Untuk kandang saja ukurannya setidaknya seperti lapangan bola
Jakarta (ANTARA) - Pertanian berpindah salah satu ancaman kepunahan biawak komodo (Varanus komodoensis) sebagai satwa langka yang dilindungi di Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur, kata peneliti zoologi Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Evy Arida.

Teknik pertanian berpindah slash and burn yang banyak dilakukan masyarakat di Flores bertujuan menumbuhkan pucuk tanaman baru.

Saat itu, katanya, yang terjadi, rusa lebih banyak terlihat sehingga mudah diburu masyarakat.

Hal itu yang menurut dia menjadi sumber konflik antara manusia dengan komodo. Perebutan makanan terjadi, di seluruh bagian pulau yang menjadi habitat hidupnya, yakni padang sabana dan pesisir pantai.

Konflik manusia dan komodo terkait dengan perebutan makanan, juga terjadi seperti di Pulau Rinca. Komodo-komodo di pulau tersebut “gemar” memakan ikan-ikan tangkapan nelayan yang kebetulan sedang dijemur.

Evy mengatakan domestikasi hewan besar ini masih sulit dilakukan karena membutuhkan ruang yang besar.

“Untuk kandang saja ukurannya setidaknya seperti lapangan bola,” katanya di Jakarta, Senin (28/5).

Oleh karena itu, untuk upaya peningkatan populasi komodo, menurut dia, akan lebih baik dilakukan dengan cara menyelamatkan telur-telur satwa liar predator itu.

Anak-anak komodo baru dilepaskan ke alam saat sudah mencapai usia aman.

Evy mengatakan predator dari telur maupun anakan komodo datang dari induknya maupun komodo dewasa lainnya.

Kanibalisme terjadi pada hewan yang dapat mencapai panjang tiga meter dengan bobot lebih dari 100 kilogram itu.

                                                              Perdagangan Ilegal
Ancaman lain dari keberlangsungan spesies biawak komodo ini adalah perburuan dan perdagangan ilegal.

Polda Jawa Timur mengamankan lima orang, sedangkan Mabes Polri mengamankan dua orang terkait dengan perdagangan liar enam individu satwa dilindungi ini. Polisi mencari orang-orang yang menjadi pemburu Varanus komodoensis ini di habitat asalnya.

Berdasarkan keterangan dari tersangka, menurut Kepala Subdit I Tindak Pidana Tertentu Mabes Polri Kombes Adi Karya Tobing, mereka pernah melakukan transaksi 41 ekor komodo dalam tiga tahun terakhir.

Dia mengatakan pengungkapan kasus ini berawal dari patroli di dunia maya, di mana polisi menemukan akun di laman Facebook yang menyediakan satwa-satwa liar, termasuk komodo, ke luar negeri.

Komodo tersebut diburu lalu dibawa ke penampungan di Jawa Timur menggunakan angkutan darat, bayi-bayi komodo tersebut dimasukkan ke dalam tabung.

Para tersangka akan dijerat dengan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dengan ancaman hukuman paling lama lima tahun penjara.

Adi berharap undang-undang tersebut bisa segera direvisi karena dianggap sudah tidak relevan dengan kondisi terkini.

"Sekarang sebagian besar perdagangan satwa liar dilindungi melalui daring, undang-undang tersebut tidak mengaturnya, makanya harus segera direvisi. Selain itu, hukuman yang diberikan untuk pelaku masih terlalu ringan sehingga tidak ada efek jera," kata dia.

                                                                       Tes DNA
Untuk mengetahui asal muasal enam komodo yang hendak diperdagangkan secara ilegal, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama LIPI melakukan tes DNA.

Hasil tes DNA dari enam individu komodo betina yang menjadi barang bukti tindak pidana perdagangan satwa liar, yang dilakukan di Laboratorium Genetika Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI itu, menunjukkan bahwa satwa dilindungi tersebut bukan berasal dari Taman Nasional Komodo.

Uji DNA dilakukan dengan membandingkan antara DNA sampel darah enam komodo dan delapan haplotipe Control Region(CR) 1 yang diketahui berdasarkan hasil penelitian LIPI sebelumnya. Hasilnya haplotipe khas komodo di Flores bagian utara, dengan jumlah 88 persen dari sampel populasi penelitian sebelumnya.

Haplotipe tersebut, menurut Evy, juga ditemukan di Flores bagian barat, namun hanya dalam jumlah yang sangat kecil, yakni lebih kecil dari 2,5 persen dari sampel populasi pada penelitian sebelumnya.

Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Wiratno mengatakan bahwa enam individu komodo betina yang menjadi barang bukti kasus tindak pidana perdagangan satwa liar ini masih hidup dan dalam kondisi yang baik di Surabaya.

Rencananya, biawak-biawak besar tersebut akan dilepasliarkan di Pulau Onotoleo, Kabupaten Ngada, Flores, bukan ke tempat asalnya di hutan lindung kota, karena khawatir akan diburu lagi.

Konflik antara manusia dengan komodo sebisa mungkin dihindari, terlebih jangan sampai ada yang menganggapnya sebagai hama.

Ia menjelaskan secara alami komodo hidup menyebar di kawasan Taman Nasional Komodo dan daratan Flores.

Berdasarkan hasil monitoring pada 2018, di kawasan taman nasional tersebut diperkirakan terdapat 2.897 individu, tersebar di lima pulau besar, yakni Pulau Komodo (1.727 individu), Pulau Rinca (1.049), Pulau Padat (6), Pulau Gilimontang (58), dan Pulau Nusa Kode (57).

Berdasarkan pengamatan dengan menggunakan "camera trap" yang dilakukan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam NTT di daratan Flores, terdapat 4-14 individu komodo di Cagar Alam Wae Wuul; 2-6 individu di Taman Wisata Alam Riung 17 Pulau di Pulau Ontoloe, enam individu di Hutan Lindung Pota; dan 11 individu di Pulau Longos.

Komodo merupakan spesies terbesar dari familia Varanidae, sekaligus kadal terbesar di dunia. Komodo merupakan pemangsa puncak di habitatnya karena sejauh ini tidak diketahui adanya hewan karnivora besar lain selain biawak ini di sebaran geografisnya.

Tubuhnya yang besar dan reputasinya yang mengerikan membuat mereka menjadi salah satu hewan paling terkenal di dunia.

Sekarang, habitat komodo telah menyusut akibat aktivitas manusia, sehingga Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) memasukkan komodo sebagai spesies yang rentan terhadap kepunahan.
 

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019