Bengkulu (ANTARA) - Belasan aktivis lingkungan yang bergabung dalam Koalisi Langit Biru, Rabu sore menggelar aksi damai di Simpang Lima Kota Bengkulu mendesak pemerintah mencabut izin operasi sejumlah perusahaan tambang batu bara yang beroperasi di hulu Sungai Bengkulu karena ditengarai memperparah dampak bencana banjir yang melanda Kabupaten Bengkulu Tengah dan Kota Bengkulu.

Aksi yang digelar dalam rangka memperingati Hari Anti Tambang (Hatam) 2019 itu mengambil tema “Bengkulu Ditambang, Bencana Datang” sebagai desakan pada pemerintah untuk membersihkan daerah aliran sungai (DAS) Bengkulu dari industri ekstraktif batu bara.

“Tema ini mewakili kondisi Bengkulu yang ditimpa banjir dan longsor pada 27 April yang lalu, yang menyebabkan 25 jiwa meninggal, 6 hilang dan 12.000 jiwa mengungsi, serta kerugian materil yang harus ditanggung sebesar 144 miliar rupiah,” kata Koordinator Koalisi Langit Biru, Didi Mulyono.

Tercatat 43 izin usaha pertambangan menguasai lahan seluas 220.753 hektare dan operasi 10 perusahaan mengancam seluas 97.555 hektare kawasan hutan.

Anggota koalisi, Uli Arta Siagian mengatakan perusahaan-perusahaan pertambangan meninggalkan 103 lubang tambang di Provinsi Bengkulu.

Kawasan hutan yang dikapling oleh pertambangan berada di sepanjang Hutan Bukit Barisan. Secara ekologis kawasan ini memiliki fungsi yang sangat penting bagi kehidupan.

“Bukit barisan menjadi hulu dari seluruh sungai yang bermuara ke pantai barat (Samudera Hindia) dan pantai timur (Selat Malaka). Maka fungsi tata air adalah fungsi yang penting dari hutan bukit barisan. Maka, konsekuensi terbesar jika pertambangan di hulu tersebut terus beroperasi maka kita terus diintai banjir dan longsor,” kata Direktur Genesis ini.

Anggota koalisi lainnya, Edy Prayekno mengatakan koalisi juga mendesak pemerintah untuk menghentikan pemakaian batu bara sebagai sumber energi, mengingat batubara di sepanjang perjalanannya, mulai dari pengerukan hingga pembakaran menghasilkan daya rusak di mana banjir dan longsor adalah salah satu bukti bencana ekologis tersebut.

Menurut para aktivis, dampak kerusakan ekologis akibat pertambangan batu bara akan semakin parah seiring pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara Teluk Sepang Kota Bengkulu berkapasitas 2x100 MW. Kebutuhan batu bara 2.732,4 ton/hari akan dikeruk dari dalam perut bumi Bengkulu

“Melihat kebutuhan bahan bakar PLTU per hari ribuan ton, maka bisa dibayangkan berapa luas wilayah akan dikeruk dan diambil emas hitamnya” kata anggota koalisi yang merupakan Juru Kampanye Energi Kanopi Bengkulu, Olan Sahayu.

​​​​​​​Adapun tuntutan Koalisi Langit Biru lewat aksi ini adalah mendesak Gubernur Bengkulu untuk segera melakukan evaluasi terhadap perizinan tambang yang ada saat ini, terutama di hulu DAS Air Bengkulu dan hulu DAS lainnya. Kedua, hutan Bukit Barisan Bengkulu tidak dialokasikan untuk izin-izin pertambangan. Ketiga, pemerintah harus memastikan dan mendesak perusahaan untuk melakukan reklamasi dan pascatambang.*


Baca juga: Kanopi Bengkulu kritik investasi listrik batu bara Tiongkok

 

Pewarta: Helti Marini S
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019