Jakarta (ANTARA) - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan optimistis kalangan industri menaati regulasi terbaru mengenai baku mutu emisi (BME), termasuk kewajiban memasang "Continuous emission monitoring systems (CEMS)"Baca juga:

"Enggak ada orang yang enggak taat. Jangan berpikir negatif, berpikir positif. Kita pikir mereka pasti taat," kata Direktur Pengendalian Pencemaran Udara KLHK Dasrul Chaniago di Jakarta, Jumat.

Regulasi terbaru BME tertuang dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 15/2019 yang mengatur BME pembangkit listrik tenaga termal. Aturan ini menggantikan Permen Lingkungan Hidup No13/2009.

Untuk pemasangan CEMS, yakni alat pemantau emisi, kata dia, industri masih diberikan waktu sampai dua tahun sebelum implementasi regulasi itu secara penuh diterapkan.

"Itu kan dikasih waktu dua tahun. Selama ini, di permen lama mereka diwajibkan punya satu (CEMS) untuk cerobong yang energinya atau 'power'-nya paling tinggi," ujarnya.

Baca juga: Badan Penerbangan PBB setujui standar baru kesepakatan emisi

Namun, pada Permen LHK 15/2019 mewajibkan pemasangan untuk pembangkit kapasitas lebih atau sama dengan 25 megawatt, atau kurang 25 megawatt dengan kandungan sulfur dalam bahan bakar lebih dua persen.

"Kalau pengwasan, ya, ditunggu sampai 'deadline' dua tahun. Kan mereka dikasih waktu 2 tahun untuk memasang. Emisi paling besar yang punya CEMS, ya, seperti pabrik semen, pupuk, PLTU," katanya.

Dengan permen terbaru KLHK itu, kata dia, bisa saja industri memasang lebih dari satu CEMS, misalnya PLTU Batang yang berkapasitas dua kali 1.000 megawatt.

"Kayak PLTU di Batang punya 1.000 MW kali dua pembangkit, berarti punya dua CEMS. Kalau dulu, misalnya punya delapan (pembangkit), yang paling gede mana powernya, itu yang dipasang," katanya.

Sebagai langkah pengawasan, lanjut Dasrul, PLTU yang sudah punya CEMS pun diwajibkan melakukan pengukuran "sampling" secara manual dan berkala untuk memastikan fungsi alat.

Baca juga: Menyoal Baku Mutu Emisi pembangkit termal mutakhir

"Sebagai kontrol benar enggak CEMS-nya ini. Bukan dipasang CEMS, terus dibiarin, ada aturannya. Per sekian bulan diwajibkan 'sampling' manual, untuk kontrol," katanya.

Bahkan, kata dia, mekanisme yang harus dilakukan jika ternyata CEMS mengalami kerusakan pun sudah diatur, yakni harus diukur secara manual setiap tiga bulan selama setahun.

"Kalau rusaknya lama pasti ganti (CEMS). Lebih dari setahun, disuruh ngukur manual per bulan. Mahal sekali, pasti enggak mau karena manual mahal," katanya.

Ia menyebutkan biaya yang harus dikeluarkan untuk pemantauan emisi secara manual lewat cerobong bisa mencapai sekitar Rp60 juta.

"Suruh tiap bulan? Ya, mending beli CEMS harga Rp2 miliar. Setahun aja ngukur (manual) sudah Rp700 juta lebih," kata Dasrul.

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2019