yang dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan pada 2018, sebanyak 21,66 persen digunakan untuk pembiayaan penyakit katastropik. Penyakit berbiaya paling tinggi adalah penyakit jantung dengan Rp10,5 triliun, kanker Rp3,4 triliun, stroke Rp2,5 triliun, dan gagal ginjal Rp2,4 triliun.

Defisit BPJS Kesehatan menjadi tak terelakan lantaran jumlah pengeluaran untuk pembiayaan kesehatan masih lebih besar dibandingkan dengan jumlah penerimaan iuran peserta.

Di luar jumlah iuran peserta BPJS Kesehatan yang memang masih tidak sesuai dengan angka aktuaria sehingga menyebabkan defisit, pertambahan pasien dengan penyakit tidak menular juga menjadi masalah yang menyebabkan bengkaknya pembiayaan.

Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan BPJS Kesehatan akan terus menerus mengalami defisit jika masyarakat Indonesianya sendiri terus sakit-sakitan. Padahal, penyakit tidak menular ini sebenarnya bisa dicegah hanya dengan cara mengubah masyarakat menjadi berperilaku hidup sehat.

Kemenkes memperkirakan bila tidak ada perubahan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia dan pemerintah secara keseluruhan maka masyarakat yang menderita penyakit tidak menular di Indonesia akan meningkat hingga 70 persen.

Jumlah tersebut diperkirakan akan semakin membebani BPJS Kesehatan dengan defisit yang bisa mencapai Rp28-30 triliun. Defisit BPJS Kesehatan terus meningkat dari tahun ke tahun dengan defisit pada 2018 mencapai Rp9,1 triliun.

Data Kemenkes, usia harapan hidup orang Indonesia dari indeks pembangunan manusia saat ini 71,4 tahun, namun usia sehat hidup orang Indonesia rata-rata 62 tahun. Hal itu, artinya sekitar sembilan tahun orang Indonesia hidup dalam keadaan sakit yang memengaruhi produktivitas dan kualitas sumber daya manusia.

Jumlah kerugian ekonomi akibat kematian dini dan tahun hidup berkualitas yang hilang karena sakit kurang lebih mencapai sepertiga dari PDB Indonesia atau Rp4.180,27 triliun.

Ibaratnya, penyakit tidak menular adalah bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak dan menjadi masalah besar bagi keuangan negara dan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

                                                                         Faktor risiko
Kepala Badan Litbang Kesehatan Kemenkes Siswanto mengungkapkan faktor risiko paling tinggi penyakit tidak menular adalah tekanan darah tinggi, yang kedua terkait dengan diet atau asupan pola makan, kadar gula darah, kadar kolesterol, dan kebiasaan merokok.

Jika diringkas, penyebab penyakit tidak menular dikarenakan perilaku, faktor metabolik, dan lingkungan. Tekanan darah tinggi erat kaitannya dengan pola makan.

Siswanto menyebut kurangnya asupan sayur dan buah di masyarakat Indonesia menjadi penyebab paling banyak penyakit tidak menular.

Kementerian Kesehatan mengampanyekan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) yang mengajak orang Indonesia lebih banyak mengonsumsi sayur dan buah, makan dengan gizi seimbang, melakukan aktivitas fisik atau berolahraga, hindari rokok, dan cek kesehatan secara rutin.

Pada intinya, pencegahan penyakit tidak menular harus dilakukan dari level individu masyarakat itu sendiri untuk mengubah perilakunya menjadi lebih sehat.

Namun, apabila masyarakatnya tidak sadar juga akan kesehatan, pemerintah seharusnya melakukan intervensi untuk sedikit "memaksa" masyarakatnya agar membiasakan hidup lebih sehat.

Dimulai dari perokok, khususnya perokok pemula yang terus meningkat di mana prevalensi perokok pemula atau remaja usia 10 hingga 18 tahun meningkat dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.

Untuk menekan angka perokok pemula yang pada RPJMN ditetapkan menjadi lima persen, salah satunya dengan meningkatkan cukai rokok yang akan berdampak terhadap kenaikan harga rokok.

Diharapkan tingginya harga rokok membuat produk tembakau tersebut tidak terjangkau oleh remaja.

Selain itu, ada pula regulasi pembatasan kadar gula, garam, dan lemak (GGL) pada produk makanan kemasan ataupun cepat saji yang hingga saat ini masih sebatas wacana dan pembahasan antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian.

Padahal, di negara-negara maju telah lama menerapkan regulasi mengenai pembatasan GGL yang sangat berkorelasi dengan penyakit tidak menular di masyarakat.

Kementerian Kesehatan sebenarnya juga sudah mengusulkan mengenai pelabelan pada produk makanan dengan kadar gula tinggi dan kadar garam tinggi. Namun, lagi-lagi hanya sebatas wacana yang tak kunjung direalisasikan.

Presiden Joko Widodo juga pernah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2017 tentang Germas. Inpres tersebut menginstruksikan berbagai kementerian dan lembaga untuk menjalankan program yang berkaitan dengan gerakan masyarakat hidup sehat.

Contohnya, Kemenkes dengan peningkatan edukasi mengenai gizi dan kesehatan, Kemenpora dengan membuat perlombaan olahraga di masyarakat dan sarana olahraga, Kementerian PUPR dengan program pembuatan sarana aktivitas fisik di pemukiman.

Selain itu, Kementerian Perhubungan dengan pembangunan sarana pejalan kaki dan sepeda agar masyarakat lebih banyak beraktivitas fisik, Kementerian Keuangan melalui peningkatan cukai dan pajak produk tembakau serta minuman beralkohol.

Namun, lagi-lagi inpres tersebut belum pula dijalankan secara optimal oleh berbagai kementerian dan lembaga terkait.

Angka-angka tingginya kasus penyakit tidak menular dan besarnya pembiayaan atas penanganan berbagai penyakit tersebut, hanyalah hilir dari persoalan kesehatan di Indonesia.

Pada dasarnya, hulu persoalan kesehatan tersebut berada di kesadaran masyarakat itu sendiri untuk mencegahnya.
 

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019